JEPARA (SUARABARU.ID)- PC LESBUMI NU Jepara kembali menggelar kegiatan Suluk Mantingan pada Senin (16/5) malam. Kali ini, tema yang diangkat Demak Pewaris Majapahit? Lalu apa hubungan antara Majapahit, Demak dan Jepara? Visi besar apa yang menjadi benang merah ketiganya? Hal itu berusaha dijawab dalam diskusi budaya yang digelar sebulan sekali tiap malam bulan purnama di pelataran Masjid Mantingan, Jepara ini.
Suluk mantingan II dibuka dengan alunan Kidung Saptawikrama oleh Ki Sholeh Ronggowarsito. Kurnia Widi Tetuko dengan artikelnya berjudul “Estafet Peradaban dari Majapahit ke Demak” berusaha memanaskan diskusi ini.
Kurnia mengawali diskusi dengan paparan tentang kecanggihan alutsista militer Demak yang merupakan warisan tehnologi era Majapahit berupa kapal perang ukuran besar. Salah satu di antaranya adalah kapal perang lapis besi yang digunakan Adipati Unus untuk menyerang Malaka tahun 1511. Selain kecanggihan militer, Demak juga mewarisi sistem hukum era majapahit dengan dibuatnya Kitab Undang-Undang Hukum “Salokantara” yang kemudian disempurnakan lagi menjadi kitab Undang-Undang Hukum “Angger Suryo Ngalam”. “Angger Suryo Ngalam” adalah hasil dari penyempurnaan KUHP era majapahit, Kutara Manawa Dharmasastra.
Diskusi kian gayeng kala pemerhati sejarah, Kang Brodin mengulas peran Jepara di masa pemerintaham Demak. Saat itu, Jepara ada Kerajaan kalingga yang berada di Keling Jepara. Menurutnua Jepara dari masa ke masa memiliki peran vital dalam setiap periode peradaban karena Jepara saat itu merupakan kota pelabuhan maritim terbesar. Bahkan lebih besar dari Demak. Meskipun saat itu masih berada di bawah Imperium Kesultanan Demak.
Kepala Yayasan Sultan Hadlirin Kang Sutarya mengamini pendapat Kang Bodrin. Menurutnya saat Kesultanan Demak berkuasa, Jepara merupakan kadipaten yang hebat dan maju. Ini terbukti dengan catatan-catatan Portugis yang lebih valid datanya ketimbang catatan yang dibuat oleh Belanda. Catatan itu juga menunjukkan adanya hubungan antara Majapahit, Demak dan Jepara.
Salah satu bukti valid jika Demak adalah pewaris Majapahit bisa dilihat dari bangunan arsitektur Masjid Mantingan Jepara yang berbentuk “Bentar” yang merupakan desain pintu gerbang tanpa atap warisan arsitektur Majapahit. Batu bata merah yang digunakan sebagai material juga merupakan batu bata merah yang lazim digunakan saat era kekuasaan Majapahit.
Pemerhati Sejarah, Kang Munif mengatakan dibutuhkan kejelian saat membaca sumber sejarah yang ada. Sebab sumber-sumber sejarah seperti Babad Tanah Jawi yang dibuat sekitar tahun 1600-an dan Serat Darmogandul yang dibuat tahun 1800-an yang menerangkan tentang keruntuhan Majapahit cukup jauh rentan waktunya dari peristiwa kejadiannya. Dimungkinkan naskah itu dibuat atas dasar kepentingan kolonial Belanda
Ketua Tim Riset Lesbumi NU Jepara Kang Ali Burhan menyampaikan pandangan berdasarkan riset yang telah dikajinya. Ia menyampaikan dengan runut asal muasal keruntuhan Majapahit. Dimulai dari mundurnya sistem sosial dan politik di akhir era Majapahit hingga masa keruntuhannya.
Kang Burhan juga mengenalkan terminlogi baru yaitu, “Brahmana Muslim” yang merujuk pada Wali Songo. Pada era Majapahit terdapat tujuh kasta yakno Brahmana-Ksatria-Waisya hingga Sudra. Dari ke tujuh kasta tersebut, Brahmana yang dianut dan dipercaya masyarakat untuk menyebarkan agama, karena mereka dianggap orang-orang suci. Atas dasar ini maka secara tak langsung juga mematahkan asumsi jika Islam masuk melalui jalur perdagangan. Sebab masyarakat kala itu mengangggap kasta waisya (pedagang) sebagai kasta ketiga tidak berhak bicara soal agama. Sebab Waisya di bawah Brahmana dan Ksatria.
Berdasarkan sumber Babad Jaka Tingkir, Kang Burhan menyampaikan bahwa sistem tata pemerintahan Kesultanan Demak, menganut tata pemerintahan Tiga Ratu, yaitu, Nata Pandhito yang dijabat oleh Sunan Bonang, Ratu Tunggal yang dijabat oleh Sunan Giri, dan Wakile Ratu yang dijabat oleh Raden Patah yang kemudian dinobatkan sebagai Raja. Tujuan dari tata pemerintahan tiga ratu ini adalah untuk mengontrol keseimbangan hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh raja.
Selain mengungkap tentang tata pemerintahan dan hukum di era Demak yang mengadopsi sistem hukum Majapahit, Kang Burhan juga menyampaikan fakta bahwa Raden Fatah tidak pernah menyerang majapahit. Menurutnya narasi Demak menyerang Majapahit adalah naskah-naskah bikinan Belanda, yang dibuat untuk mendiskreditkan dan memanipulasi sejarah untuk kepetingan mereka.
Ali Burhan juga menyampaikan bahwa sebenarnya visi politik Demak mewarisi visi politik Majapahit, yaitu visi Politik Maritim Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan penyerbuan armada laut Demak sebanyak enam kali ke Malaka. Kala itu Malaka sedang dikuasai Portugis.
“Kita termasuk para sejarawan sering terjebak pada obyek penelitian Demak hanya berkutat di sekitar area Masjid Demak. Demak adalah nama negara, kesultanan, imperium besar yang mewarisi visi maritim dari Majapahit,” tandasnya.
ua