Oleh: Amir Machmud NS
// bacalah bahasa tanda/ kau temukankah harapan?/ atau muram masa depan?/ ia isyarat yang akan memberimu senyum/ atau kesedihan…//
(Sajak “Bahasa Tanda Sepak Bola”, 2022)
HARAPAN tak jarang terbaca dari bahasa tanda.
Fans Manchester City misalnya, mendapat sinyal harapan dari Erling-Burt Haaland yang mencetak dua gol kemenangan atas West Ham United dari laga perdananya di Liga Primer. Pada pekan yang sama, Liverpudlian juga dibuat tersenyum oleh gol Darwin Nunez ke gawang Fulham, meskipun Liverpool tertahan 2-2.
Performa Haaland menjadi jawaban atas kepergian Sergio Aguero ke Barcelona yang kemudian pensiun dini karena indikasi kelainan jantung. Sedangkan Nunez meyakinkan fans untuk melupakan Sadio Mane yang memilih hijrah ke Bayern Muenchen.
Di bagian yang lain, Robert Lewandowski menjanjikan kolaborasi dahsyat dengan Pedro Gonzales. Tandem ini diperkirakan bakal menjadi momok di La Liga. Lewa yang sebelumnya menjadi “raja gol” di Muenchen dan Dortmund, masih “mejan” di sejumlah pertandingan pramusim bersama Barcelona. Tampaknya, Barcelonsitas telah menemukan bomber penggganti kesuburan Lionel Messi.
Ya, harapan memang dimulai dari kode-kode awal, walaupun proses adaptasi juga berbicara. Ada yang cepat, ada pula yang lambat, bahkan ada yang hingga akhir tidak menemukan chemistry dengan taktik bermain sebuah kkub.
Anda tentu mencatat kisah Philippe Coutinho yang bersinar di Anfield, tetapi gagal total di Camp Nou. Paul Pogba yang mengilap bersama Juventus, malah kehilangan sentuhan magis di klub yang membesarkannya, Manchester United.
Yang terbaru, Romelu Lukaku tak menemukan kecocokan dengan Chelsea, klub yang pernah dia bela. Big Rom moncer di Internazionale Milan, dan ketika “pulang kandang” ke Stamford Bridge malah gagal total, dan akhirnya kembali ke Inter dengan status pinjaman.
Dari sisi pemain, isyarat awal yang memberi optimisme atau yang menumbuhkan pesimisme adalah bagian dari romantika transisi adaptasi. Maka kita mengenal istilah “nyetel”, atau “tune in”, untuk menggambarkan “rekatan kimiawi” dalam sisi lain manajemen perubahan dengan segala dinamika perubahannya.
Tanda-tanda Ten Hag
Dari titik penanda ini, pekan kemarin kita disuguhi situasi aneh di Stadion Old Trafford. Dari sisi tradisi, kalkulasi teknis, kapasitas pemain, dan psikologi, Brighton Hove-Albion tentu bisa dianggap sebagai “lawan yang enggak-enggak” untuk MU. Namun, Liga Inggris memang sering tak bisa diduga. Setiap laga ibarat “final” dan “berat” bagi klub-klub “lima besar”.
Kekalahan 1-2 di kandang sendiri, di bawah kesegaran harapan Erik ten Hag, bisa dimaknai sebagai kode awal yang tidak bagus. Sesuatu yang segar, yang dipertontonkan dalam sejumlah laga pramusim, seolah-olah tidak terlihat dalam debut laga formal. Membalas satu gol hanya dari bunuh diri pemain lawan sungguh terasa menyesakkan bagi Setan Merah.
Ten Hag pantas marah. Hasil itu menyimpulkan beberapa indikasi. Pertahanan yang mudah digedor, barisan penyerang yang membuang banyak kesempatan, dan lini tengah yang “belum nyambung”.
Psikologi MU agaknya belum beranjak dari kondisi yang melilit beberapa musim terakhir. Terjadi gonta-ganti pelatih setelah Alex Ferguson pensiun pada 2013. Mulai dari David Moyes, Jose Mourinho, Louis van Gaal, Ole Gunnar Solskjaer, Ralf Rangnick, hingga kini Erik ten Hag. Rasanya belum ditemukan sentuhan yang pas untuk menyegarkan kembali mentalitas juara MU, dan memulihkan Pasukan Theater of Dream dari kondisi`“lupa menang”.
Ketika berlangung suksesi dari Rangnick ke Ten Hag, sejumlah pandit memperkirakan, pelatih asal Ajax Amsterdam itu takkan mudah “menemukan persoalan MU”.
Serunyam itukah proses pemulihan yang dihadapi Manchester Merah?
Faktor psikologi kejayaankah yang membelenggu? Atau ini adalah siklus biasa dalam sebuah pusaran manajemen? Tetapi, haruskah fenomena siklus membutuhkan sebanyak itu “dokter spesialis” untuk mendiagnosis dan mengobati? Jadi, “dokter” macam apa yang mampu menyembuhkannya dari sakit bermusim-musim itu?
Kita masih akan menunggu, mengapa muncul kesenjangan dari hasil-hasil pertandingan pramusim dengan laga pembuka: dengan kesegaran harapan di tangan pelatih baru, di hadapan publik sendiri, dengan sejumlah pemain rekrutan baru?
Akan kita lihat laga kedua, ketiga, dan seterusnya. Tentu dengan membaca tanda-tanda apakah Erik ten Hag akan mendapat kesempatan lebih lama untuk menanamkan filosofi, ide-ide, pendekatan psikologi, dan taktiknya.
Ya, bukankah Alex Ferguson pun membutuhkan waktu panjang pada 1980-an hingga 1990-an sampai MU menemukan jatidiri sebagai “Manchester Merah”?
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —