blank
Masjid Wali Robayan. Gapura paduraksa peninggalan Mbah Roboyo. (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Khanif Hidayatullah

JEPARA (SUARABARU.ID)- Gapura paduraksa terdapat di halaman depan Masjid Jami’ Baiturrahman I Robayan atau yang dikenal dengan Masjid Wali Robayan. Warisan sejarah gapura paduraksa memiliki makna dari perpaduan antarbudaya. Masjid yang terletak di Jalan Raya Welahan tersebut merupakan salah satu masjid kuno yang berada di wilayah Jepara.

Desa Robayan secara administratif adalah bagian dari Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara. Pada abad ke-16, Robayan merupakan salah satu wilayah yang berada di dalam benteng pusat Kesultanan Kalinyamat. Benteng keraton Kalinyamat yang berupa dinding tebal batu bata diketahui berada memanjang di barat aliran Sungai Bakalan desa Robayan.

Awal mula Masjid Jami’ Baiturrahman I Robayan didirikan oleh seorang waliyullah yang bernama Mbah Roboyo. Pada masa lampau Mbah Roboyo diyakini sebagai pembuka pemukiman (babad alas) desa Robayan. Kepada masyarakat sekitar, Mbah Roboyo mengajarkan ilmu agama Islam. Hingga seiring perkembangan waktu desa tersebut menjadi pemukiman yang ramai.

Peranan dakwah agama Islam yang dilakukan oleh Mbah Roboyo menjadi masa perkembangan Islam bagi masyarakat desa. Pedesaan tersebut kelak dikenal dengan nama desa Robayan yang berasal dari nama seorang tokoh agama dan leluhur desa yang bernama Mbah Roboyo.

Pembangunan Masjid Jami’ Baiturrahman I Robayan diperkirakan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Masjid inilah yang menjadi tempat beribadah bagi kaum muslim dan sebagai pusat perkembangan agama Islam di desa Robayan dan sekitarnya.

Bangunan masjid telah mengalami berbagai tahapan renovasi. Warisan arkeologis yang masih dijaga konsepnya adalah gapura paduraksa yang berada di halaman depan masjid sebagai gerbang utama. Gapura paduraksa diyakini sebagai peninggalan dari masa awal mula berdirinya masjid. Gapura paduraksa di bangun dengan batu-bata dan dahulu dihiasi dengan piring khas Cina.

Jepara yang terletak di pesisir utara Jawa menjadi perlintasan jalur rempah Nusantara. Sebagai kota pelabuhan, Jepara menjadi tempat interaksi dari berbagai bangsa dan budaya. Gapura paduraksa yang berada di halaman masjid Baiturrahaman I Robayan Jepara merupakan simbol asimiliasi budaya. Perpaduan antara kebudayaan Islam, arsitektur masa Hindu-Buddha, dan Cina disatukan dalam sebuah arsitektural gapura paduraksa.

Gapura paduraksa yang dibangun di halaman depan masjid merupakan strategi dakwah Islam melalui pendekatan kebudayaan. Nilai-nilai arsitektur pada masa Majapahit Nusantara tidak dihilangkan, akan tetapi dilestarikan dan dikembangan dengan mengambil nilai intisari kebaikan estetika kebudayaan. Gapura paduraksa dapat menjadi interpretasi masyarakat penuh toleransi yang saling menghargai.

Masjid Jami’ Baiturrahman I Robayan dan gapura paduraksa mempunyai berbagai kisah legenda. Mimbar Masjid Baiturrahman I Robayan dahulu dikisahkan, ketika selesai pembuatan mimbar, ukuran tinggi dari mimbar lebih tinggi daripada pintu utama masjid. Akan tetapi seorang wali yang meminta dibuatkan mimbar tersebut dapat memasukkan mimbar yang tingginya melebihi pintu utama masjid dengan mudah ke dalam ruang masjid.

Pada masa kolonial, terjadi pengeboman di wilayah desa-desa sekitar Kalinyamatan. Peledakan yang dilakukan oleh penjajah tidak bisa mengenai sasaran Masjid Jami’ Baiturrahman I Robayan akan tetapi pengeboman memelesat mengenai sebuah pasar lama Kalinyamat. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan “Kutho Bedah” yang berarti kota yang meledak.

Kisah cerita lainnya ialah ketika dilakukan pengerjaan pelebaran jalan. Gapura paduraksa akan dipindahkan karena menghalangi pelebaran. Akan tetapi suatu ketika gapura paduraksa semacam bergeser dan pelebaran jalan dapat dilaksanakan tanpa memindahkan gapura paduraksa.

Masjid Jami’ Baiturrahman I Robayan atau Masjid Wali Robayan dan gapura paduraksa adalah warisan sejarah kebudayaan masa perkembangan Islam di wilayah desa bagian selatan Jepara. Pelestarian akan kekayaan sejarah dan kisah yang membersamainya dapat menjadi kekuatan identitas, karakter, dan satu kesatuan ragam budaya bangsa Indonesia.

(Khanif Hidayatullah, Anggota Forum Pemuda Pelestari Sejarah dan Kebudayaan Jepara)