blank
Almarhum M. Iskak Wijaya

Oleh : Hadi Priyanto
“Harus terus syiarkan jihad budaya. Walaupun di jalan terjal dan berduri yang membuat kaki kita terluka, jangan penah hentikan langkah kita”

Saya masih ingat, Selasa 26 Desember 2022 kita masih makan bubur ayam berdua di dapur pondok pesatren Telaga Biru Bulungan. Kamu begitu lahap menyantap bubur itu hingga sendok terakhir. Saat itu kamu katakan ada sedikit gangguan lambung hingga beberapa hari tak dapat menikmati makanan, anugerah Hyang Maha Kuasa. Juga ada ganguan sedikit batuk karena sering tertidur di dapur.

Sembari makan, seperti biasanya kamu masih saja dengan penuh semangat mengajak untuk melakukan jihad budaya. Karena hari itu kita menghadiri rapat Laporan Akhir Pembangunan Taman Budaya Jepara, walaupun saya tahu, badanmu tak lagi perkasa seperti saat saya untuk pertama kali bertemu dan berkenalan denganmu tahun 2012. Saat itu kamu mulai menginjakkan jejakmu di Jepara untuk menggelar Seminar Nasional Rekonstruksi Budaya Jepara untuk Masa Depan bersama mas Alex Komang yang telah terlebih dahulu mendahuluimu menghadap Sang Khaliq.

Dari seminar itu, kau mulai taburkan inspirasimu untuk Jepara. Kau bukan saja mencurahkan seluruh energi, tetapi juga waktumu dan bahkan semua peluang yang dapat kamu raih jika kamu tidak meninggalkan Ibukota demi Jepara untuk sebuah keyakinan, jihad budaya. Sebab menurutmu, sebagai kota tua Jepara memiliki potensi budaya yang tersia-siakan. Karena itu kita dirikan bersama Yayasan Kartini Indonesia.

Dari tanganmu lahirkan sejumlah even yang belum pernah dipikirkan, termasuk kami para seniman budayawan yang lahir dan dibesarkan di Jepara. Ada Festival Kartini, Opera Ayunda, menghidupkan gerakan literasi, dialog budaya dan yang paling akhir adalah Ketoprak Spektakuler Rainha de Jepora yang kemudian menjadi salah satu pagelaran ketoprak terbesar sepanjang sejarah Jepara. Kamu bukan saja menulis naskah, tetapi juga menjadi sutradara dan mencurahkan seluruh energi yang kamu miliki, hingga usai pentas ketoprak kamu tertidur di tengah alun-alun, tanpa alas dan atap apapun.

Bukan hanya itu, dalam dialog budaya ataupun hanya sebatas ngobrol di sudut alun-alun, di angkringan, di teras rumah dan dapur Pondok Telaga Biru, kamu juga selalu menebarkan inspirasi dan ajakan untuk menempatkan budaya sebagai salah satu pilar keberadaban. Karena itu menurutmu, kebudayan harus menjadi terus dirawat dan dihidupkan hingga kamu punya mimpi dan harapan Jepara perlu memiliki galery. Tempat dimana kebudayaan akan disemaikan kembali. Masuknya Jepara sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia juga karena ikhtiarmu.

Bukan hanya itu, kamu juga telah mawakafkan hidupmu untuk merawat keberagaman. Bukan hanya dengan puisimu atau retorikamu, tetapi dengan perbuatan nyata. Perjumpaan lintas agama dan kepercayaan telah menjadi bagian dari laku hidupmu.

Saya juga masih ingat, tiga hari yang lalu, kamu masih minta didoakan teman-teman agar kuat melampaui rasa sakitmu, walaupun diujung telpon kedengar lidahmu makin kelu.

Kini kami semua harus ikhaskan kepergianmu menghadap Sang Khaliq setelah hembusan nafas terakhirmu diusia 52 tahun, Jumat jam 09.15 WIB. Saat jazadmu terbaring di makam Kedondong, Pondok Melati Bekasi, kami hanya bisa berdoa Hyang Maha Kuasa merengkuhmu dalam pelukanNya. Kami akan mengenang semua kebaikan dan inspirasi yang kau berikan, untuk peradaban Jepara. Selamat jalan kawan, kembalilah ke surga agar kamu tak lagi rasakan rasa haus, lapar dan sakit.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara