blank
Ilustrasi para peziarah makam wali. Kalangan Nahdliyin sering menyebut Sarkub.

Oleh: Murtadho Hadi

JEPARA (SUARABARU.ID)- Begitulah, banyak santri dan masyarakat dari berbagai kalangan yang sowan kepada  Syaikh Shobiburrohman Jepara atau yang akrab dipanggil Mbah Shobib. Dan, terkhusus kepada para santri, Mbah Shobib kerap bertanya, “Mondok Ten pundi, Kang?”, dengan nada yang tinggi, dan terkadang diselingi kelakar atau guyon khas Mbah Shobib.

blank
Mbah Shobib Jepara, Presiden Sarkub Nusantara,

Ketika yang tampak adalah perbawa dan haebah beliau, banyak santri yang merasa gemetar sambil  berucap dan terbata “mondok di ini Mbah!”  Sambil menyebut sebuah nama pondok tertentu. Maka Mbah Shobib kerap berujar, “Kalau saya ini ya Sarkub!”. Sesekali beliau beliau mengetes hapalan para santri: ihwal matan Jurumiyah, nazhom Imrithi, nazhom Alfiyah, maupun Juman, Aqidatul Awam, Barzanji, Manaqib, dan lain-lain yang ternyata keseluruhannya Mbah Shobib hapal!.

Begitulah yang saya dengar,  Mbah Shobib kerap mengenalkan dirinya Sarkub! Tentu saja diselingi canda sehingga suasana menjadi cair. Para santri tidak merasa canggung lagi.

Jujur, saya pertama kali mendengar istilah Sarkub memang dari lisan beliau, yang belakangan saya ketahui, ternyata adalah singkatan “Santri Kuburan” atau “Sarjana Kuburan!”. Dan, terkadang Mbah Shobib juga berkelakar menyebut sebuah merk rokok tertentu, ‘Djarum Super!” Kata beliau. Dan ketika mustami’in itu belum mengerti apa yang diisyaratkankan dari guyonannya maka beliau menjelaskan, “JARUM SUPER ; Jarang di rumah suka pergi!”.

Ya, sejak muda Mbah Shobib memang sudah meninggalkan kampung halamannya, dan tidaklah Mbah Shobib mendengar seorang ulama atau Sang KIai yang ‘alim, kecuali Mbah Shobib ingin berguru dan menjadi “pelayannya” (penjelasan tentang ini insyaa-Allah akan saya jelaskan lebih detail dalam “Doktrin Sufistik Mbah Shobib Tentang “Lumadi Guru”).

Baiklah. Tapi kenapa mesti “Nyarkub’ dan bagaimanakah kita bisa memahami  Sarkub seperti yang diisyaratkankan Mbah Shobib itu?

Metode dan Gerakan Sufi

“Sarkub” awal mulanya adalah “metode” dan “gerakan” para Sufi dalam  “riyadhoh” (“menghajar” dan mendidik nakalnya  nafsu) dalam  “pengasingan diri” (yaitu khalwat dan uzlah),  serta “menyamar” (khumul) agar hati menjadi lapang dalam berdzikir (mengingat Allah)  dan hati pun lebih lebih lembut dan  “lebih siap” menerima limpahan “cahaya” dari karunia ilahi.

Sedang Sarkub sebagai “gerakan para sufi”  dalam sejarah peradaban Islam memang pernah menjadi gerakan moril, yaitu ketika para sufi mengambil jarak secara fisik maupun ruhani dengan para penguasa, serta raja-raja dari dinasti kekhalifahan. Sehingga para sufi banyak yang tinggal di tanah-tanah tidak bertuan dan pekuburan. (Dan, jika ada analisa “masyarakat tak bernegara” itu memang benar ada para sarkub itulah cerminan masyarakat tak bernegara!)

Praksis Sosial dan Proyeksi Kebudayaan

Nalar saya tercengang dan hati saya pun bergetar melihat Sang Sarkub (alias Mbah Shobib) ini. Tatkala para pakar geologi, pakar kebudayaan dan sejarah kerapkali buntu dan ambigu!. Maka saya jadi ingat betapa besar jasa-jasa Mbah Shobib Jepara ini.  Jejak-jejak dan karya beliau banyak mewarnai pada situs-situs makam dari mulai pejajajahan  Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, ini yang terdeteksi dan saya ketahui. Walaupun kalau merunut perjalanannya (yang saya dengar) beliau telah menginjakkan kakinya  di sepanjang pulau-pulau di Nusantara.

Ketika  LSM dan Pakar Lingkungan mengkampanyekan “Cinta Lingkungan” dan “Aksi Menanam Pohon”, maka Mbah Shobib telah memulainya sejak muda, ikhtiar menemukan sumber “mata-air” (di daerah Pati, Prawoto, Purwodadi, Bojonegoro, Mojo Agung Jombang, Klaten, Parangkusumo Jogja, dan lain-lain), juga menanam jajaran pohon-pohon kelapa, pohon mangga, yang rata-rata sudah berbuah, dan tinggi menjulang, di hampir setiap situs makam di pulau Jawa, tentulah menanam itu sudah jauh-jauh hari menjadi Proyeksinya.

Dan ketika para pakar sejarah sering buntu menggenapi catatan “nasab” dan “silsilah” (yaitu sebuah babak terpenting dari dokumentasi sejarah), maka si-pemilik “arbabul-bashiroh”,  Mbah Shobib Jepara adalah pakarnya dan sosok yang mempunyai otoritas untuk itu. (Ketika Mbah Muhaiminan Parakan dan Habib Luthfi Bin Yahya pernah dimintai untuk catatan nasab dan silsilah, beliau beliau tak segan-segan menganjurkan kepada si Penanya untuk menanyakan kepada Mbah Shobib Jepara).

Maka tak heran pula, di tahun 2002 Sang Presiden RI ke-4, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) menyempatkan diri sowan ke ndalem Mbah Shobib, yang sayangnya belum ada data, selain guyon dan temu kangen apa saja yang diperbincangkan jika “kedua Sarkub” itu bertemu.

(Murtadho Hadi, Penulis buku “Tiga Sufi Tanah Jawa”dan anggota PC LTN NU Jepara)