Oleh: Idham Cholid
WARGA melakukan halal bi halal Idul Fitri 1441 H secara virtual, di kawasan Rawa Bambu, Bekasi, Ahad, 24 Mei 2020. Halal bi halal yang dilakukan secara virtual tersebut, dilakukan untuk mengurangi risiko penularan dan penyebaran covid-19.
Saling mengunjungi atau bersilaturahmi, untuk saling bermaafan, selama ini telah menjadi tradisi penting dalam perayaan Idul Fitri. Ada yang bertanya, haruskah itu semua dilakukan menunggu saat Lebaran? Tentu tidak. Setiap saat kita bisa bersilaturahmi dan saling mengunjungi.
Bermaafan juga demikian. Islam mengajarkan, hendaknya kita memaafkan siapa saja. Bahkan sebenarnya, tidak ada kamus meminta maaf. Yang diajarkan, justru memberi maaf. Kepada yang mendzalimi sekalipun, kita harus memaafkan.
Tradisi saling bermaafan saat Lebaran—dengan saling mengunjungi atau bersilaturahmi—itu, kemudian disebut halal bi halal. Tradisi demikian memang hanya ada di Indonesia, juga sebagian di Asia Tenggara. Kita tak akan menemukan tradisi itu di negara-negara lain yang merayakan Idul Fitri.
Bahkan di Arab sekalipun, di mana Islam pertama kali muncul dari sana, kita tak akan menemukannya. Idul Fitri mereka rayakan dengan berkumpul keluarga, bersilaturahmi, dan saling mendoakan: Taqabbalahu minn waminkum, semoga Allah menerima amalan kami dan kalian semua, sebagaimana yang memang disunnahkan.
Sudut Pandang
Lalu, kenapa kita mesti saling bermaafan? Bagi sebagian kalangan, hal ini akan dinilai mengada-ada, karena dianggap tak ada dasarnya. Tapi bagaimana pun, tradisi ini telah beruratakar, dan menjadi tradisi Nusantara yang cukup tua. Tak hanya di kampung dan di desa-desa, saling bermaafan juga dilakukan semua kalangan. Tidak hanya umat Islam!
Jauh sebelum istilah halal bi halal itu sendiri tercipta, tradisi perayaan Lebaran yang diwarnai dengan saling bermaafan, sudah terlebih dahulu dilakukan. Anak mengunjungi orangtuanya, yang muda bersilaturahmi dengan yang lebih tua, para santri sowan kiai, para pejabat juga menggelar open house, dan lain-lain pertemuan yang membahagiakan itu, tak lain untuk saling memaafkan.
Ketika tak ada kesempatan lagi, hal itu dilakukan secara personal, maka halal bi halal kemudian menjadi ajang “bermaafan” secara massal. Seremonial yang selama ini telah menjadi “ritual” penting sepanjang bulan Syawal. Di jajaran pemerintahan misalnya dilakukan setelah mengakhiri liburan dalam perayaan Lebaran.
Tradisi halal bi halal, dalam bentuk kegiatan seremonial, juga dilakukan berbagai kalangan. Saat ini saja, karena alasan pandemi covid-19, pemerintah resmi mengeluarkan imbauan agar pelaksanaan halal bi halal cukup dilakukan secara virtual. Namun demikian, kita masih jumpai kegiatan tersebut dilakukan secara langsung, meski dengan penuh keterbatasan.
Halal bi halal itu sendiri, menurut Prof Dr Quraish Shihab (2008), dapat ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pandangan berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan pada arti kebahasaan. Sudut pandang ini penting dipahami, agar kita dapat memahami tradisi halal bi halal itu sendiri dengan tepat.
Yang pertama, dari sudut pandang hukum Islam, di mana halal selalu dikontradiksikan dengan haram. Kita tentu paham, sesuatu yang terlarang, dilarang, dan berakibat dosa jika dilakukan, inilah yang dikategorikan haram. Sebaliknya, halal merupakan sesuatu yang diperbolehkan dan tidak berakibat dosa.
Dalam konteks itulah, halal bi halal bermakna menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal, yang dilakukan dengan jalan memohon maaf, juga saling memaafkan.
Yang kedua, dari segi bahasa, di mana akar kata “halal” yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai aneka ragam arti sesuai bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna yang tercipta dari bentukan kata tersebut, di antaranya menyelesaikan problem, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan, dan mencairkan kebekuan.
Dari sudut pandang yang kedua itulah, halal bi halal menemukan makna yang lebih mendasar. Tiada lain, sebagai aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghalangi terjadinya keharmonisan hubungan.
Jika itu yang dimaksudkan, bukankah hal tersebut sangat mendasar, karena memang demikianlah Islam mengajarkan.
Sudut pandang tersebut tentu tak lepas dari prinsip ajaran Islam, yang memang sangat menekankan kedamaian. Inilah juga makna “Islam” itu sendiri. Terciptanya keharmonisan, tanpa pertentangan dan pertikaian, mewujudkan perbaikan, dengan demikian sudah seharusnya diteladankan.
Dalam Alquran kita mengenal ajaran tentang “islah” sebagai salah satu jalan membangun kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Bahkan secara khusus diperintahkan, agar mendamaikan pihak yang bertikai atau terlibat peperangan, dengan jalan keadilan. Apalagi bagi sesama kaum beriman (Qs.49:9-10).
Dalam kajian hukum Islam, “islah” bermakna memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, baik dalam lingkup personal maupun kehidupan sosial.
Di sinilah sebenarnya, kita dituntut untuk selalu berusaha mewujudkan perdamaian, menciptakan keharmonisan, dengan berbuat baik, dan menganjurkan untuk selalu menebarkan kedamaian.
Dalam perspektif itulah, sejatinya halal bi halal mesti dipahami. Tradisi khas Nusantara ini menunjukkan kearifan bahwa kedamaian harus diteladankan, diwujudkan dalam laku keseharian.
Di sini, harmoni akan tercipta dalam kehidupan sosial, ketika masing-masing pihak saling memaafkan secara personal. Dan sebaliknya, saling memaafkan itu sendiri akan terjadi ketika ada sikap harmoni.
Islam Nusantara
Istilah halal bi halal itu sendiri, meski berbahasa Arab, namun di negara-negara Arab sekalipun kosa kata itu tak pernah dikenal. Bahkan tak lazim digunakan, apalagi dipahami sebagai “ajaran” untuk saling memaafkan di saat Lebaran. Dari sini sebenarnya bisa dilihat, betapa luhurnya tradisi masyarakat kita, terutama komunitas Muslim Nusantara.
Bila dirunut kesejarahannya, tradisi halal bi halal sebenarnya sudah berkembang sangat lama, jauh sebelum negara ini berdiri. Beberapa referensi menyebut, sebagaimana dijelaskan antropolog UIN Sunan Kalijaga, Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari “pisowanan”, yang sudah ada di zaman Praja Mangkunegaran Surakarta, pada abad ke-18.
Meminjam istilah Robert Redfield, Soehadha menjelaskan, bahwa halal bi halal bermula dari “great tradition” di keraton yang kemudian diabsorpsi umat Islam Indonesia, kemudian memancar pada keseharian rakyat biasa sebagai “little tradition”.
Saat itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I, mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka, untuk melakukan “sungkeman” kepada raja dan permaisuri, selepas perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien, dibanding dilakukan secara perorangan.
Secara terminologis, istilah halal bi halal sudah dikenal sejak 1920-an. Majalah Suara Muhammadiyah, misalnya, pada tahun 1926 telah memuat istilah itu pada edisi menjelang 1 Syawal 1344 H. Bahkan dalam dokumen tahun 1924, majalah itu pun sudah menyebutkan dalam salah satu paragraf artikelnya.
Dari sanalah, mungkin istilah itu kemudian dituangkan dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (w.1988) yang terbit pada 1938.
Ahli sastra Jawa dari Universitas Leiden ini menyusun kamus pada 1926, atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Andries Cornelis Dirk de Graeff (w.1957). Pada entri huruf “A” dalam kamus ini misalnya, ditemukan kata “Alal Behalal” yang diartikan dengan “acara maaf-memaafkan ketika hari raya”.
