JEPARA (SUARABARU.ID) – Batik pribumi yang dulu diperjuangkan R.A. Kartini, manfaat ekonominya belakangan kembali dipetik para perajin di Jepara. Usaha berbasis kekayaan budaya daerah ini mengalami kebangkitan ulang sekitar sewindu terakhir. Untuk terus mendapat pasar, para perajin melakukan berbagai kiat, salah satunya dengan banyaknya desain motif batik yang diproduksi.
Hal itu sebagaimana yang dilakukan Alfiah, pemilik usaha Gendhis Batik di Desa Krapyak, Kecamatan Tahunan. Disamping menjadi perajin batik, ia juga guru produktif jurusan Tekstil di SMKN 2 Jepara. Ia juga juara 1 desain batik Tingkat Jateng yang diselenggarakan dalam rangka HUT Jateng ke 67 tahun 2017.
“Memang harus terus berkreasi untuk memenuhi selera pasar. Mungkin sudah 200-an motif,” kata Alfi, Rabu (22/6/2022) saat menceritakan jumlah motif yang sudah dia produksi sejak merintis usaha batik Jepara sekitar sewindu yang lalu. Dia yakin perajin lain di Jepara pun melakukan kiat yang sama dengan intensitas dan kreasi yang berbeda.
Alfiah mengatakan, belakangan pasar batik semakin luas. Ada faktor kesadaran identitas nasional yang mempengaruhi. “Kesadaran masyarakat untuk mengenakan busana etnik sebagai identitas nasional juga semakin baik,” kata Alfiah. Hal itu menjadikan selera pasar terus berkembang, sebab di Jepara banyak konsumen yang minta kombinasi motif.
“Meski sebagian besar minta motif berciri seperti ukiran Jepara, ada yang minta motif unik dan lucu. Tentu saya buat dengan inspirasi dari kekayaan alam Jepara,” tambahnya. Bahkan ada motif abstrak dan macan.
Untuk menyesuaikan dengan selera konsumen, Alfi memproduksi batik cap, batik tulis, hingga motif custom ketika ada konsumen yang ingin tampil berbeda dari yang lain. Untuk memenuhi permintaan seperti itu, kata Alfi, saat cuaca bagus dia bisa memproduksi 200 potong batik cap per bulan. “Kalau batik tulis 50 sampai 60 potong,” tambahnya. Jumlah itu dia penuhi bersama 5 karyawan di rumahnya, belum termasuk tenaga kerja tidak rutin untuk pekerjaan mencanting yang dilakukan di rumah masing-masing.
Batik cap dia jual antara Rp 125 ribu hingga Rp200 ribu per potong. Sedangkan batik tulis antara Rp 200 ribu sampai Rp 1 juta per potong tergantung jenis dan luas motif custom dan customize-nya
Paguyuban Biyung Pralodo
Setelah era R.A. Kartini, tahun 2014 tercatat sebagai salah satu tahun kebangkitan ulang batik Jepara. Bermula dari even Jepara Batik Fashion Week saat memperingati Hari Batik Nasional tahin 2014 yang diserlenggarakan oleh Lembaga Pelestari Seni Uiki, Batik dan Tenun, Pemkab Jepara dan Jurusan Tata Busana SMKN 2 Jepara. Saat membuka even tersebut Akhmad Marzuqi, Bupati Jepara saat itu mencanangkan batik motif Jepara sebagai pakaian dinas PNS di Kabupaten Jepara.
Untuk menangkap peluang tersebut Kabag Humas Setda Jepara, Hadi Priyanto yang juga Ketua Lembaga Pelestari Seni Uiki, Batik dan Tenun, mengundang perajin batik ke kantornya. “Salah satu sarannya adalah agar perajin batik berhimpun dalam satu wadah,” kenang Alfi yang beerapa kali ikut dalam pertemuan.
Kemudian belasan perajin dari berbagai desa di Jepara menghimpun diri dalam Paguyuban Biyung Pralodo dan bersama-sama menangkap peluang penetapan batik Jepara sebagai salah satu seragam dinas harian di “Kota Ukir”. Bahkan dalam surat edaran bupati, nama-nama perajin disertakan hingga memudahkan para PNS yang akan pesan. “Karena momentum itu kini batik Jepara menjadi kekuatan baru perekonomian daerah
Alfi mengakui, even fashion show di Jepara yang selalu menggunakan bahan kain batik motif Jepara sejak tahun 2011, terbentuknya paguyuban Biyung Pralodo lalu penetapan batik Jepara sebagai seragam dinas daerah, memang menjadi momentum penting kebangkitan produk etnik berciri Jepara tersebut. Awalnya, antar anggota paguyuban saling bantu memenuhi permintaan pesanan, hingga kemudian masing-masing pelaku mendapat pasarnya sendiri.
Lambat laun, pesanan batik Jepara tak hanya dari “Kota Ukir”. Kini banyak pesanan dari luar pulau Jawa yang sering dia dapatkan.
Hadepe – aksl