blank
Robert Lewandowski. Foto: barcatv

blankOleh: Amir Machmud NS

// mesin perang telah didatangkan/ barisan pun disiagakan/ lupakan masa lalu/ bangunlah masa depan…//
(Sajak “Mesin Perang Barcelona”, 2022)

SELALUKAH seni mencetak gol paralel dengan eksotika dribel?

Coba kita simak: acapkali kemampuan itu berdiri sendiri. Dia menjadi kapasitas teknis yang lebih terkait dengan karakter oportunitas, dan kepintaran positioning.

Gambaran eksepsionalitas teknis lengkap melekat misalnya pada para bintang seperti Pele, Johan Cruyff, Diego Maradona, George Weah, Ronaldo Luis Nazario, Zinedine Zidane, Ronaldinho, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Kylian Mbappe, atau Mohamed Salah.

Sedangkan representasi oportunitas tampak menonjol pada sosok seperti Gerd Mueller, Mario Kempes, Salvatore Schillachi, Romario, Bebeto, Hristo Stoichkov, Didier Dorgba, Samuel Eto’o, Thomas Mueller, Karim Benzema, dan pastilah sosok ini: Robert Lewandowski.

Gabungan skill dan “cara” melesakkan gol tak berbeda dari fungsionalisasinya, yakni merobek gawang lawan. Target itulah “tujuan” yang diraih melalui keindahan dribel atau seni pemanfaatan peluang.

Lewandowski termasuk kategori bomber oportunis. Lech Poznan (2008-2010), Borussia Dortmund (2010-2014) dan Bayern Muenchen (2014-2022) pernah dimanjakannya. Predikat mediatika “Lewangolski” pun layak disandang pemain yang dua kali terpilih sebagai Pemain Terbaik FIFA (2020-2021) itu.

Maka ketika Barcelona mendatangkannya, walaupun pada usia yang relatif menyenja — 33 tahun –, segera tergambar tentang barisan penyerang yang bagai “mesin pembunuh”. Media sosial Barca menyematkan label “Lewangoldski”.

Bisakah kapten tim nasional Polandia itu berkibar di sisa waktu kariernya bersama Barcelona?

Restorasi Barca
Selain Lewy, Barca juga mendatangkan Raphinha dari Leeds Uniteds. Dua pembelian senilai Rp 1,6 triliun ini menjadi jawaban bahwa manajemen Barca telah mampu mengatasi masalah finansialnya.

Pelatih Xavi Hernandez masih memiliki sejumlah tokoh lain: Pierre-Emerick Aubameyang, Ansu Fati, Gavi, Ferran Torres, Memphis Depay, Pedri Gonzales, dan Ousmane Dembele yang akhirnya bertahan di Camp Nou.

Inilah kombinasi lengkap penggempur; antara yang menonjol dalam manuver dribel, dan yang istimewa karena oportunitasnya.

Xavi pun punya banyak opsi untuk menciptakan racikan lini penyerang yang selama ini masih merindukan masa-masa kemaharajaan Trio MSN (Messi, Suarez, dan Neymar) pada 2014-2017.

Restorasi Blaugrana ini memberi gambaran betapa bakal dahsyat rivalitas antara dua seteru el clasico, Barca versus Real Madrid. Juga menyegarkan kembali cahaya La Liga yang selama beberapa musim terakhir ini ditinggalkan dua ikon utama: Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Xavi, legenda Camp Nou yang pada saat bermain mendapat julukan “The Puppet Master” karena kepiawaiannya mengendalikan permainan, kini punya missi merebut kembali habitat elite Barcelona.

Tentu juga ikhtiar mengembalikan keindahan tiki-taka yang memudar. “Penyempurnaan” possession football Pep Guardiola oleh Luis Enrique pada 2014-2017 sebenarnya sudah mengisyaratkan, tiki-taka butuh penyegaran kreatif, karena telah banyak dipelajari sebagai sebuah tesis.

Ketika itu Enrique mengetengahkan inovasi tentang kombinasi aliran umpan-umpan pendek dengan serangan langsung ke jantung pertahanan, yang terbukti mampu melengkapi daya kejut tiki-taka dan membawa Barca berjaya.

Antesis pun nyatanya tak bisa dihindari. Para empu sepak bola terus mencari peredam permainan menyerang yang posesif ini. Ketika Barca mengalami persoalan internal, ditambah “ijtihad” para pelatih lawan menemukan resep “antitiki-taka”, maka seolah-olah ciri khas tesis itu sulit dipraktikkan lagi secara sempurna oleh Barca.

Kondisi ini secara alamiah juga didorong oleh realitas alamiah perginya sejumlah pilar organisasi permainan Barca, dari Carles Puyol, Xavi, Fabregas, Iniesta, Pedro, Suarez, lalu Messi.

Duet Lewy – Auba
Prospek duet maut Lewandowski – Aubameyang pun kini menjadi proyeksi, apakah Xavi hanya mendapatkan nama besar, atau mampu memadukannya sebagai potensi Barca untuk ber-“triwikrama”?

Duet itu — yang pernah menjadi simbol ketajaman Dortmund — hanya salah satu opsi, karena dia punya banyak permutasi untuk memainkan taktik menyerang. Sarat penyerang berkualitas akan memanjakan Xavi dalam kebutuhan rotasi.

Proyeksi terhadap masa depan juga dipenuhi oleh sederet wonderkid yang dimiliki. Dari Pedri, Gavi, Ferran, hingga Ansu Fati.

Adonan kematangan, nama besar, dan “daun-daun muda” itu menjadi visi Xavi sekarang.

Yang menarik, inovasi kreasi tiki-taka seperti apa yang ada dalam pikiran dan bakal dituangkannya?

Jika untuk Al-Sadd, klub di Liga Qatar Xavi mampu mentransformasikan ide-ide dan filosofi tiki-taka, logikanya bukankah dia punya “rasa” lebih dekat dengan Barca dan La Liga, yang notabene adalah habitatnya sendiri?

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah