Sepanjang pertunjukan, banyak dialog sarkastik untuk menyindir politikus, tenaga dan sistem pendidikan, fenomena percintaan, konflik rumah tangga, lunturnya kebudayaan, dan fanatisme keagamaan.
Namun benang merah cerita tetap pada keteguhan anai-anai (Dongok) yang setia mencari cahaya (Tuhan).
“Aku harus tetap berjalan untuk menemukan manusia. Sekeliling yang tampak hanya kumpulan monyet dan iblis bertopeng manusia. Rakus dan tamak. Setiap saat berganti muka. Aku dituduh gila, sedangkan mereka sendiri gila,” salah satu dialog tokoh utama Dongok.
“Mungkin ada yang ingin sepertiku. Sedangkan aku, selalu ingin seperti mereka. Refleksi sepanjang hari kalau manusia tidak akan berhenti untuk ingin,”
Dongok sendiri diperankan oleh Ayung. Meskipun dalam kondisi sakit (gejala tifus), ia merasa proses pentas kali ini menjadi pembuktian tentang kualitas pertunjukan yang memadukan unsur logika dan estetika panggung.
“Saya berharap penonton mengerti pesan yang ingin kami (Teater Gadhang) sampaikan,” kata Ayung.
Pesan yang ingin disampaikan adalah orang-orang menganggap dengan punya banyak uang, pendidikan tinggi, kerja mapan merupakan faktor utama kebahagiaan. Naskah Anai-Anai mencoba memutarbalikkan realita bahwa kebahagiaan ada dalam diri manusia yang terdapat cahaya dengan simbolisasi Tuhan.
Nurela Nur