Oleh: Ghania Bilqistiyani Syakila
Periode ini di Indonesia sedang berkembang sebuah narasi hangat. Narasi hangat tersebut beredar dengan bahasan mengenai larangan penggunaan sandal jepit ketika berkendara motor. Narasi juga semakin hangat dengan munculnya isu pemberlakuan tilang terhadap pengendara yang menggunakan sandal jepit ketika berkendara motor. Namun, setelah dikonfirmasi lebih lanjut, narasi tersebut hanya merupakan sebuah imbauan kepada masyarakat. imbauan tersebut lebih menyoroti mengenai keselamatan.
Penekanan pada aspek keselamatan ditekankan mengingat resiko ketidakamanan lebih besar bagi pengendara motor yang tidak menggunakan sepatu dibandingkan pengendara motor yang menggunakan sepatu. Imbauan mengenai tidak diperkenankannya penggunaan sandal jepit saat berkendara motor saat ini belum kuat secara hukum. Maka dari itu tidak akan diberlakukan adanya tilang.
Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mewajibkan pengendara sepeda motor menggunakan sepatu. Dan tidak ada pula ancaman sanksi untuk pemotor yang pakai sandal. Undang-undang tersebut hanya mewajibkan pengendara sepeda motor menggunakan helm SNI.
Apabila dilihat dari segi aspek keselamatan berkendara, imbauan yang berkembang mengenai pemakaian sandal jepit ini memunculkan pertanyaan. Apakah pola perkembangan dan finalisasinya akan sama dengan peraturan penggunaan helm saat berkendara motor? Dimana, seperti yang kita ketahui bahwa sejarah peraturan penggunaan helm berkendara motor menuai pro dan kontra. Meskipun pada akhirnya tercatat sebagai peraturan yang sudah mulai ditaati masyarakat di Indonesia.
Peraturan penggunaan helm dicetuskan pada tahun 1970. Pencetusan tersebut dilatarbelakangi oleh pengamatan terhadap negara-negara di Eropa. Negara Eropa memang sudah lebih dulu membiasakan pemakaian helm saat berkendara motor. Latar belakang pencetusan tersebut sejalan dengan data angka kecelakaan dan pengguna sepeda motor yang terus naik. Kontra yang muncul mengenai penggunaan helm saat berkendara motor di Indonesia pun beragam.
Salah satunya adalah anggapan bahwa sepeda motor merupakan kendaraan keluarga. Faktanya kendaraan bermotor sering digunakan oleh ibu-ibu untuk pergi ke acara pernikahan. Dikarenakan acara pernikahan identik dengan sanggul, maka munculah keengganan menggunakan helm.
Imbauan mengenai larangan penggunaan sandal jepit saat berkendara motor juga menuai pro dan kontra. Kontra tersebut muncul dengan unik seperti “Hanya ke pasar kok memakai sepatu?”. Hal tersebut sama menggelitiknya dengan permisalan peraturan pergi ke surau harus menggunakan sepatu. Betapa menggelitiknya lagi kemudian akan ada petugas yang berpatroli melakukan operasi pelanggaran peraturan di sekitaran surau.
Dalam hal ini terlihat bahwasannya pihak kontra lebih menyoroti ketidaklaziman dan ketidakefisienan secara waktu. Sedangkan pihak pro lebih menyoroti pada aspek keselamatan. Mengingat angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia masih sangat besar. Data juga menyatakan bahwa sepanjang tahun 2022 kematian akibat kecelakaan per tahun sebanyak 25.266 jiwa. Pihak pro juga menyoroti resiko cedera kaki yang lebih mungkin terjadi ketika hanya menggunakan sandal jepit ketika berkendara motor.
Dikarenakan belum adanya hukum yang kuat untuk menegakkan imbauan tidak diperkenankannya penggunaan sandal jepit ketika berkendara motor. Maka muncul kekhawatiran imbauan tersebut bisa dikatakan rentan untuk tidak dilaksanakan. Masyarakat diminta untuk memiliki kesadaran penuh dalam menanggapi tersebut. Mengingat ikhtiar manusia dalam keselamatan berkendara motor. Untuk tetap menggencarkan imbauan tersebut, pihak terkait melakukan imbauan dan edukasi masyarakat. Operasi patuh yang saat ini digelar diselingi pemberian imbauan dan edukasi jika mendapati masyarakat menggunakan sandal jepit saat berkendara. Risiko sosialisasi semacam itu patut digali lebih lanjut mengingat belum adanya dasar hukum yang ada. Akankah menjadi boomerang bagi penyelenggaranya.
Kerentanan tidak dilaksanakannya imbauan tidak diperkenankannya penggunaan sandal jepit karena kurang kuat dari segi hukum tidak menggeser fakta yang ada di masyarakat. Seperti yang telah diutarakan seorang guru besar Fakultas Hukum bahwasaannya orang menaati hukum salah satunya karena takut akan sanksi (hukuman).
Sanksi itu adalah petaka bagi yang terkenanya. Dengan adanya sanksi itulah, secara normalnya manusia pasti ada rasa takut. Meskipun masih menuai pro dan kontra imbauan tersebut, akan tetapi fakta yang beredar di masyarakat sangatlah unik. Dimana sebagian besar masyarakat sudah mengetahui bahwasannya pernyataan tidak diperkenankannya penggunaan sandal jepit saat berkendara motor adalah imbauan. Namun, ketika dihadapkan dengan operasi lalu lintas, tanpa sadar masyarakat sudah merasa ketakutan. Ketakutan tersebut muncul dari pertanyaan.
“Bagaimana jika ditilang karena tidak menggunakan sepatu?”
“Saya tidak mengenakan sepatu, bagaimana jika diberhentikan dan diberi imbauan?”
“Jika saya diberhentikan apakah akan ditanyai mengenai surat-surat. Saya tidak membawa surat-surat berkendara”
Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwasannya psikologis masyarakat sudah merasa ketakutan. Hal ini memberi peluang meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai penggunaan alas kaki yang berstandar untuk meminimalkan risiko akibat kecelakaan lalu lintas.
Imbauan mengenai tidak diperkenankannya penggunaan sandal jepit saat berkendara motor memang menuai pro dan kontra. Jika dilihat dari segi manfaat dan dampak jangka panjang imbauan ini sangatlah berarti bagi keselamatan jiwa. Peluang imbauan tersebut untuk bergerak menjadi peraturan masih belum bisa diterapkan dalam waktu singkat ini. Meskipun belum ada dasar hukum yang kuat mengenai hal tersebut. Akan tetapi, faktanya imbauan tersebut sudah sedikit berhasil memberikan dampak psikologis yang berarti bagi masyarakat. Sehingga menambah peluang untuk dilaksanakan Belum adanya dasar hukum, diselinginya operasi patuh dengan imbauan tersebut berisiko memunculkan perdebatan kelayakan imbauan tersebut beredar.
Walaupun, imbauan yang kontroversial ini sudah mendapat poin penting dari masyarakat yakni berupa atensi. Namun, apabila dari pihak terkait lebih menyatakan lebih menyoroti dari segi keselamatan. Ada baiknya sosialisasi yang sudah dilakukan diberlanjut dan dirapikan dengan menekankan sosialisasi yang berkaitan dengan dunia kesehatan.
Sosialisasi yang dikaitkan dengan bidang kesehatan ini cukup logis dan dirasa lebih aman untuk dilaksanakan. Sosialisasi bisa pula melibatkan instansi pendidikan, kesehatan dan instansi lain yang yang bersangkutan.
Penulis adalah mahasiswa semester 4 Fakultas Kedokteran Prodi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) berasal dari Kedungsarimulyo Welahan Jepara.
https://oto.detik.com/motor/d-6130039/naik-motor-pakai-sandal-jepit-bisa-ditilang-begini-faktanya