Oleh :Hadi Priyanto
Taman Nasional Karimunjawa memiliki keunikan tersendiri. Sebab didalamnya terdapat lima tipe ekosistem yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pantai, hutan bakau, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Namun di antara kelima ekosistem tersebut, terumbu karang yang berdasarkan citra satelit luasannya mencapai 7487,55 ha, merupakan ekosistem utama yang memiliki daya tarik wisata sekaligus sumber penghidupan nelayan. Sebab terumbu karang merupakan rumah nyaman bagi ikan untuk berkehidupan dan juga bagi biota laut lainnya.
Juga sumber sumber plasma nutfah, sumber bahan baku obat, serta sumber ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan pendidikan
Ekosistem terumbu karang di Karimunjawa terdiri dari 69 genera karang yang termasuk dalam 14 famili ordo scleractinian dan 3 ordo non scleractinian. Sedangkan jenis yang mendominasi kawasan ini adalah genera Acropora dan genera Porites dan sebagian berada dikedalaman 1-5 m.
Namun tidak mudah menjaga dan mengelola ekosistem terumbu karang. Sebab harus memadukan upaya konservasi sumber daya alam dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tujuannya agar masyarakat dapat memanfaatkan kelestarian alam itu untuk meningkatkan kesejahteraannya. Bukan saja untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Melihat potensi yang ada di Karimunjawa, walaupun kawasan bukit dan hutan juga memiliki daya tarik, namun daya tarik utama pariwisata di Karimunjawa adalah wisata bahari. Sedangkan aktivitas yang disukai wisatawan adalah snorkeling, diving dan perjalanan laut.
Dengan tingkat kunjungan wisatawan yang terus meningkat hingga mencapai 147 ribu lebih pada tahun 2019, menjaga kelestarian alam di Karimunjawa menjadi persoalan yang tidak mudah. Apalagi ada kecenderungan yang berkembang di Karimunjawa adalah wisata massal dengan tingkat kesadaran pengelolaan sampah yang relatif rendah.
Persoalannya menjadi serius karena pelaku wisata dan wisatawan sering kali abai saat menikmati dan memanfaatkan pesona bawah laut yang tercipta ratusan tahun yang lalu. Karena minimnya kesadaran dan pengetahuan, kehadiran mereka justru merusak ekosistem terumbu karang.
Letak geografis Karimunjawa yang terletak dijalur pelayaran padat juga bisa saja menjadi ancaman. Walaupun Karimunjawa telah masuk dalam Peta Pushidros yang dikeluarkan oleh TNI AL untuk kepentingan keselamatan pelayaran serta memiliki dua tempat tambat kapal di Karimunjawa dan Legon Bajak berdasatrkan SK Menteri Perhubungan, kasus kapal dan perahu kandas masih saja terjadi. Akibatnya terumbu karang Karimunjawa tetap saja tercabik-cabik karena veesel grounding (kapal kandas). Sedangkan untuk proses pemulihan diperlukan waktu puluhan tahun.
Kerusakan terumbu karang juga bisa terjadi akibat penangkapan ikan. Apalagi Karimunjawa menjadi salah satu pusat perikanan di Jawa Tengah. Karena itu kawasan ini menjadi kue manis bukan saja bagi nelayan Karimunjawa tetapi juga dari wilayah lain. Persoalannya adalah pola penangkapan yang digunakan, utamanya jenis pelagis kecil yang sering kali menggunakan alat atau bahan yang bisa merusak ekosistem terumbu karang.
Penataan pola pengelolaan pantai juga belum sepenuhnya memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang. Ada sejumlah kawasan pantai yang dikelola namun tidak memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian alam dan bahkan bertentangan dengan konsep wisata alam dan eko turisme. Ada juga bangunan yang tidak mengikuti kaidah sempadan pantai wilayah konservasi.
Belum lagi tidak adanya pola pengelolaan limbah cair di Karimunjawa, membuat semua terbuang ke laut. Baik secara langsung maupun melalui tanah. Termasuk air limbah kolam renang dan air dari hotel yang bukan lagi jenis air netral. Limbah yang dibawa gelombang dari luar pulau Karimunjawa juga jumlahnya tidak sedikit.
Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga muncul karena sedimentasi, asupan unsur hara dari pemukiman maupun limbah kapal. Juga sampah laut berupa ghost net atau peralatan penangkap ikan yang kemudian menjadi sampah dan menjerat terumbu karang. Terakhir yang sedang mengemuka adalah, limbah budidaya udang secara intensif dari tambak-tambak udang ilegal yang berkembang masif dalam tiga tahun terakhir.
Tambak ilegal
Kegiatan budidaya tambak udang yang dilakukan dengan sistem intensif akan menghasilkan limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan, dan secara nyata dapat mempengaruhi kualitas lingkungan perairan pesisir (Johnsen et al., 1993). Menurut Clark (1996), secara langsung dan tidak langsung dampak limbah tambak terhadap perikanan, yaitu menurunnya jumlah populasi organisme, kerusakan habitat serta lingkungan perairan sebagai media hidupnya.
Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukkan bahwa nilai parameter Total Suspended Solid (TSS) atau padatan tersuspensi total dan Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan aksigen kimia pada perairan pantai melebihi ambang batas baku mutu kualitas air yang diperbolehkan untuk kehidupan organisme laut, termasuk terumbu karang. Belum lagi penebangan dan kerusakan hutan mangrove yang menyertai pembuatan tambak udang.
Karena itu perlu politic will yang kuat dari para pemangku kepentingan untuk menjaga kelestarian lingkungan Karimunjawa. Sebab senyatanya instrumen hukumnya telah tersedia. Tinggal komitmen dan konsistensi dalam menegakkan peraturan.
Mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan mengabaikan aspek konservasi, senyatanya sama dengan menghancurkan masa depan Karimunjawa. Sebab jika kerusakan terumbu terus terjadi, Karimunjawa akan kehilangan daya tarik utamanya.
Oleh sebab itu, kawasan konservasi baik yang berada di daratan dan lautan Karimunjawa harus dijaga dengan kekuatan dan kepastian hukum demi menjaga kelestarian ekosistem yang ada, untuk masa depan bangsa.
Penulis adalah Wartawan Suarabaru.id dan Pegiat Budaya di Jepara