blank

Oleh : Hadi Priyanto

Predikat Jepara sebagai kota ukir yang mulai melekat pada kota ini mulai tahun 70-an, kini mulai terancam. Sebab tidak banyak anak muda yang bersedia lagi mewarisi tradisi leluhurnya. Akibatnya perajin ukir semakin langka di kota yang mencoba membangun branding baru The Word Carving Center, Pusat Ukir Dunia.

Ada sejumlah catatan penulis mengapa seni ukir yang hampir tiga   dasa warsa  memberikan kontribusi dominan terhadap perekonomian daerah ini  menghadapi pesoalan serius  dari aspek pelestarian.

Pertama, Jepara sampai saat ini  belum memiliki peta jalan pelestarian seni ukir yang dapat menjadi panduan arah bersama untuk bergerak secara sinergis dan kolaboratif.

Kedua,   sejumlah regulasi di daerah yang telah diterbitkan juga tidak dilaksanakan secara maksimal.  Ada  Perda tentang Pendidikan yang mewajibkan semua satuan pendidikan menjadikan seni ukir sebagai muatan lokal. Juga  Peraturan Bupati tentang Ornamen Ukiran pada Bangunan  dan  Perda No 2 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan, Perlindungan dan Pembinaan Industri Mebel.

Ketiga, tidak ada  lagi  lembaga pendidikan baik formal maupun non formal  yang dapat melahirkan tenaga ukir terdidik dan terampil sejak tahun 1979. Sebab ketika terjadi perubahan dari STM ke SMIK, materi pembelajaran seni ukir menjadi minor. Apalagi ketika berubah menjadi SMKN 2 Jepara yang menggunakan  kurikulum 1994 dengan  orientasi pada kerja bangku mesin produksi membuat seni ukir makin ditinggalkan. Berbeda saat masih STM Jurusan Dekorasi Ukir, seni ukir bersifat mayor. Pasca reformasi Kelas Pembangunan yang memberikan kursus seni ukir bagi anak-anak putus sekolah juga kemudian ditutup.

Keempat, posisi tawar tukang ukiryang rendah nampak pada upahnya  yang rendah jika dibandingkan dengan sektor lainnya juga menjadi penyebab ditinggalkannya  seni ukir oleh generasi muda. Upah tukang ukir terampil di Jepara hanya berkisar Rp.80 ribu – Rp. 100 ribu. Sedangkan penghasilan tukang kayu dan tukang batu bisa mencapai Rp. 120 ribu – Rp 150 ribu.

Kelima, investasi yang mulai masuk ke Jepara tahun 2013 lebih memberikan kepastian tingkat kesejahteraan pekerjanya jika dibandingkan bekerja di brak-brak mebel. Juga terbukanya peluang anak usia produktif untuk bekerja di sektor lain seperti pariwisata.

Keenam, kurang diberdayakan  tukang ukir untuk meningkatkan keterampilannnya, termasuk tidak dilibatkannya dalam pengambilan kebijakan. Akreditasi perajin ukir yang diharapkan menjadi salah satu pintu pembuka untuk meningkatkan upah juga belum dapat diimplementasikan.

Ketujuh, regulasi, harga,  tata niaga kayu juga tidak sepenuh berpihak pada perajin kecil hingga mereka mendapatkan harga yang relative mahal. Sedangkan nilai jual produk tidak  sangat ditentukan oleh pasar dan pemilik modal.

Kedelapan, seni ukir hanya dilihat dari perspektif ekonomi dan tidak dimaknai sebagai produk budaya yang harus dijaga dan dilestarikan bersama.

Sejumlah catatan ini hanya menjadi pengantar awal bagi diskusi panjang yang akan dilakukan oleh para pelestari seni ukir yang terdiri dari kalangan akademisi, guru, tukang ukir, budayawan, pelaku usaha, dan pengurus asosiasi, dalam merumuskan peta jalan pelestarian seni ukir Jepara yang digagas oleh Penjabat Bupati Jepara.

Tentu akan lebih banyak persoalan yang akan muncul dalam diskusi-diskusi panjang nantinya. Tentu diperlukan  komitmen bersama  untuk menuntaskan tugas besar : melestarikan seni ukir Jepara. Harapannya tentunya, peta jalan ini tidak menjadi tumpukan kertas tanpak makna, karena tidak terimplementasikan.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara