blank
Lionel Messi dengan trofi Piala Dunia 2022. Foto: fifa.com

Oleh: Amir Machmud NS

blankSEJUTA ungkapan takkan cukup menggambarkan kebahagiaan Lionel Andres Messi pada malam 18 Desember 2022 di Stadion Lusail, Doha, Qatar.

Pastilah Anda paham, bukan hanya Messi, keluarganya, dan tim nasional Argentina yang menikmati kegembiraan. Para fans di seluruh dunia ikut lega, La Pulga telah melewati momen “jalan takdir”: akhirnya mengecup dan mengangkat Piala Dunia, simbol kekuatan sepak bola sejagat.

Saya mencoba mengikuti pendapat Rene Higuita. Sebelum malam final, legenda kiper Kolombia itu mengajak, apa pun hasil laga puncak melawan Prancis, lebih baik nikmati saja penampilan terakhir Messi di Piala Dunia. “Belum tentu dalam satu abad berikut kita bisa menyaksikan pemain seperti Messi,” katanya.

Ungkapan kata “akhirnya” banyak menghias sebagai kesimpulan headline media-media dunia, bahwa Messi meraih takdir dalam pencapaian yang paripurna.

Rumit dan Menegangkan
Kemenangan atas Prancis melalui drama adu penalti setelah babak reguler 2×45 menit dan tambahan waktu 2×15 menit menggambarkan, betapa rumit dan menegangkan final Qatar 2022.

Unggul 2-0 hingga turun minum, Prancis menyamakan 2-2, unggul lagi 3-2, disamakan lagi 3-3, lalu diakhiri dengan adu penalti. Messi memainkan peran sebagai pencetak gol, eksekutor, dan inspirator.

Saya mencoba meresapi pertandingan dalam getar-getar perasaan yang luar biasa mendegupkan jantung, mirip ketika pada 2021 Argentina dan Messi meraih Copa America di Stadion Maracana, Brazil, mengalahkan tuan rumah 1-0.

Terasakan betapa Messi tak henti memerankan diri menjadi pelayan orkestrasi permainan bagi rekan-rekannya. Pada sisi lain, 10 pemain Argentina juga berjuang hidup-mati untuk mewujudkan mimpi kaptennya meraih Piala Dunia.

Enzo Fernandez dkk bukan hanya bertarung untuk meraih trofi dunia ketiga bagi Argentina setelah 1978 dan 1986; dalam wujud drama dan kisah sepak bola mereka juga menyokong penuntasan rasa kepenasaran Leo Messi. Apalagi inilah momen Piala Dunia 2022 yang hampir bisa dipastikan menjadi yang terakhir dalam usia 35 Si Alien.

Berakhirkah semua perbincangan tentang “takdir” dan kelengkapan Lionel Messi? Agar dia tidak selalu dibanding-bandingkan dengan Diego Maradona, sang legenda?

Trofi apa pun sudah Messi miliki. Dari level liga bersama Barcelona dan Paris St Germain, Liga Champions, hingga Piala Dunia Antarklub. Dia juga membendaharakan Piala Dunia U20 pada 2005 dan medali emas Olimpiade 2008, lalu pada usia 34 meraih Copa America.

Tujuh kali penghargaan individu Ballon d’Or dia bukukan, melewati raihan pesepak bola mana pun. Rekor itu bertambah dengan menjadi Pemain Terbaik, dan dia menjadi satu-satunya manusia yang dua kali mendapatkan, setelah Piala Dunia 2014. Hanya, delapan tahun silam Argentina kalah di final dari Jerman.

Selama ini, Maradona dianggap “lebih besar”, karena mampu mempersembahkan Piala Dunia 1986, walaupun tidak meraih Copa America dan emas Olimpiade.

Semestinyalah, sejak sekarang tak ada lagi perdebatan tentang kelayakan penyejajaran Messi dengan Maradona.

Siapa GOAT?
Pun, berakhirlah argumentasi: siapa yang lebih layak disebut sebagai GOAT — Greatest of All Times –, dia atau Cristiano Ronaldo. Dalam rentang lebih dari satu dekade, selalu muncul head to head dengan segala parameter dan subjektivitasnya.

Bisa saja diskusi tentang GOAT akan terus berdinamika sebagai bagian dari keasyikan mengisahkan Pele, Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Franz Beckenbauer, Johan Cruyff, Michael Platini, Diego Maradona, Ronaldo Luis Nazario, Zinedine Zidane, Ronaldinho, Cristiano Ronaldo, atau Lionel Messi. Hanya, sukses Messi di Qatar menciptakan perspektif lain pemetaan.

Di Qatar 2022, Messi tampak mengekspresikan semua pendaman bakat dan potensi dalam dirinya. Bagaimana unjuk “skill dewa” sebagai pembeda, melayani tim dengan umpan-umpan eksepsional, juga menunjukkan jiwa kepemimpinan yang kuat.

Elemen ketiga itu sering dimasalahkan, bahkan oleh Maradona dan sejumlah analis. Banyak yang menilai, salah satu pembeda dari Maradona adalah kekuatan karakter leadership.

Di Copa America 2021 dan Qatar 2022, Messi bertransformasi menjadi sosok yang lebih ekstrovert, juga meletupkan “sisi lain” yang tak biasa dia perlihatkan, yakni sikap “memberontak”, “melawan”, juga sedikit “berandalan”.

Pertunjukan di Piala Dunia penutupnya ini seakan-akan tuntas mempertontonkan Lionel Messi yang sejati. Dan, benar kata Rene Higuita, kita beruntung menjadi saksi momen dramatik itu.

Kita menikmati Messi menjemput takdir dengan akhir yang indah…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah