blank
Kaprodi Komunikasi Penyiaran Islam IAINU Kebumen Syifa Hamama memberi pelatihan public speaking bagi Fatayat Ranting Gemeksekti Minggu (3/7) di Masjid Al Ikhlas Watubarut.(Foto:SB/Fatayat Gemeksekti)

KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Fatayat NU Ranting Desa Gemeksekti, Kecamatan/Kabupaten Kebumen, Minggu (3/7) sukses menggelar pelatihan public speaking di Masjid Al Ikhlas, Watubarut.

Kegiatan rutin “Sapa Sahabat” yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali (triwulan) itu mengangkat tema yang berbeda pada setiap kajiann. “Sapa Sahabat” untuk mengenal lebih dekat para anggota dan Pengurus Fatayat Ranting Gemeksekti serta meningkatkan mutu keilmuan, skil dan kekompakan antar pengurus dan anggota.

Menurut Ketua Ranting Fatayat Gemeksekti Latifatul Fajriyah, pemilihan tema Public Speaking pada kegiatan “Sapa Sahabat” ini dilatarbelakangi atas minimnya kader dan pemudi yang memiliki kepercayaan diri untuk ditunjuk sebagai pembicara atau MC.

Padahal sudah selayaknya sebagai kader dan pemudi dapat menjadi role model yang baik dan menunjukkan eksistensi dalam ranah bermasyarakat dan berorganisasi. Sasaran kegiatan Pelatihan Public Speaking ini pengurus Fatayat Ranting Gemesksekti dan remaja putri dari 4 dukuh, yaitu Tanuraksan, Watubarut, Tangkil dan Semelang.

Adapun narasumber yang mengisi kegiatan adalah Syifa Hamama MSi, Kepala Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam IAINU Kebumen dan telah memiliki jam terbang tinggi dalam kegiatan penyiaran maupun pelatihan Public Speaking.

MC Harus Paham Budaya dan Bersikap Fleksibel

Syifa Hamama kerap didapuk sebagai MC dalam berbagai acara resmi pemerintahan maupun acara non formal. Bahkan dikenal sebagai penyiar yang masih aktif sebagai host di program acara tv lokal di Kebumen. Pendeknya tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam ranah keilmuan berbicara dan praktik komunikasi publik.

Peserta Pelatihan Public Speaking dibekali dengan print out poin-poin pembahasan yang telah disiapkan narasumber. Syifa menuturkan, sebagai pembawa acara, seseorang harus bisa fleksibel dan kondisional dengan perubahan-perubahan susunan acara yang tidak terduga.

Lebih lanjut Syifa menerangkan, poin utama perbedaan antara MC formal dan nonformal terletak pada nada bicara dan susunan acaranya. Namun sebagai kader dan pemudi yang terjun di masyarakat berbudaya, seorang MC harus tetap mempertimbangkan hal ikhwal yang telah ada dan adat istiadat di tempat tersebut.

Dengan kata lain, lanjut Syifa ‘desa mawa cara’ sehingga sebagai MC harus tetap menghormati dan menyesuaikan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Setelah dibekali dengan materi, peserta pelatihan kemudian mempraktikan bagaimana menjadi MC dalam berbagai jenis acara dipandu oleh narasumber.

Acara diakhiri penyerahan tali asih dan sesi foto bersama narasumber, peserta dan panitia kegiatan. Penyelenggara mengharapkan, melalui pelatihan tersebut bisa mencetak kader dan pemudi yang mampu bertindak sebagai pembicara maupun MC pada lingkungan masing-masing.

Komper Wardopo