Oleh : Hadi Priyanto
Konon di Desa Tegalsambi pada masa lalu tinggal seorang petani yang sangat kaya bernama Ki Babadan. Ia seorang petani yang ulet, rajin dan pekerja keras. Ia memiliki sawah yang luas dan hasilnya sangat melimpah. Ia kemudian mengembangkan usahanya kebidang peternakan.
Dari penjualan hasil pertaniannya, ia membeli kerbau dan sapi yang sangat banyak. Karena tidak dapat menggembalakan sendiri ia kemudian mencari orang yang mau bekerja untuk merawat sapi dan kerbaunya.
Kebetulan di desa itu ada seorang yang bernama Ki Gemblong. Ia kemudian diberi kepercayaan untuk mengembalakan ternaknya. Pada awalnya Ki Gemblong melaksanakan tugas dengan baik sehingga sapi dan kerbau milik Ki Babadan dapat terawat dengan baik dan berkembang.
Namun ketika Ki Gemblong menemukan banyak sekali ikan dan udang di sawah dan sungai di sekitar tempat penggembalaannya, ia tertarik untuk menangkap. Karena hasilnya sangat banyak Ki Gemblong setiap hari menjual hasil tangkapannya.
Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ternak milik Ki Babadan menjadi kurus kering dan sakit-sakitan. Pada awalnya memang Ki Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan itu. Namun pada akhirnya Kiai Babadan pun mengetahui keadaan sapi dan kerbaunya.
Percikan api yang menyembuhkan
Ia menjadi marah ketika melihat bahwa kondisi ternak miliknya yang kurus dan sakit-sakitan karena keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong. Oleh karena kemarahannya yang memuncak maka Kiai Babadan menghajar Ki Gemblong menggunakan obor dari pelepah kelapa.
Menerima perlakuan yang demikian, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal diam. Ia juga segera mengambil pelepah daun kelapa untuk selanjutnya dinyalakan sebagai obor untuk melawan Ki Babadan. Dengan demikian ternyadinya pertarungan atau perang obor antara Ki Babadan dan Ki Gemblong.
Pertarungan ini makin lama bukan semakin mereda tetapi justru sebaliknya bertambah seru. Percikan api yang ditimbulkan semakin besar dan mengakibatkan terbakarnnya kandang sapi dan kerbau. Akibatnya kerbau dan sapi yang ada di kandang pun lari tunggang langgang ketakutan.
Namun aneh, saat terkena percikan api, ternak yang semula penyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan yang seperti itu mereka berdua pun akhirnya menghentikan perkelahian mereka. Bahkan kemudian mereka bersama-sama mengumpulkan kembali sapi yang berlari keberbagai penjuru , dan membuatkan kandang yang lebih baik.
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang dikalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu anak cucu Kiai Babadan dan Ki Gemblong lalu melakukan upacara perang obor di Tegalsambi untuk mengenang kedua tokoh tersebut. Upacara perang obor ini sekaligus dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit dan mengganggu penduduk Tegalsambi.
Sedangkan obor pada upacara tradisional ini adalah gulungan dua atau tiga pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering yang dalam bahasa jawa disebut klaras.
Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk digunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga terjadi benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran api yang besar yang akhirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah Perang Obor.
Upacara tradisional Perang Obor diadakan setiap setahun sekali, yang jatuh pada hari Senin Pahing malam Selasa Pon bulan Besar atau Dzulhijah. Acara ritual ini diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat desa Tegalsambi terhadap peristiwa pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut yaitu peperangan Ki Babadan dan Ki Gemblong.
Kirab pusaka warisan Sunan Kalijaga
Upacara ini kemudian dilengkapi dengan pergelaran wayang kulit. Juga ada prosesi mengarak pusaka berupa dua buah pedang yaitu pedang Gendir dan pedang Gampang serta sebuah arca, dan sebuah Bedug Dobol, yang dipercayai sebagai warisan Sunan Kalijaga kepada dua kebayan Leger Tegalsambi waktu itu.
