Oleh Sulismanto, S.Sos.
“Mas, benar pelepasan atau penglepasan. Buat banner perpisahan.” Aplikasi WhatsApp di gawai penulis, mendapat kiriman pesan itu dari salah seorang guru sekolah dasar. Pengirim pesan ragu, akan menggunakan bentuk pelepasan atau penglepasan dalam kalimat yang akan ditulis pada spanduk acara perpisahan siswa kelas 6.
“Pelepasan, Bu. Penjengan ragu, kan? Karena pelepasan juga bermaksa ‘dubur; anus’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),” jawab penulis. Penulis kemudian menambahkan beberapa kalimat lain sebagai tambahan keterangan.
Pertanyaan singkat itu, –yang kebetulan baru saja penulis dapati siang ini– mengingatkan penulis pada kejadian yang rutin berulang setiap akhir tahun pelajaran. Maklum saja, pada saat itulah kata ini banyak digunakan satuan pendidikan, ditulis pada spanduk yang dipasang pada latar belakang panggung acara perpisahan.
Bentuk benar pelepasan sering dipersoalkan sebagian pelaku pendidikan karena dianggap sebagai bentuk yang salah. Koreksi yang diberikan justru penglepasan yang konon dianggap tidak berkonotasi negatif. Pemunculan bentuk ini dianggap benar untuk menghindari “rasa” kurang sopan.
Sebagaimana jawaban penulis pada percakapan WhatssApp tersebut, bentuk pelepasan dinilai memiliki konotasi negatif atau kurang sopan. Penyebabnya, salah satu makna kata tersebut adalah ‘dubur; anus’. Padahal, dalam KBBI, kata tersebut memiliki empat makna, yaitu (1) ‘proses, cara, perbuatan (hal dan sebagainya) melepas(kan)’, (2) ‘pemecatan (dari tugas)’, (3) ‘dubur; anus’, dan (4) ‘pengurangan atau penghilangan awan, baik secara alami maupun secara buatan.’
Dari sudut pandang pembentukannya, bentuk penglepasan berasal dari kata dasar lepas yang mendapat imbuhan ‘peng-…-an’. Namun bentuk penglepasan tentu saja tidak bisa kita temukan dalam KBBI, baik versi cetak, luring, maupun daring.
KBBI hanya mengenal pelepasan karena bentuk itulah yang sesuai dengan kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Kata dasar yang diawali huruf l jika mendapat awalan peng- akan menjadi pe-. Bentukan peng- + lindung menjadi pelindung, peng- + latih menjadi pelatih, peng- + liput menjadi peliput, dan sebagainya bisa kita jadikan pembanding
Arti atau makna sebuah kata kerap tidak sesempit yang kita ketahui. Makin sering membuka KBBI, kita akan menemukan makin banyak kata yang memiliki banyak makna, setidaknya lebih banyak dari yang kita ketahui.
Alasan menghindari “rasa” kurang sopan atau konotasi negatif saat menyodorkan bentuk penglepasan untuk mengganti pelepasan tidak dapat diterima. Selain tidak ada dalam KBBI, makna sebuah kata tergantung pada konteks kalimatnya. Dalam hal acara akhir tahun pelajaran untuk melepas siswa kelas akhir, makna kata pelepasan bisa kita kaitkan dengan konteks acaranya.
Maka ketika kata pelepasan digunakan pada acara ini, maknanya adalah sebagaimana yang tercantum dalam arti nomor 1, yaitu proses melepas siswa yang telah lulus sekolah, bukan dubur.
Literasi sudah sekian lama menjadi pembahasan utama di lingkungan pendidikan. KBBI dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) adalah dua “kitab suci” yang mestinya menjadi bahan literasi untuk penutur bahasa Indonesia, termasuk dalam diskusi persoalan ini..
Jika tidak dari dua “kitab suci” itu, ada begitu banyak artikel yang bisa dijadikan bahan literasi. Berulangnya perdebatan mengenai bentuk penglepasan dan pelepasan –yang celakanya kerap berujung pada pilihan bentuk yang salah–setiap akhir tahun pelajaran, banyak diulas oleh pemerhati bahasa Indonesia. Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, bahkan secara khusus menerbitkan artikel yang membahas persoalan ini. Silakan baca di https://balaibahasajateng.kemdikbud.go.id/2011/11/penglihatan-dan-penglepasan-atau-pelihatan-dan-pelepasan/.
Jika mau berselancar di dunia maya, ada begitu banyak artikel sejenis yang bisa dipelajari. Masalahnya, apakah artikel-artikel itu sudah menjadi bahan literasi sebelum menyelahkan pelepasan?
Penulis adalah Jurnalis Pemkab Jepara