Oleh : Hadi Priyanto
R.A. Kartini memiliki jasa besar dalam pengembangan seni ukir Jepara. Ia telah mengubah seni ukir menjadi kerajinan hingga dapat lebih menghidupi para seniman ukir dan mensejahterakannya. Banyak warga yang kemudian menekuni bidang ini hingga seni ukir berkembang pesat.
Walaupun Kartini diboyong suaminya ke Rembang, adiknya, RA. Rukmini kemudian melanjutkan mengelola bengkel Kartini. Oost en West masih tetap menjadi mitra perdagangan yang setia dan Singowiryo masih memimpin para seniman dari Belakang Gunung.
Apalagi saat Raden Mas Adipati Koesoemo Oetoyo menjabat Bupati Jepara menggantikan ayahanda RA Kartini tahun 1905, ia memiliki perhatian besar terhadap pengembangan seni ukir. Sebelumnya Koesoemo Oetoyo menjabat Bupati Ngawi selama 3,5 tahun. Karena banyak warga Jepara yang menekuni seni ukir, maka Koesoemo Oetoyo yang kemudian menjabat Bupati Jepara selama 22 tahun meminta semua sekolah yang ada di Jepara untuk mengajarkan seni ukir.
BACA JUGA R.A. Kartini dan Seni Ukir : Angkat Derajat Seniman Ukir yang Miskin (Bag-1)
Ia juga mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda untk mendirikan Sekolah Seni Ukir di Jepara. Disamping untuk menghormati jasa Kartini dalam pengembangan seni ukir, juga untuk mempersiapkan seniman ukir terdidik.
Konsep mendidik seniman ukir ini telah disampaikan R.A. Kartini dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada tanggal 25 April 1903. Menurut RA Karini, untuk mengembangkan seni ukir dari seni menuju industri kerajinan, maka harus dilakukan dengan mendidik seniman-seniman muda.
Tujuannya agar mereka menjadi pengrajin yang mampu mengembangkan kerampilan yang dimilikinya. Dengan keerampilan yang lebih tinggi, diharapkan mereka akan mampu membuat karya-karya yang dapat diterima pasar.
BACA JUGADi Balik Sejarah RSUD RA. Kartini Jepara, Bermula dari Bangunan Sekolah di Era RA Kartini
Sekolah Pertukangan dengan jurusan Mebel Ukir akhirnya berdiri di Jepara tahun 1929, namanya Openbare Ambachtschool. Sekolah ini dipimpin oleh R. Ngabehi Projo Sukemi dan merupakan seklah pertukangan ukir pertama di Indonesia.
Semula warga Jepara tidak menaruh minat terhadap kehadiran sekolah ini. Mereka mengganggap sekolah tidak penting. Bahkan banyak yang mengganggap sebagai usaha yang sia-sia. Sebab banyak warga yang merasa telah mahir mengukir. Karena itu saat dibuka, sekolah in hanya mendapatkan 25 murid.
BACA JUGA Pintu Belakang, Sebuah Lorong Reproduksi Sosial Keluarga Jawa
Namun kondisi rersebut tak membuat R. Ngabehi Projo Sukemi dan para guru patah semangat. Di samping pelajaran umum, siswa sekolah ini setiap hari mendapatkan pelajaran praktik. Awalnya dimulai dengan menggambar motf-motf dasar berbagai ornamen ukir yang berkembang di Nusantara. Setelah itu praktik mengukir ornamen. Sekolah juga menyediakan kayu ukuran 20 Cm x 30 Cm untuk praktik.
Untuk pengembangan ornamen Nusantara di Jepara, secara khusus R. Ngabehi Projo Sukemi mengajarkan motif Mojopahit dan Mataram. Disamping itu diajarkan oramen-ornamen dasar ukir, antara lan ornamen Madura, Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta, dan Surakarata. Dengan demikian semakin banyak motif ukir yang dikuasai masyarakat Jepara, khususnya generasi muda terdidik waktu itu. Cara pengerjaan petukangan juga semakin baik hingga seni ukir Jepara semakin diminati masyarakat luas.
Karena ketekunan para guru, pada tahun kedua sekolah ini menerima 53 siswa yang dbagi dalam 3 kelas. Hingga tahun 1942, setiap tahun rata-rata menampung 53 siswa. Peningkatan yang cukup berarti mulai tahun 1951. Sekolah ini menerima 75 siswa yang terbagi dalam 6 kelas dan tahun berikutnya meningkat menjadi 100 siswa.
Sedangkan tahun 1953 menerima siswa baru sebanyak 125 anak dan naik 150 siswa pada tahun 1954 serta menerima siswa sebanyak 175 siswa pada tahun 1955. Pada periode inilah berkembangnya ragam hias klasik tradisional Jepara dan kemudian mulai dikenal Jepara sebagai kota Ukir.
BACA JUGA Peringati Hari Kartini Himpaudi Buat Film Dokumenter Inspirasi Merdeka Belajar dari RA Kartini
Sebelumnya pada tahun 1931 sekolah ini berganti nama menjadi Ambachtschool Voor Inlanders. Namun tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1932 berganti nama lagi menjadi Ambachtsleergang.
Setelah itu pada tahun 1934, M. Ngabehi Wignyo Pangukir menjadi kepala sekolah menggantikan R. Ngabehi Projo Sukemi. Ia mengajarkan scara khusus ornamen Pajajaran dan Bali. Disamping itu mulai dikembangkan relief kayu dengan aliran dekoratif. Karya siswa ini muai dari Openbare Ambachtschool dapat disaksikan di museum Sasono Hadi Praceko yang sekarang menjadi bagian dari SMPN 6 Jepara.
Ketika Jepang berkuasa sekolah ini menjadi Kosyu Gakko dan setelah kemerdekaan berganti nama menjadi Sekolah Pertukangan. Pada tahun 1950 berganti kembali menjadi Sekolah Teknik Pertama dan tahun 1959 berubah menjadi Sekolah Kerajinan Negeri.
BACA JUGA Anjuran Berolahraga Saat Berpuasa
Sebelumnya pada tahun 1955, Presiden Ir Sukarno mengunjungi Sekolah Teknik Pertama jurusan Dekorasi Ukir Jepara. Dalam kunjungan ini ia meminta sekolah tersebut ditingkatkan menjadi Sekolah Teknik Menengah jurusan Dekorasi Ukir yang direalisasikan tahun 1959. STM ini kemudan berubah menjadi SMIK pada tahun 1979.
Setelah itu, peran sekolah sebagai kawah condrodimuko seniman ukir semakin menurun jika dibandingkan saat menjadi STM. Sebab pada SMIK ini seni ukir hanya menjadi bagian dari program studi Kerajinan Kayu. Peran ini semakin menurun saat menjadi SMKN 2 Jepara yang lebih berkonsentrasi pada kerja bangku mesin produksi.
Jejak Openbare Ambachtschool sebagai tempat untuk mendidik perajin ukir yang terampil kini semakin samar. Sebab tidak ada lagi sekolah yang mengajarkan seni ukir. Ironisnya pemerintah tidak mengerti bahwa ancaman pelestarian seni ukir di Jepara itu nyata ada.
Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID, Penulis Buku Kartini Pembaharu Peradaban, Buku Kartini Penyulut Api Nasionalisme dan Ketua Lembaga Pelestarian Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara.