(SUARABARU.ID) Pakar hukum dari Universitas Semarang (USM) dan anggota DPR RI menyatakan sepakat, jika kejahatan Mafia Tanah di tetapkan sebagai salah satu bentuk Extra Ordinary Crime atau kejahatan yang luar biasa, namun masih tarik ulur berbeda pendapat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilibatan dalam menangani kejahatan Mafia Tanah di Indonesia.
Extra Ordinary Crime atau Kejahatan luar biasa sendiri merupakan istilah, yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu kejahatan yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan manusia atau hajat hidup manusia.
“Saya pikir, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah bisa saja menetapkan bahwa kejahatan terhadap pertanahan itu sebagai salah satu bentuk Extra Ordinary Crime, sehingga kemudian pendekatan dan penanganan, termasuk sanksi pidananya itu juga dilakukan pendekatan Extra Ordinary Crime atau kejahatan luar biasa,” papar M Junaidi, SHI, MH pakar hukum USM kepada SUARABARU.ID di Gedung Rektorat USM.
Sebab dalam kejahatan Mafia Tanah ini, lanjutnya, melibatkan oknum di banyak elemen negara, seperti oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan yang terlibat di dalamnya, oknum Pengadilan dan seterusnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Anggota Komisi 2 DPR RI, Riyanta, SH, yang menyatakan setuju jika kejahatan mafia tanah di tetapkan sebagai salah satu bentuk Extra Ordinary Crime atau kejahatan yang luar biasa, sebab persoalan kejahatan mafia tanah itu merupakan masalah bangsa dan negara, jadi negara perlu hadir untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi rakyatnya dalam posisi benar.
“Saya setuju itu, karena sering Saya katakan bahwa kejahatan pertanahan atau mafia tanah bukan persoalan orang dengan orang atau orang dengan korporasi atau perusahaan. Tapi ini adalah persoalan bangsa dan negara, karena prinsipnya negara wajib hadir untuk memberikan kepastian hukum, kemudian melindungi warga negara atau rakyatnya dalam posisi benar,” tegasnya melalui telepon seluler.
Karena, ungkapnya, yang membikin persoalan-persoalan kejahatan pertanahan atau mafia tanah itu tidak selesai adalah oknum-oknum yang ada di pemerintahan, salah satunya oknum yang ada di Badan Pertanahan.
Beda Pendapat TNI Dilibatkan
Seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Jaringan Pendamping Kebijakan Pemerintah (JPKP) Maret Samuel Sueken di Semarang, usai seminar Melawan Tanah dengan Strategi Manajemen Perang pada Rabu lalu (29/8/2022), bahwa TNI akan dilibatkan dalam penanganan kejatahan mafia tanah, ada tarik ulur perbedaaan pendapat.
Demi untuk menjaga kewibawaan negara, Riyanta setuju TNI dilibatkan, karena ada dugaan adanya keterlibatan oknum-oknum TNI baik yang masih aktif maupun yang sudah purna (mantan TNI).
“Saya tentu akan mendukung semua langkah-langkah siapapun, yang bertujuan untuk menjaga kewibawaan negara. Termasuk kehadiran TNI untuk mem-backup lembaga negara lain yang barangkali, kewalahan melihat aktivitas mafia-mafia itu. Karena kemungkinannya ketika TNI membentuk Satgas Mafia Tanah, disinyalir ada oknum anggota TNI yang “bermain” di situ. Jadi kalau memang Panglima TNI mau membentuk Satgas itu, bagi Saya sangat setuju. Karena negara memang harus kuat dan tegas terhadap kejahatan termasuk Mafia Tanah,” tandas Ketua Gerakan Jalan Lurus (GJL) ini.
Namun beda dengan pendapat mantan Direktur Magister Hukum USM, yang menyatakan tidak ada keharusan untuk melibatkan TNI, tapi jika tetap harus dilibatkan dipesankan untuk berhati-hati dan harus dihitung benar-benar secara matang.
“Catatannya, kalau kemudian TNI ini mau dilibatkan, ya harus memang benar-benar dihitung secara matang. Apakah fungsi daripada pertahanan kita mau geser terus menerus. Ini kan masalah berkaitan dengan administrasi. Kalau administrasi itukan cukup kepolisian, kalau perlu mengundang tim ahli untuk masuk dalam timsus, Saya pikir itu cukup relevan untuk menyelesaikannya (kasus mafia tanah),” tandas Junaidi.
Oleh karena itu, imbuhnya, tidak harus TNI dilibatkan dalam menyelesaikan kasus mafia tanah, karena basicnya adalah pertahanan. Sebab Filosofi dari TNI adalah melakukan kebijakan sebagai alat negara untuk pertahanan negara.
Absa