blank
Ilustrasi: JoSS.co.id

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Ada sekurangnya tiga pola relasi sosial yang menjadikan kita maju mundur, berarti ora maju-maju; yakni  banyak orang yang terpenjara dan justru menjadi kesukaan bersikap lewat dhemen moyoki, mojoke, lan magoli liyan.

Mari kita amati baik-baik dan cermat, bagaimana reaksi orang pada umumnya manakala mendengar atau melihat sendiri ada  orang lain yang sukses.

Sangat sedikit yang bersikap kagum (mengagumi) atau  salut (hormat), karena pada umumnya orang bersikap iri, bahkan mencari-cari sisi negatif orang itu seraya bergumam: “Mokal (ora mungkin) bisa sugih yen ora ngingu thuyul,”  misalnya.

Gumaman seperti itu contoh konkret reaksi ora pada umumnya ketika ada teman atau tetangga yang sukses menjadi kaya dengan “menuduh” si kaya itu berbuat tidak ketemu nalar karena memiliki thuyul.

Moyoki, Mojoke, lan Magoli 

Lebih menyedihkan lagi adanya sikap dan komentar terhadap orang yang (sedang) gagal, kena musibah, atau mengalami kesedihan; karena orang-orang justru sering memanfaatkan kesempatan untuk moyoki, mojoke, lan magoli. 

Dengan kata lain, melihat derita atau sengsara pihak lain, sebagian (banyak?) orang justru sering memanfaatkannya untuk moyoki, yaitu menertawakan, mencibir, mengolok-olek, bahkan membuat daftar cacat cela orang yang sedang menderita itu.

Baca Juga: Hari Gini, Bersikap Kuatlah: Aja Cingeng, Cinging, lan Cengeng (Part 3)

Rasa simpati apalagi empati semakin terbuang jauh-jauh, apalagi orang yang sedang menderita itu selama ini dipandang sebagai “musuh,” orang jelek, dst. Moyoki, juga berarti dicari-cari kesalahannya, kalau perlu dibeber di muka umum.

Pola relasi moyoki memang semakin menjadi-jadi manakala orang itu “sedang tidak berdaya,” bahkan bisa berlanjut orang yang sedang menderita tidak berdaya itu semakin dipojokkan seraya ditunjuk-tunjukan kesalahan atau kelemahannya.

Inilah pola relasi mojoke. Bacalah mojoke ini seperti Anda berkata “pokoke,” atau “makan sate.” Intinya, sudah jatuh tertimpa tangga pula, karena sedang tidak berdaya, sementara orang-orang lainnya justru menyudutkan dia dengan segala argumentasinya.

Dan minta ampun betapa sadisnya pola relasi sosial itu ketika orang yang sudah jatuh tertimpa tangga itu akan bangkit, justru ada saja pihak-pihak sing magoli.  Artinya, upayanya untuk bangkit/berdiri dihalang-halangi, sekurangnya diganggu jangan sampai terjadi.

Lengkaplah penderitaan orang (sedang gagal) seperti ini oleh pola relasi sosial yang salah-kaprah: moyoki, dilanjut mojoke, dan dilengkapi magoli..

Itu bukti konkret betapa ada saja orang-orang yang tidak kesatria terhadap orang lain, karena yang dilihatnya selalu aspek negatif pihak lain itu, dan pada saat pihak lain itu sedang susah, semakin menjadi-jadilah sikap dan komentar-komentar negatifnya.

Baca Juga: Setali Tiga Uang: Beler, Clemer, lan Cemer (Part 2)

Karena itu, mari kita tinggalkan sikap-sikap semacam ini, karena memang sangat menghalangi kita bersemangat maju. Tinggalkanlah dhemen moyoki, mojoke, lan magoli liyan, dan mari melangkah maju dengan potensi dan kemauan baik setiap pribadi.  

Percayalah, setiap pribadi itu punya potensi dan kemauan baik untuk maju dan berkembang, asal saja ia berani melawan pola relasi sosial yang salah tadi. Cara terbaik untuk keluar dari “penjara” itu salah satunya ialah selalu berpikirlah positif tentang apa saja dan terhadap siapa saja. Inilah sikap kesatria zaman now.

(Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang  dan UNS)