Oleh: Amir Machmud NS
DARI Jose Pekerman pada 2006 ke Alfio Basile, lalu ke Diego Maradona, Sergio Batista, berlanjut ke Alejandro Sabella, Gerardo Martino, Edgardo Bauza, berikutnya hingga 2018 ke Jorge Sampaoli.
Dan, baru di tangan Lionel Scaloni yang memulai kiprah sebagai “pelatih yang diragukan” sejak 2018, Argentina mewujudkan mimpi meraih trofi major: dari Copa America 2021 dan Finalissima 2022 ke Piala Dunia 2022.
Betapa panjang penantian itu, 36 tahun, ketika kolaborasi Carlos Bilardo dan Maradona membawa pulang Coppa del Mundo ke Buenos Aires.
Bilardo menyamai raihan sang legenda, “El Flaco” Luis Cesar Menotti yang delapan tahun sebelumnya mengantar Mario Kempes dkk juara dunia untuk kali pertama.
Lionel Messi harus menunggu “rezim” demi “rezim” untuk akhirnya mencium dan mengangkat Piala Dunia, 18 Desember 2022. Penantian yang nyaris menerbitkan keputusasaan setelah sekian Copa America dan sederet putaran final Piala Dunia tidak memberikan tanda-tanda bakal meraihnya.
Rezim Scaloni
Lionel Scaloni boleh jadi tidak punya karisma seperti Menotti, Bilardo, atau Maradona. Statusnya pun sebenarnya hanya “asisten” bagi Jorge Sampaoli, baik ketika berkiprah di klub La Liga, Sevilla maupun di tim nasional Argentina pada 2017-2018.
Ketika ditunjuk sebagai pelatih tetap, setelah menjadi karteker bersama Pablo Aimar pada 2018, dia menjadi bulan-bulanan kritik. Maradona — yang juga gagal memberikan trofi juara — vokal menyuarakan keberatan, “Bagaimana Anda memberikan tim nasional ke Scaloni? Apakah kita semua sudah gila?”
Paham “Luka” Messi
Pria kelahiran Rosario 44 tahun silam itu ikut merasakan “luka hati” Lionel Messi, yang hancur karena kembali gagal di Piala Dunianya yang keempat.
Scaloni membuktikan, dalam dirinya mengeram potensi luar biasa. Dia rancang taktik dan kolektivitas tim dalam sistem yang “mendukung Messi”. Dia memercayai para pemain muda potensial, dan terutama membesut barisan gelandang dengan trio petarung perebut bola.
Taktik Scolani berhasil menciptakan “perasaan lebih aman” bagi kuartet lini belakang saat menghadapi transisi gempuran lawan.
Dia memang bukan eks pemain yang berkategori legenda. Kariernya tidaklah istimewa selama bertualang di Deportivo La Coruna, West Ham United, Racing Santander, Lazio, Real Mallorca, dan terakhir di Atalanta. Jam terbang di tim nasional Argentina juga minimalis, hanya tujuh kali mengenakan jersey Albiceleste.
Nyatanya, pendekatan taktiknya mampu mencairkan kebekuan prestasi Argentina. Dari juara Copa America 2021, Finalissima 2022, dan puncaknya Piala Dunia 2022.
Maka tentu “ada apa-apanya”. Dan, apa yang sejatinya hebat dari Lionel Scaloni?
Kolektivitas yang dia racik adalah sintesis, antara impian Messi dengan komitmen tim yang saling mendukung. Messi berambisi meraih trofi di pengujung karier, dan rekan-rekannya menjadi bagian ekosistem taktik yang menyokong sang kapten. Ujung psikologi capaian itu adalah “nasionalisme sejarah” untuk negara.
Pada 2014, Tim Tango juga lolos ke final, namun kalah 0-1 dari Jerman. Eksepsionalitas Messi menjadi warna, namun kepemimpinan La Pulga baru betul-betul terasa sebagai metamorfosis performa di Qatar 2022.
Bagaimana dia menginspirasi, mengayomi, dan menyatukan spirit pembuktian rekan-rekannya. Letupan-letupan sikap “memberontak” seperti dalam laga 8 besar melawan Belanda juga menandai Messi yang kali ini “unjuk karakter” sebagai pemimpin.
Adonan Tepat
Taktik Scaloni dan kematangan Messi menjadi adonan tepat pada saat yang tepat.
Saat tepat, karena inilah logika momen akhir Messi di Piala Dunia dalam usia 35. Juga saat tepat, karena Scaloni punya peluang untuk menguatkan catatan tiga kali juara bagi negerinya
Saat tepat, karena sebagai mata rantai, pencapaian Scaloni sungguh beralasan menjadi tahapan menuju yang terbaik di Piala Dunia. Juara Copa America, memenangi Finalissima — duel juara Copa vs juara Euro 2020 Italia –, lalu memuncak di Piala Dunia.
Penajaman taktik, filosofi, latar aktual memberi persembahan untuk “sang malaikat” Leo Messi, menemukan puncak di waktu yang tepat.
Dia mengubah peran Messi, dari false nine ke playmaker yang fungaional. Fleksibilitas taktiknya didasari filosofi “Scaloneta”, “rumah yang Scaloni bangun” dengan menyusun soliditas lini tengah. Leandro Parades, Rodrigo De Paul, dan Giovani Lo Celco dia jadikan “tabir pertama” agar lini belakang yang dikendalikan Nico Otamendi lebih merasa aman.
Ide dasar Scaloni adalah pergerakan cepat bola, cepat merebut, dan serangan balik cepat.
Dia acap membuat taktikus lawan kesulitan membaca kemungkinan. Pilihan skematikanya sering nge-prank seperti bunglon yang adaptif.
Nah, kejeniusan pelatih yang semula banyak menjadi sasaran nyinyir itu telah dibuktikan. Dia mempersembahkan Piala Dunia, juga membukakan pintu untuk Lionel Messi dalam menemui takdir indahnya.
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —