blank
R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, mantan Bupati Jepara dan Tokoh Pergerakan Nasional. (Foto: Google).

Oleh: Khanif Hidayatullah

JEPARA (SUARABARU.ID)- Raden Mas Adipati Ario (RMAA) Koesoemo Oetoyo merupakan Bupati Jepara yang aktif dalam kancah politik masa pergerakan nasional. Koesoemo Oetoyo menempati posisi sentral seperti menjadi ketua organisasi Boedi Oetomo, dewan pimpinan harian Volksraad, dan wakil ketua Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat).

Koesoemo Oetoyo adalah seorang cicit dari Sultan Hamengkubuwono I. Ia lahir pada 13 Januari 1871. Koesoemo Oetoyo merupakan putera dari Patih Pekalongan yang bernama Raden Mas Soejoedi Soetodikoesoemo, kakek dari garis ayah adalah Raden Mas Soerokoesoemo seorang Bupati Kutoarjo. Ibu Koesoemo Oetoyo ialah Raden Ayu Soeratinem, putri dari Bupati Kebumen Raden Adipati Aroeng Binang.

Pendidikan Koesoemo Oetoyo dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) 1878-1885. Waktu sore hari Koesoemo Oetoyo belajar mengaji Al-Qur’an di pondok pesantren. Pada usia 7 tahun, Koesoemo Oetoyo telah mengkhatamkan Al-Qur’an.

Setalah selesai pendidikan dasar, Koesoemo Oetoyo melanjutkan pendidikannya pada jenjang sekolah menengah umum masa Hindia Belanda, Hoogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Koesoemo Oetoyo berhasil menorehkan prestasi sebagai lulusan terbaik dari seluruh 3 HBS yang ada di Pulau Jawa dan orang Jawa pertama yang mempunyai ijazah HBS.

Koesoemo Oetoyo bergerak dalam bidang pers dan sebagai perintis pada generasi awal penerbitan surat kabar. Koesoemo Oetoyo sebagai seorang redaktur Pewarta Priyayi yang diterbitkan di Semarang oleh Asperen van der velde Press. Surat kabar lainnya yang digeluti oleh Koesoemo Oetoyo ialah Ilmoe Tani dan Kabar Perniagaan.

Integritas dan kapabilitas Koesoemo Oetoyo menjadikannya diangkat sebagai Bupati Jepara. Sebelum menjadi Bupati Jepara, Koesoemo Oetoyo menjabat sebagai Bupati Ngawi 1902-1905. Koesoemo Oetoyo memimpin wilayah Jepara selama kurun waktu 22 tahun, 1905 hingga 1927. Koesoemo Oetoyo sebagai elite politik tidak menempatkan diri pada eksklusivitas, Koesoemo Oetoyo melalui kekuatan politiknya digunakan untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dan membela hak-hak rakyat.

Sebagai seorang Bupati Jepara, Koesoemo Oetoyo turut serta mendorong kemajuan ekonomi dan kebudayaan daerahnya. Seni ukir sebagai identitas kota Jepara dikembangkan dan dilestarikan. Melalui pendidikan, diadakan jurusan teknik mengukir yang selanjutnya telah terbentuk pada tahun 1929 sekolah teknik ukir yang bernama Openbare Ambachtsschool.

Perjuangan Koesoemo Oetoyo dalam mendidik bumiputera untuk berperan aktif dalam kancah pergerakan kemajuan ia lakukan dengan mendirikan organisasi. Koesoemo Oetoyo mendirikan organisasi pangreh praja yaitu Sedo Muljo, Dewan desa, Dewan Kabupaten. Dengan adanya perkumpulan dapat lebih memudahkan untuk menyatukan berbagai aspirasi dan untuk mencapai tujuan bersama. Pendirian organisasi tersebut menjadi pendorong terbentuknya dewan rakyat Volksraad.

Pada aktivitas pergerakan nasional Koesoemo Oetoyo berperan dalam perjuangan nasional. Koesoemo Oetoyo menjadi ketua organisasi Boedi Oetomo dari tahun 1926-1936. Era kepemimpinannya, Boedi Oetomo dapat menyatukan berbagai elemen yang bersatu menjadi fusi Parindra.

Masa pemerintahan Hindia Belanda, Dewan Rakyat Volksraad yang didirikan pada tahun 1918, Koesoemo Oetoyo menjabat sebagai Dewan Pimpinan Harian Volksraad. Melalui organisasi ini, Koesoemo Oetoyo menyuarakan berbagai aspirasi untuk memperjuangkan hak-hak pribumi. Koesoemo Oetoyo menyampaikan pendapat dalam persidangan College van Gedelegerden Volksraad. Penyampaiannya dikenal dengan “Mosi Koesoemo Oetoyo” yang menyuarakan “Tidak aman hati diantara penduduk negeri” sebagai kritik terhadap pemerintah kala itu yang terlalu sewenang-wenang terhadap aktivis pergerakan nasional.

Koesoemo Oetoyo berteman baik dengan M.H. Thamrin, keduanya mengelola sebuah badan penerbitan Fonds Nasional yang mencetak buku tentang usaha Indonesia merdeka dan buku-buku tentang cita-cita suci. M.H. Thamrin dan Koesoemo Oetoyo melakukan kunjungan bersama ke Sumatera Timur untuk meninjau buruh pekerja. Berlangsungnya kebijakan Poenale Sanctie dipandang telah merugikan rakyat. Maka dari itu setelah berbagai perjuangan salah satunya kongres Boedi Oetomo di Surakarta, Poenale Sanctie pada akhirnya berhasil dihapuskan.

Masa pendudukan Jepang, Koesoemo Oetoyo menjadi Wakil Ketua Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) bersama Ir. Soekarno sebagai ketua. Dewan Pertimbangan Pusat bertujuan mengajukan usulan terhadap pemerintahan, menjawab pertanyaan terkait politik, dan menyarankan tindakan yang perlu oleh pemerintah Jepang.

Era pasca-kemerdakaan 1950-an, Koesoemo Oetoyo bergerak dalam Badan Pensensoran Film bersama dengan Mariah Ulfa Santoso. Budaya dan etika sosial yang baik dalam pribadi Koesoemo Oetoyo serta hobi dalam dunia sinema menjadikannya mendapat amanah dalam lembaga tersebut.

Koesoemo Oetoyo dalam perjalanan ilmu pengetahuan, telah berkarya menerjemahkan 5 buku dari Frederick Holle. Buku tersebut membahas tentang pertanian dan kesejahteraan bagi para petani.

Koesoemo Oetoyo dikenal sebagai tokoh nasional yang selaras menjaga kebudayaan dan tradisi yang luhur. Perjuangan dan peranan dari Koesoemo Oetoyo merupakan bentuk nasionalisme pengabdian terhadap negeri. Posisi politik Koesoemo Oetoyo digunakan sebagai langkah gerakan kemajuan. Melalui birokrasi, diplomasi, dan berbagai upaya Koesoemo Oetoyo memperjuangakan kesatuan nasional, parlementer, otonomi, kesejahteraan rakyat, dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

(Khanif Hidayatullah, Pelestari Sejarah dan Budaya Jepara, tinggal di Jepara)