SEMARANG (SUARABARU.ID) – Mungkinkah kenaikan BBM direvisi ? Kenapa tidak mungkin. Konsep dalam manajemen sangat dimungkinkan. Sangat terbuka untuk ditinjau ulang dan dievaluasi.
Hal itu dikatakan Pengamat Kebijakan Publik, Pudjo Rahayu Risan saat menjadi narasumber dalam diskusi di salah satu radio di Kota Semarang, Rabu (7/9/2022).
Apakah kebijakan yang diambil pemerintah itu premature? “Kebijakan publik untuk publik ya harus mendengar publik, dan kebijakan itu yang buat kan manusia, konsep manajemen terbuka untuk dievaluasi,” ungkapnya.
Menurut Pudjo, peluang untuk direvisi dikaitkan dengan gelombang penolakan yang cenderung massif, apalagi kalau terstrukkur dan sistematis.
“Gelombang aksi menolak kenaikan harga BBM terjadi di berbagai daerah. Jangan lupa atmosfir politik menuju 2023-2024 semakin dekat. Banyak unsur di masyarakat yang turun ke jalan, dengan satu tuntutan menolak kenaikan harga BBM,” tuturnya.
Pudjo menyebut, Presiden Jokowi juga angkat bicara terkait adanya reaksi publik imbas kenaikan harga BBM. “Ya ini kan negara demokrasi,” kata Jokowi kepada wartawan di Sarinah, Jakarta Pusat pada Senin (5/9/2022).
“Memang dilematis. Seperti tragedi buah simalakama. Bagai makan buah simalakama, suatu kondisi yang serba salah. Dimana keadaan, ketika seseorang harus memilih antara dua hal yang sulit untuk ditentukan. Satu sisi beban APBN semakin berat karena subsidi BBM, disisi lain keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dinilai sebagai kebijakan yang tidak berpihak terhadap wong cilik,” ujarnya.
Dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap APBN adalah beban subsidi BBM dan subsidi listrik yang meningkat. Hal ini akan memicu kenaikan defisit anggaran atau dalam perspektif yang lebih luas akan memacu kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).
“Wong cilik yang pada struktur sosial masyakarat ibarat piramide berada pada posisi paling bawah. Hal ini menggambarkan jumlah paling besar ada pada wong cilik, masyarakat kalangan bawah,” kata Pudjo.
Pudjo menambahkan, bahwa ciri masyarakat rendah sangat rentan dari posisi ekonomi. Kenaikan harga BBM, paling menderita, dimana pendapatan tetap, bahkan bisa turun karena semua pihak yang memberi upah terkena dampak kenaikan BBM. Sementara pengeluaran mau tidak mau bertambah. Konsekuensi dari kenaikan BBM akan berimbas seperti efek domino mengakibatkan semua barang dan jasa naik signifikan.
Sebagai konsekuensi menaikkan harga BBM, lanjutnya, pemerintah dengan APBN akan memberi bantuan terhadap masyarakat kecil yang terdampak.
Disinilah perlunya Pemerintah Daerah baik Provinsi, maupun kabupaten dan kota, paling tidak memanfaatkan APBD masing-masing ikut dengan refocusing seperti saat menangani Covid-19, membantu masyarakat terutama yang tidak tercover dengan APBN. Kita semua paham bantuan APBN sangat terbatas, tidak bisa membantu secara keseluruhan.
Menurut Pudjo, dampak dari kenaikan harga BBM, paling tidak ada lima poin yang berdampak, diantaranya harga barang semakin mahal, daya beli masyarakat menurun, kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, dan usaha kecil semakin terpukul.
Dua tiga bulan kedepan angka inflasi akan cenderung naik. Tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak kenaikan BBM dari sudut pandang ekonomi klasik?
“Yakni dengan mengurangi pengeluaran konsumtif, dengan melatih diri membiasakan budaya hemat. Selain itu Memaksimalkan jumlah penumpang dalam satu kendaraan, menggunakan moda transportasi non BBM, misalkan sewaktu-waktu bisa dengan bersepeda atau berjalan kaki bagi yang masih kuat dan bugar. Dengan demikian laju inflasi bisa terkendali pada titik normal,” ucap dia.
Apa Itu Inflasi? Inflasi adalah proses meningkatnya harga secara umum dan terus-menerus, sehubungan dengan mekanisme pasar yang dipengaruhi banyak faktor, seperti peningkatan konsumsi masyarakat, likuiditas di pasar yang berlebih, sehingga memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, hingga ketidaklancaran distribusi barang.
Intinya, kebijakan publik bisa dievaluasi, kebijakan menaikkan harga BBM bisa dievaluasi.
Dikatakan bahwa pengambil kebijakan tidak perlu malu, gengsi atau apapun jika memang kebijakan publik tidak pro publik. Harus imbang antara mudarat dan manfaat.
“Evaluasi tidak harus mengembalikan ke harga sebelumnya, tetapi bisa kalkulasi ulang dengan harapan marjin kenaikan bisa dikurangi. Kebijakan publik yang ideal adalah goalnya partisipasi publik yang positif,” pungkasnya.
Ning Suparningsih