KAPTEN yang tangguh tidak lahir dari laut tenang, tetapi dari gelombang yang deras menerjang. Menjadi yatim sejak usia 5 tahun.
Tinggal di dusun terpencil dengan fasilitas dan infrastruktur serba minim, Sudarmono, SE, MM, membuktikan bahwa kesuksesan adalah soal niat dan perjuangan.
Mata Sudarmono berbinar terang. Menatap layar monitor yang masih menampilkan dosen penguji, ia mengepalkan tangan ke atas, memekik syukur sambil berteriak gembira.
Pada Minggu (31/1/2021), tepat pukul 12.00 WIB, Sudarmono berhasil mempertahankan tesisnya di hadapan dosen penguji program S-2 Magister Manajemen Universitas Semarang (USM).
Selama 2 jam berjibaku menjawab pertanyaan dari dosen penguji, resmilah sudah sekretaris Rektor USM tersebut menyandang gelar Magister Manajemen.
Sebuah pencapaian yang membanggakan, tentu saja. Siapa mengira pemuda yang lahir dan dibesarkan di perkampungan kecil di ujung pesisir pantai utara Jawa tersebut mampu meraih prestasi menggapai gelar Magister.
Dusun Deling, tempat Sudarmono lahir dan tumbuh, adalah desa yang nyaris tanpa ambisi. Tiap hari penduduk desa tidak bisa tidur nyenyak karena air abrasi menyatroni rumah mereka.
Saban sore menjelang, air laut akan naik menyerbu kampung tanpa permisi. Masuk tanpa permisi, menggenangi seisi rumah, seisi kampung, hingga menyisakan lautan air sejauh mata memandang. Demikian selalu terjadi. Setiap hari.
Meski tumbuh di lingkungan dusun, Sudarmono beruntung mempunyai orang tua yang peduli akan pendidikan. Ia dan kelima saudaranya disekolahkan.
Meski harus menempuhi jarak berpuluh kilo dengan bersepeda, enam bersaudara tersebut mampu menyelesaikan sekolah, setidaknya hingga bangku SMA.
Selepas ayahnya wafat, saat itu usia Sudarmono baru 5 tahun, ibunya bertekad untuk terus meneruskan sekolah anak-anaknya. Bahu membahu dengan neneknya, sang ibu akhirnya berhasil mengantarkan 3 orang putranya menjadi sarjana.
”Ibu saya adalah segalanya. Meskipun beliau tidak lulus SD, tetapi kesadaran akan pentingnya pendidikan sungguh luar biasa. Saya sangat bersyukur mempunyai ibu seperti beliau. Beliau adalah panutan. Segalanya. Saya bisa menjadi sekarang semata-mata adalah buah kasih dan perjuangan beliau. Bersama dengan nenek dan istri, mereka bertiga adalah trilogi berlian yang menjaga nyala terang hidup saya,” kata penggemar AC Milan tersebut.
Sudarmono tidak berlebihan. Sewaktu kepergian ayahnya, praktis beban rumah tangga berada di pundak sang ibu. Selain dirinya, masih ada 3 kakaknya yang juga sedang bersekolah, 2 di perguruan tinggi, 1 di sekolah tingkat atas.
Hanya dengan tekad yang kuat dan komitmen luar biasa, di tengah segala keterbatasan, sang ibu berhasil menghantarkan seluruh putranya tuntas menyelesaikan pendidikan.
”Berat dan perjuangan tidak terkira tentu saja. Setiap pagi saya harus bangun sebelum subuh untuk membantu ibu jualan di pasar. Setelah kuliah saya masih harus membantu mengerjakan banyak kegiatan untuk keperluan jualan esok hari. Alhamdulillah, dengan segala perjuangan dan pengorbanan ibu, saya bisa menjadi seperti sekarang ini,” tutur Sudarmono.
Sadar bukan berasal dari keluarga berkecukupan, Sudarmono belajar dengan serius dan aktif berkegiatan di kampus. Sesuai hobinya dari kecil, ia pun masuk ke club sepak bola USM. Tiada hari tanpa bermain sepak bola.
Ia pun menjadi salah satu pemain andalan USM dan berhasil mengantarkan USM menjuarai Liga Pendidikan Olahraga Perguruan Tinggi Jawa Tengah (LIPIO) dan juga Porsimaptar.
Sepak bola pun menjadi oase sekaligus pintu pandora bagi Sudarmono. Dari sepak bola, Sudarmono mendapatkan banyak teman dan relasi.
Ketika pada akhirnya ia menyelesaikan studi dan lulus sebagai Sarjana Ekonomi, tawaran untuk bekerja di Universitas Semarang datang dari petinggi kampus yang mengenalnya sebagai atlet bola. Resmilah kemudian Sudarmono masuk ke dalam keluarga besar karyawan Universitas Semarang.
Memang dasar darah bola mengalir deras di tubuhnya, kesibukan di belakang meja tidak menghilangkan kecintaannya terhadap si kulit bundar. Gayung bersambut. Pengurus UKM Bola USM kemudian memintanya bergabung ke dalam staf pelatih. Sambil sesekali tampil sebagai pemain, peran Sudarmono pun bertambah karena juga harus menangani persoalan manajemen tim.
Ketika kemudian menikah di tahun 2016 dan lalu mempunyai putra, Sudarmono tidak meredupkan mimpi dan nasihat ibunya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin.
Oleh sebab itu, di tengah kesibukan sebagai asisten rektor USM, pengurus klub sepak bola USM, sebagai suami, sebagai ayah, dan juga sederet kesibukan di kampung sebagai sekretaris takmir dan ketua RW, Sudarmono mantap meneruskan studi di program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Semarang (USM).
”S-2 ini bukanlah akhir. Saya akan terus menggenggam nasihat ibu untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Dengan doa dan perjuangan, yakinlah, seberat apa pun keadaan akan selalu ada jalan untuk mewujudkan impian,” ucapnya.
Muhaimin