Ketiganya semasa hidupnya dikenal berbeda profesi. Satu mayat (perempuan) semasa hidupnya adalah dukun bayi yang tidak pernah minta upah. Jenazah kedua adalah modin (petugas keagamaan) yang saleh, dan satu lagi mayat utuh itu bos curanmor.

Ketika saya tanya bos curanmor mayatnya utuh? Beliau menjawab,” ada dua kemungkinan, menjelang ajal dia bertobat, atau dia punya ilmu kebal yang sudah mendarah daging,” tuturnya, wallau a’lam.

Masuki tahun 1985 niat saya belajar ilmu kebal menurun. Namun karena pengaruh teman, awal 1986 niat yang sudah tidur itu dibangunkan kembali. Saya belajar ilmu kebal tradisional tanah Melayu.

Ilmu versi Melayu ini, mereka yang ingin kebal harus  memperlakukan besi (senjata tajam) layaknya kekasih. Karena itu, pantang baginya melihat senjata tajam tidak terawat. Apalagi sampai terjemur dalam panas matahari atau basah oleh air hujan.

Dalam melakukan uji coba kekebalan, ada kalimat yang kurang lebih  artinya, “Engkau (besi) makhluk Allah, kulitku juga makhluk Allah. Sesama makhluk Allah tidak boleh saling merusak.”

Jika sudah ditembung (izin), insya Allah, sekeras apa pun senjata tajam diayunkan, tidak melukai kulit. Dan semakin keras senjata diayunkan, semakin “enak” kulit saat menerimanya.

Praktisnya ilmu “bersahabat dengan besi” itu tidak perlu puasa. Cukup menyerahkan mahar berpedoman anga 12 (dua belas). Ketika ilmu ini sudah masuk Jawa, makna mahar 12 (rolas) ini dimaknai sebagai  “rasa welas” sebagai bentuk terima kasih kepada guru yang mengajarkan ilmu.

Masruri, penulis buku praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati