blank
Rahmad Irianto (merah), dikawal tiga pemain Thailand. Sementara Shin Tae-yong (kiri), mengawasi dengan serius. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// bisakah kita menikmati kekalahan?/ selalu kau pahami pulakah kekalahan/ haruskah mentransformasi rasa kalah/ menjadi budaya dan sikap biasa?//
(Sajak “Menyikapi Kekalahan”, 2022)

RASANYA sudah sedemikian terbuka, bab demi bab dalam buku yang — andai diterbitkan — berjudul “Budaya Kekalahan”.

Akan kita biarkankah kekalahan menjadi kebiasaan?

Akan kita biasakankah olahraga kita imun dari rasa pedih selepas kekalahan?

Akan kita biasakankah menyikapi kekalahan sebagai rutinitas?

Akan kita biarkan pulakah kekalahan memproduksi banalitas sikap kapitalistik: seolah-olah mengevaluasi, secepat itu menyimpulkan, lalu memutuskan langkah ekstrem sebagai respons tindakan?

Bab tentang kekalahan pun, bukankah menjadi makin terbuka?

Simbolisasi Menyakitkan
Anda, seperti halnya saya, boleh jadi tidak terlampau kaget tim nasional sepak bola kalah (lagi) dari Thailand.

Yang menyakitkan, menurut saya adalah simbolisasi yang diproduksi media, semisal ketika menyebut Garuda Muda dikalahkan oleh Pasukan Gajah Perang.

Benarkah sepak bola Indonesia tergariskan mengalami inferioritas setiap kali menghadapi Thailand? Dan, bab pahit itu terus terperbarui dari generasi ke generasi?

Jujur saja, beberapa hari menjelang semifinal SEA Games 2022 di Vietnam, dalam sejumlah percakapan saya selalu mengungkapkan kekhawatiran. Jangan-jangan Egy Maulana Vikri dkk akan memperpanjang deret kekalahan dari negeri yang sepak bolanya disebut-sebut terkuat di Asia Tenggara itu.

Sementara itu, framing pemberitaan media, termasuk di SEA Games, memosisikan Garuda Muda sebagai tim yang lebih baik dibandingkan dengan Thailand. Bahkan dikesankan lebih kuat ketimbang Vietnam yang di penyisihan grup menghumbalangkan Indonesia dengan 3-0.

Tak hanya pelatih Myanmar, Filipina, dan Timor Leste, bahkan coach Thailand pun meninabobokkan tim kita dengan framing sanjungan di tengah keyakinan Fachrudin Aryanto cs meraih medali emas SEA Games.

Sikap Wajib
Optimisme adalah sikap wajib di arena pertandingan, namun realistis dengan komitmen evaluasi dan koreksi tentu merupakan keharusan.

Bersama sejumlah teman, saya berkesimpulan permainan Tim U-23 racikan Shin Tae-yong ini belum punya karakter sebaik pasukan yang dia tampilkan di Piala AFF 2021.

Waktu itu, Asnawi Mangkualam dkk menunjukkan kinerja skematik yang lebih rancak, karakter tempur yang mengagumkan, dan penerapan taktik mantap. Coach STY juga memberi harapan kuat tentang mentalitas timnas, yang menurut saya lebih baik ketimbang tim SEA Games ini.

Banyak yang kemudian membandingkan dengan performa Tim U-19, Evan Dimas dkk karya Indra Syafri yang memenangi Piala AFF 2013 dan lolos ke putaran final Piala Asia, antara lain dengan menundukkan Korea Selatan 3-2. Atau, Tim AFF U-22 yang dalam final 2018 menundukkan Thailand 2-1.

Kekalahan 0-1 di semifinal SEA Games dalam perpanjangan waktu tentu mengecewakan, justru di tengah harapan yang sedemikian membuncah untuk mengulang sejarah indah medali emas 1987 dan 1991.

Ada apa sebenarnya dengan “awu” sepak bola Negeri Gajah Putih itu, yang lagi-lagi menunjukkan level makin berbeda?

Evaluasi STY
Dalam evaluasi STY, kekalahan di semifinal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan penyelesaian akhir dari serentet peluang yang didapat. Kedua, kesulitan dalam mengembangkan permainan.

Amatan STY itu memang seperti yang kita saksikan. Kebergantungan kepada Egy Maulana Vikri sangat terasa, dan ketika eks pemain FK Senica itu mengalami kebuntuan, buntu pulalah keran gol timnas, bahkan kondisi itu juga menimpa Witan Sulaeman yang sejauh ini menjadi tandem terbaik Egy.

Indonesia kesulitan mengembangkan permainan setelah menit ke-30. Nyaris tidak ada kreativitas serangan dan manuver yang mengancam pertahanan Thailand.

Dengan kondisi Thailand yang makin nyaman menguasai bola, Indonesia pun semakin sulit bermain lepas. Ball possession tinggi lawan memperlihatkan pemain kita banyak kehilangan bola, salah umpan, dan gagal merebut bola.

Kenyamanan bermain itu memang kurang terlihat, sama seperti ketika dikalahkan Vietnam di babak grup. Inferioritas di hadapan Pasukan Gajah Perang sering terlihat dari kondisi ini, dan semifinal kemarin membuktikan lagi realitas itu.

Posisi Pelatih
Kita pun akhirnya memaklumi, sentuhan STY belum betul-betul dirasakan. Walaupun performa di Piala AFF 2021 memperlihatkan kemajuan timnas dari sisi karakter dan “kemauan” yang ditopang perbaikan kinerja fisik, namun di SEA Games Vietnam ini tren baik itu seperti kembali anjlok.

Artinya, itulah realitas yang mengindikasikan pelatih asal Korea tersebut masih dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan konsolidasi. Maka kita tidak bisa serta merta men-judge STY telah gagal membangun tim.

Sebelum ini, PSSI tidak mempertahankan Luis Milla, pelatih asal Spanyol yang dinilai berhasil mengeksplorasi jatidiri permainan umpan pendek cepat yang khas dengan antropometri pemain Indonesia. Namun kegagalan dalam negosiasi kontrak menyebabkan PSSI menoleh ke coach Shin.

Untuk sementara, kita hayati dulu “rasa kekalahan” dari Thailand ini. Tentulah “menghayati” tidak begitu saja dimaknai sebagai “mau menerima”.

Yang paling tepat adalah “memahami”, betapa banyak tantangan yang mesti ditaklukkan oleh Shin Tae-yong.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah