Oleh : Hadi Priyanto
Konon dikisahkan, untuk memperluas kerajaan Mataram Panembahan Senapati memerintahkan pasukan dibawah pimpinan Pangeran Purbaya untuk membabat alas Kedu. Pangeran Purbaya didampingi oleh Tumenggung Mertoyudo, Tumenggung Singoranu, Raden Kuning dan Raden Krincing yang dikenal sangat sakti.
Tentu saja Jin Sepanjang marah hutan tempat tinggal mereka dirusak oleh pasukan Mataram. Ia kemudian melawan pasukan Mataram dengan menyebarkan wabah penyakit. Raden Kuning yang dikenal sangat sakti mengetahui, bahwa wabah penyakit tersebut disebarkan oleh Jin Sepanjang. Akhirnya setelah peperangan hebat, Jin Sepanjang dapat dikalahkan dan kemudian dibunuh. Melihat rajanya tewas, pasukan jin melarikan diri hingga ke hutan belantara yang dikenal sebagai Alas Tuwo.
Atas perintah Pangeran Purbaya, Raden Kuning bersama istrinya, Rara Rambat dengan didampingi puluhan prajurit mengejar sisa-sisa pasukan Jin Sepanjang hingga sampai ke Alas Tuwo. Akhirnya mereka memilih menetap di Alas Tuwo sambil menumpas jin yang ada di hutan tersebut. Akhirnya padukuhan ini berkembang karena banyaknya pendatang yang kemudian bermukim disana.
Raden Kuning kemudian diangkat menjadi Kepala Padukuhan Alas Tuwo. Setelah meninggal ia digantikan putranya yang bernama Ki Raban. Setelah berhasil mengembangkan padukuhan Alas Tuwo, dalam usianya yang sangat tua Ki Raban meninggal ia digantikan oleh putranya yang bernama Ki Marasuta. Sepeninggal Marasuta ia digantikan oleh putranya yang bernama Marataruno.
Sampai kepemimpinan Marataruno, sisa-sisa pasukan Jin Sepanjang masih saja sering mengganggu penduduk. Bahkan sering kali menyebarkan wabah penyakit. Anak-anak yang menggembalakan kambing juga sering kali hilang dan tidak berhasil diketemukan kembali. Situasi ini tentu saja membuat penduduk takut dan dilanda kecemasan yang luar biasa.
Ketakutan dan kecemasan ini didengar oleh Ki Agung Barata. Ia bangsawan dari Mataram yang suka lelono broto dan dikenal sangat sakti. Ia didampingi empat orang muridnya Ki Buntari, Ki Leboh, Ki Cabuk dan Ki Purwo.
Mendapatkan kabar itu, mereka langsung menuju kerumah kepala padukuhan Alas Tuwo yaitu Ki Morotaruno. Tahu bahwa yang datang adalah orang-orang waskito Ki Morotaruno kemudian meminta tolong untuk menyingkirkan ketakutan masyarakat. Akhirnya setelah melakukan semedi yang cukup lama, Kyai Agung Barata bersama keempat muridnya memasang rajah untuk menolak dan mengusir roh jahat yang menghantui masyarakat.
Rajah itu disebut Rajah Tulak Balak Pasopati dan dipasang di beberapa tempat. Setelah semua roh jahat hilang dan masyarakat hidup tenang dan tentram. Karena kejadian itu kemudian padukuhan Alas Tuwo diganti dengan Kademangan Tulakan. Sebab kademangan tersebut dapat tenang setelah dipasang Rajah Tulak Balak Pasopati.
Sedangkan Kyai Agung Barata diangkat menjadi pimpinan Kademangan oleh Ki Morotaruno yang usianya sudah sangat tua. Setelah cukup lama, akhirnya Kyai Agung Barata ingin memperluas wilayah kademangannya. Karena itu ia minta kepada keempat muridnya untuk membabat hutan menjadi padukuhan. Hutan-hutan itu tempat dahulu Kyai Agung Barat memasang rajah Tulak Balak Pasopati. Dari tulak balak inilah konon nama Desa Tulakan berasal.
Kyai Agung Barata kemudian membagi wilayah tersebut. Ki Buntari diperintahkan membuka hutan yang ada pohon Winong yang sangat besar. Padukuhan ini nantinya dinberi nama padukuhan Winong. Sedangkan Ki Leboh ditugaskan untuk membuka hutan yang banyak tanaman Kedondong. Seperti halnya Ki Buntari, dukuh tempat Ki Leboh ini nantinya diberi nama dukuh Kedondong. Sementara Ki Cabuk diminta oleh Kyai Agung Barat untuk memimpin padukuhan Pejing yang saat itu telah ada penduduknya. Murid terakhir, Ki Purwo mendapatkan tugas untuk memimpin padukuhan Drojo.
Tentu saja keempat murid Kuai Agung Barata sangat senang mendapatkan tugas tersebut. Mereka segera berkemas dan menuju tempat mereka masing-masing dengan diikuti oleh beberapa orang. Siang malam mereka bekerja membabat hutan untuk membangun dan memperluas padukuhan. Demikian juga dengan Ki Demang Agung Barata. Bersama penduduk ia membuka hutan untuk persawahan maupun ladang. Sebagian tanah tersebut diperuntukkan bagi bengkok demang dan perangkat kademangan.