Kedua pedang kayu itu konon merupakan serpihan kayu dan potongan reng yang dipakai membangun Masjid Demak. Pusaka ini disimpan oleh Petinggi dan dua Kebayan Leger.
Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dahulu diadakan ziaran di makam Mbah Tegal, mbah Sidi Moro, mbah Babatan, mbah Surgi Manis, mbah Tunggul Wulung, dan mbah Surogaten. Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum parnah dipakai untuk membajak.
Penyembelihan itu dilakukan di rumah Petinggi dan biasanya dilakukan oleh kebayan Leger desa Tegalsambi. Sedangkan sesaji ditaruh di sebuah Kendil yang terdiri dari darah kerbau, jeroan, dan danging yang sudah dimasak. Sesaji ini diperuntukkan bagi para luluhur yang dipercayai ikut menjaga keselamatan Desa Tegalsambi.
Ramuan penyembuh luka bakar
Sebelum api obor disulut pada, Petinggi Tegalsambi diarak oleh kurang-lebih 50 pasukan obor. Prosesi ini dimulai dari rumah Petinggi hingga kepusat upacara di perempatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat Jawa diapit pawang api dan sesepuh desa.
Tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai seragam khusus, bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon keselamatan kepada Allah dan juga ijin dari leluhur pun dilakukan.
Kemenyan dibakar kemudian diiringi gending Kebo Giro, sebanyak 50 orang dari empat jurusan di jalan desa Tegalsambi berjalan menuju ke perempatan jalan. Mereka sejenak berdiri saling berhadapan dalam kondisi obor telah dinyalakan.
Tibalah saat ritual Perang Obor. Tiba-tiba dengan suara keras salah seorang pemimpin pasukan berteriak, serang. Mendengar teriakan itu, anggota pasukan lari dari empat arah berlawanan diperempatan jalan. Mereka bertemu di tengah dan langsung saling memukul. Api yang berkobar diujung obor mereka arahkan ke kepala lawannya.
Upacara berlangsung bukan hanya di perempatan desa tetapi juga di sepanjang jalan di sekitar perempatan. Diiringi sorak-sorai dan jerit ketakutan para penonton, mereka saling pukul dengan obor selama hampir satu jam. Percikan bunga api Perang Obor ini menjadi pemandangan yang begitu magis.
Seusai upacara perang obor, pasukan langsung menuju rumah Petinggi Tegalsambi. Diantara mereka dipastikan ada yang luka karena terbakar. Namun mereka tidak mengeluh atau merasa kesakitan.
Sebab mereka tahu bahwa secara turun-temurun pengobatan untuk luka bakar karena perang obor dapat dilakukan oleh istri Petinggi dengan cara mengoleskan minyak londoh pada bagian yang luka. Anehnya, luka ini langsung sembuh seketika.
Secara turun-temurun setiap malam Jumat, Petinggi Tegalsambi dan 2 kebayan Leger selalu mengadakan ritual doa untuk keselamatan masyarakat di desa tersebut. Doa tersebut dilakukan secara rutin dan sungguh-sungguh. Dalam ritual ini menggunakan sesaji kembang telon. Dengan tekun Petinggi Tegalsambi mengumpulkan bunga yang kering dan disimpan disebuah tempat khusus.
Jika waktu prosesi Perang Obor tiba, bunga kering ini kemudian dicampur dengan minyak kelapa dengan disertai doa dan laku khusus. Minyak inilah yang kemudian dikenal sebagai minyak londoh. Minyak londoh ini oleh masyarakat setempat ini dipandang sebagai keajaiban dari doa yang tulus kepada Allah.
Tradisi perang obor ini sekarang dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Tegalsambi kepada Tuhan yang telah memberi rezeki kepada masyarakat Desa Tegalsambi melalui hasil pertanian, perdagangan dan pekerjaan serta usaha yang lain.
Penulis adalah Pegiat Budaya Jepara, penulis buku Legenda Jepara dan buku Ensiklopedi Toponimi Jepara