Jumlah keseluruhan luas kawasan hutan yang dimaksud dalam SK Menteri tersebut adalah seluas 1.103.941 hektare. Terdiri atas seluas 202.988 hektare di Provinsi Jawa Tengah, yang masing-masing berupa kawasan Hutan Produksi seluas 136.239 hektare dan kawasan Hutan Lindung seluas 66.749 hektare.
Kemudian seluas 338.944 hektare di wilayah Provinsi Jawa Barat, yang terdiri seluas 163.427 hektare berupa Kawasan Hutan Produksi dan seluas 175.517 hektare. berbentuk Kawasan Hutan Lindung. Penetapan KHDPK di Provinsi Banten adalah seluas 59.978 hektare yang berada pada Kawasan Hutan Produksi seluas 52.239 hektare, dan di Kawasan Hutan Lindung seluas 7.740 hektare.
Sedangkan penetapan KHDPK di Provinsi Jawa Timur luasnya mencakup 502.023 hektare, yang sekarang berupa Kawasan Hutan Produksi seluas 286.744 hektare dan yang berupa Kawasan Hutan Lindung luasnya 215.288 hektare.
“Seluruh kawasan hutan di sejumlah provinsi di Pulau Jawa dan Madura yang dengan SK nomor 287 tersebut ditetapkan sebagai KHDPK itu, saat ini berada dalam sistem pengelolaan oleh Perum Perhutani selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” kata Ahmad Arief Subarna.
Dengan demikian, tambahnya, dapat dikatakan fungsi SK tersebut adalah untuk meminta lagi kawasan hutan negara dari tangan pengelolanya saat ini yang notabene Perusahaan Negara. Tentu saja situasi demikian sangat potensial untuk timbulkan beragam implikasi.
Salah satu yang terdampak langsung dan seketika tentu saja nasib ribuan karyawan Perhutani. Mereka kini sedang diperhadapkan dengan kemungkinan masa depan yang sangat gelap. Baik bagi dirinya sendiri maupun kelangsungan hidup keluarganya berpotensi suram.
Dapat dibayangkan, saat ini terdapat sekitar 18.000 karyawan Perhutani yang bekerja di kawasan hutan negara seluas 2,4 juta hektare. “Apabila seluas 1,1 hektare darinya kemudian diminta lagi oleh pihak Kementerian LHK, maka barang tentu akan ada ribuan karyawan, khususnya di level mandor dan Mantri Hutan yang akan kehilangan lahan tempatnya bekerja,” ujar Ahmad Arief.
wied