Memang belum sempurna penulisannya. Namun hal itu telah menjadi konstribusi pustaka yang sangat berharga. Ahli perkamusan, tokoh sastra, dan penulis kamus bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (w.1968), menjadikannya sebagai dasar dan Baoesastra Djawa.
Maka dalam kamus besar bahasa Indonesia saat ini, kita bisa membaca penyempurnaannya. Bahwa halal bi halal diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang”. Tak hanya itu, dari sisi penulisannya pun mengalami perubahan. Halal bi halal menjadi istilah baku yang harus ditulis dengan benar, sebagai satu kesatuan kata yang tak terpisahkan.
Tradisi pertemuan untuk saling bermaafan tersebut, menjadi populer sejak 1945. KH Nasaruddin Umar (2018) bahkan menyebutnya sebagai asal usul halal bi halal itu sendiri.
Dijelaskan, ketika itu para pemuda Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta kebingungan mencari tema untuk mewadahi dua momentum istimewa, yakni Idul Fitri dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Kita tahu, Proklamasi sendiri terjadi pada Jumat (sayyidul ayyam) di bulan Ramadan (sayyidus syahr).
Suasana batin itulah yang dirangkum dalam sebuah “ritual”, dengan mengusung tema halal bi halal, sebagai upaya saling memaafkan, merelakan, dan menghalalkan. “Momentum Idul Fitri digunakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengisi kemerdekaan“. Demikian Imam Besar Masjid Istiqlal itu menjelaskan.
Halal bi halal kian populer lagi, ketika Presiden Soekarno menggunakannya sebagai ajang rekonsiliasi antartokoh bangsa saat konflik memuncak pada 1948, pasca pemberontakan PKI Madiun dan DI/TII di Jawa Barat.
Pertikaian para elit politik tak kunjung menemukan titik penyelesaian. Masing-masing pihak justru menunjukkan egonya sendiri, bersikap menang-menangan, dan tidak mau duduk bersama untuk mencari solusi. Bahkan, terkesan saling menyalahkan.
Di tengah kegelisahan karena kondisi itu, pada pertengahan Ramadan 1367 H, Presiden Soekarno melakukan komunikasi khusus dan berkonsultasi dengan KH Wahab Hasbullah, Rais Aam PBNU saat itu, untuk merumuskan langkah terbaik dalam rangka penyelesaian konflik.
Konon, saat itu Kiai Wahab mengusulkan agar dilakukan pertemuan silaturahmi pada saat Idul Fitri. Namun Bung Karno meminta istilah lain, karena istilah silaturahmi menurutnya sudah sangat umum digunakan.
Kiai Wahab pun kemudian memberikan argumen keagamaan. Dijelaskan, bahwa saling serang dan menyalahkan itu termasuk dosa, dan haram hukumnya. Agar terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan.
“Thalabu halal bi thariqin halal”, kata Kiai Wahab berhujjah. Maksudnya, mencari penyelesaian masalah atau keharmonisan hubungan (halal) dengan cara memaafkan kesalahan (halal). Dengan cara ini, maka para elit politik harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain secara terbuka, saling memaafkan, juga saling menghalalkan. Pelaksanaannya disebut dengan halal bi halal.
Sejak itulah, istilah dan tradisi halal bi halal menjadi sangat dikenal luas. Tak hanya di kalangan rakyat biasa. Semua lapisan masyarakat pun melakukannya. Bahkan komunitas Muslim di Malaysia dan Brunei juga menyelenggarakan.
Saya menyebutnya sebagai tradisi Islam Nusantara. Yakni, model Islam khas Indonesia, merupakan perwujudan universalitas nilai-nilai Islam dalam konteks ke-Indonesia-an sebagai hasil interaksi, interpretasi dan kontekstualisasi, yang sejalan dengan realitas sosial budaya masyarakat Indonesia.
— Idham Cholid, Ketua Umum Jayanusa, Pembina Gerakan Towel Indonesia —