Setelah siang malam membuka areal persawahan, Ki Demang Agung Barat kemudian menikah dengan Nyai Roro Kuning. Ia seorang penari tayub yang sangat cantik dan berbudi baik. Ia digambarkan kulit kuning dan memiliki rambut yang sangat panjang hingga sampai mata kaki. Disamping suaranya sangat merdu, tariannya juga tidak ada yang menandingi. Oleh Ki Demang semua urusan yang menyangkut tanah bengkok kademangan diserahkan kepada istrinya.
Berkat kepemimpinan Ki Demang Agung Barat, kademangan Tulakan kemudian berkembang pesat melampaui kademangan lain. Disamping keamanan dan ketentraman yang terpelihara dengan baik, hasil pertanian juga melimpah hingga banyak warga yang kemudian berdatangan dan tinggal di Tulaan. Kegiatan keagamaan juga berjalan dengan baik.
Untuk membantu Ki Demang Agung Barata dibidang keagamaan ia mengangkat dua orang ulama untuk membimbing dan mengajari warga untuk beribadah dengan benar. Kedua ulama ini adalah Kyai Laduni dan Kyai Barnah. Oleh Ki Demang Agung Barata, Kyai Laduni ditugaskan untuk memimpin kegiatan keagamaan kaum perempuan dan Kyai Barnah memimpin jamaah laki-laki.
Kademangan ini terus berkembang hingga memiliki enam buah dukuh yaitu dukuh Krajan, dukuh Pejing, dukuh Kedondong, dukuh Winong dan dukuh Bandung Padang. Dukuh terakhir ini dipimpin oleh Ki Trunojoyo Wongso atau kemudian dikenal sebagai Mbah Klipo. Dukuh Bandung Padang ini kemudian nantinya menjadi desa tersendiri dengan nama Bandungharjo.
Ki Demang Agung Barata diperkirakan menjadi Demang Tulakan sampai tahun 1882. Ia berhenti menjadi demang karena meninggal dunia dalam usianya yang sudah sangat tua. Ia dimakamkan di Balekambang yang terletak diwilayah padukuhan Winong. Masyarakat Tulaan dan sekitarnya sangat menghormati Ki Demang Agung Barata, hingga makamnya disebut Makam Mbah Buyut Dalem.
Pada tahun 1883, Kademangan Tulakan berubah menjadi desa dibawah pimpinan kepala desa yang disebut Petinggi. Petinggi Tulakan yang menggantikan Ki Demang Agung Barata adalah Wasidin. Sedangkan pimpinan padukuhan disebut Kamituwa yang terdiri dari Kamituwo Krajan, Drojo, Pejing, Ngemplak dan Winong.
Sejak masa Ki Demang Agung Barata, setiap tahun pada bulan April hari Jum’at Wage setelah tempat pertapaan Ratu Kalinyamat ditemukan diadakan ritual manganan yang kemudian menjadi Sedekah Bumi. Prosesi inilah yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai Jembul Tulaan.
Sedekah bumi ini juga sebagai tanda bukti ucapan terima kasih masyarakat kepada Ki Demang Barata yang sudah memimpin pedukuhan dengan arif bijaksana. Juga ucapan terima kasih kepada istri Ki Demang Barata yang telah mengelola tanah milik kademangan dengan baik. Ia semula adalah penari tayub yang sangat cantik, kulitnya kuning langsat dan rambutnya panjang sampai mata kaki. Ada kebiasaan unik waktu itu, sebelum panen padi di sawah bengkok dilakukan acara tayuban. Sedangkan penari tayubnya adalah istri Ki Demang.
Pada acara sedekah bumi itu, penduduk mengantarkan makanan kecil ke rumah Ki Demang. Makanan kecil tersebut diletakan dalam dua buah ancak dan di atas makanan kecil ditanamkan belahan bambu yang diirat tipis-tipis. Iratan tipis bambu tersebut melambangkan rambut jembul yang diatur sedemikian rupa. Ancak dari rambut jembul dari iratan bambu tipis tersebut dinamakan Jembul Tulakan.
Dalam ritual Jembul Tulakan ini ditampilkan dua macam Jembul. Jembul yang besar didepan atau sering disebut Jembul Lanang atau jembul laki-laki. Sedangkan Jembul kecil yang berada dibelakang disebut dengan Jembul Wadon atau Jembul wanita. Khusus Jembul Lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis sedangkan Jembul Wadon tidak ada iratan bambunya. Jembul Lanang di dalamnya terdapat bermacam-macam makanan kecil, seperti gemblong, tape ketan dan apem. Sedangkan Jembul Wadon berisi lauk-pauknya. Jumlah Jembul itu kini disesuaikan dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepala dukuh atau dalam istilah sekarang adalah Kamituwo.
Pertama, Jembul Krajan yaitu jembul dari dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang Barata yang merupakan pusat pemerintahan di kademangan tersebut. Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek kayu atau patung yang diletakkan dipuncak gunungan. Golek ini menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Usman, seorang ulama yang ikut menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi.
Kedua, Jembul Ngemplak yang meliputi dukuh Ngemplak, Tanggulasi dan Kedondong. Jembul ini merupakan wujud dari penghargaan Ki Leboh kepala dukuh Ngemplak kepada Ki Barata yang telah mengijinkan membuka perdukuhan Ngemplak. Pada gunungan jembul ini juga dipasang sebuah golek kayu atau patung yang menggambarkan Ki Suto Mangun Jaya, pimpinan prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat bertapa..
Ketiga, Jembul Winong yang menggambarkan penghargaan Ki Buntari kepada Ki Barata yang telah mengijinkan ia merintis Dukuh Winong, Dung Pucung dan Dung Gayam. Pada puncak gunungan jembul ini dipasang golek dari pelepah rumbia atau gabus yang merupakan wujud dari beberapa prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat.
Keempat, Jembul Drojo merupakan penghargaan Ki Purwo kepada Ki Barata atas segala jasanya yang telah mengijinkan ia membuka pendukuhan Drojo. Pada puncak gunungan jembul dipasang golek kayu atau patung yang mengambarkan seorang prajurit pilih tanding bernama Ki Leseh yang menyertai Ratu Kalinyamat bertapa.
Setelah semua jembul datang maka ritual berikutnya adalah pertunjukan tari tayub sebagai perlambang peristiwa saat para pimpinan padukuhan waktu menghadap Ratu Kalinyamat saat bertapa. Setelah menyampaikan hulu bekti kemudian dipertujukan tari tayub. Kemudian dilakukan prosesi mencuci kaki petinggi dengan air kembang setaman oleh semua perangkat desa.
Ini merupakan gambaran simbolis penghormatan kepada Ratu Kalinyamat pada masa lalu yang diberikan oleh para pimpinan padukuhan. Namun dalam perkembangannya ritual ini sebagai lambang agar petinggi dalam memimpin desa selalu bersih sikap dan tindakannya. Juga agar masyarakat dijauhkan dari malapetaka dan gangguan. Mereka juga mengharapkan melalui ritual pencucian kaki petinggi tersebut, desa Tulaan bersih dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh pemerintah dan agama
Kemudian dilanjutkan dengan selamatan sebagai ungkapan syukur dan doa kepada Tuhan agar masyarakat senantiasa hidup dalam ketentraman dan kesejahteraan. Juga ucapan syukur atas segala rejeki yang diberikan disepanjang tahun. Ritual berikutnya setelah itu adalah prosesi mengelilingi jembul sebanyak tiga kali putaran oleh petinggi disertai dengan perangkat desa dan para penari tayub.
Penari tayub ini melambangkan Nyi Roro Kuning, istri Ki Demang Barata yang sudah mendampingi Ki Demang dan mengelola harta kedemangan dengan baik. Ritual ini sebagai lambang bahwa istri petinggi harus bisa menjadi pendamping suami dalam memimpin desa serta perlambang seorang petinggi atau perangkat harus senantiasa berada ditengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya.
Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan Upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan di desa Tulakan.
Mereka melaksanakan setahun sekali, yaitu pada hari Senin Pahing, Bulan Apit (Dzul Hijjah). Sebelumnya didahului Manganan pada hari Jum’at Wage di Sonder. Hal ini sesuai dengan cerita yang turun-menurun bahwa kedatangan ratu bertepatan pada malam Jum’at Wage. Hal-hal yang tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam ritual Jembul Tulakan adalah waktu Sedekah Bumi tetap diadakan pada Senin Pahing pada bulan Apit.
Pemilihan bulan Apit atau Dzulqoidah ini karena menurut tradisi Jawa merupakan waktu orang tidak melakukan hajatan. Adapun pemilihan hari Senin Pahing dianggap sebagai saat dilakukannya babad alas Tulakan. Kebiasaan tersebut kemudian dilakukan secara turun-temurun. Kedua acara sedekah bumi yang ada di Tulakan dilakukan pada Senin Pahing, namun tidak secara bersamaan. Tentang waktu pelaksanaannya, biasanya mendapatkan kelonggaran. Manganan di Punden Sonder kadang dilakukan pada siang hari sehabis Dhuhur atau malam hari sehabis Isya.
Upacara tradisional Jembul Tulakan dalam perkembangannya juga mengalami perubahan namun tetap mempertahankan unsur-unsur simbolis yang ada. Misalnya dalam pemilihan bulan dan hari pasaran. Ritual yang semula dilakukan pada bulan Apit dan hari pasaran Senin Pahing karena pertimbangan waktu panen, maka diundur pada bulan Agustus. Namun selamatannya tetap dilakukan pada bulan Apit dan dan hari pasaran Jum’at Wage dilanjutkan Senin Pahing. Perubahan lainnya yang tampak, misalnya pencucian kaki kepala desa dilakukan hanya secara simbolis saja.
Penulis adaah pegiat budaya Jepara, penulis buku Ensiklopedi Toponimi Jepara dan Buku Legenda Jepara serta Ketua Yayasan Kartini Indonesia