Oleh: Muh Khamdan
Jepara, yang selama ini dikenal sebagai pusat seni ukir kelas dunia, menghadapi ancaman serius. Semakin sedikit generasi muda yang tertarik menjadi pemahat ukir. Ironisnya, seni yang menjadi identitas kebanggaan daerah justru semakin kehilangan daya tariknya di mata penerusnya. Penyebab utamanya adalah ketidakpastian penghasilan dan lemahnya posisi tawar pemahat ukir terhadap bos mebel.
Dalam rantai produksi mebel ukir Jepara, pemahat ukir sejatinya memegang peran kunci. Tanpa mereka, tidak akan ada ukiran yang menjadi nilai jual utama furnitur Jepara. Namun, dalam praktiknya, mereka justru menjadi pihak paling lemah dalam penentuan harga. Pola kerja borongan yang mereka jalani seharusnya memberi fleksibilitas dalam menentukan nilai karya mereka. Sayangnya, realitas berbicara sebaliknya bahwa harga ukiran tetap mengikuti ketentuan dari bos mebel yang memiliki kendali penuh atas pasar.
Dengan tidak adanya standar gaji atau sistem pengupahan yang layak, pemahat ukir seringkali hanya menerima upah harian yang bahkan bisa di bawah Rp100.000. Padahal, proses ukiran bukan sekadar kerja kasar, melainkan perpaduan antara keterampilan teknis dan kepekaan artistik yang tinggi. Kualitas dan cita rasa sebuah ukiran bergantung pada pengalaman dan intuisi pemahatnya, namun penghargaan terhadap karya mereka masih jauh dari ideal.
Eksodus Generasi Muda ke Pabrik
Di tengah ketidakpastian penghasilan dari seni ukir, banyak anak muda Jepara lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan Nalumsari, Mayong, dan Kalinyamatan. Alasannya sederhana, gaji yang lebih pasti meskipun mungkin tidak jauh lebih besar. Di pabrik, mereka mendapatkan kepastian upah bulanan, jam kerja yang jelas, serta jaminan sosial yang tidak mereka dapatkan sebagai pemahat ukir.
Hal ini menjadi alarm bahaya bagi kelangsungan seni ukir Jepara. Jika generasi muda terus meninggalkan pahat, siapa yang akan mewarisi keterampilan ini? Apakah ukiran Jepara yang melegenda itu hanya akan menjadi artefak sejarah tanpa penerus?
Untuk menghindari kepunahan seni ukir Jepara, diperlukan intervensi kebijakan yang serius. Salah satu solusi utama adalah menetapkan standar gaji bagi pemahat ukir dan tukang mebel. Standarisasi ini bisa berbasis pada tingkat kesulitan dan detail ukiran, durasi pengerjaan, serta pengalaman pemahat.
Selain itu, pembentukan serikat pemahat ukir bisa menjadi langkah strategis agar mereka memiliki daya tawar lebih baik terhadap bos mebel. Serikat ini dapat berperan dalam menegosiasikan harga borongan yang lebih adil serta memberikan perlindungan bagi kesejahteraan pemahat.
Pemerintah daerah dan asosiasi pengusaha mebel juga perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Misalnya, dengan mendorong kebijakan insentif bagi bos mebel yang menerapkan sistem pengupahan layak, serta menyediakan program pelatihan bagi generasi muda agar mereka tertarik menekuni seni ukir dengan prospek ekonomi yang menjanjikan.
Jangan Biarkan Ukiran Jepara Menjadi Sejarah yang Menyakitkan. Seni ukir Jepara bukan hanya soal estetika, tetapi ia adalah warisan budaya yang telah membawa nama Indonesia ke kancah global. Namun, jika kesejahteraan para pemahatnya terus diabaikan, bukan tidak mungkin seni ini hanya akan menjadi kenangan yang menyakitkan bagi generasi mendatang.
Generasi Z dan milenial tidak bisa disalahkan jika mereka memilih meninggalkan pahat demi stabilitas ekonomi. Hal yang perlu diubah adalah sistem yang membuat profesi pemahat menjadi tidak menarik secara finansial. Sudah saatnya para pemahat ukir mendapatkan penghargaan yang layak, baik dalam bentuk penghasilan yang memadai maupun perlindungan sosial yang memastikan keberlanjutan hidup mereka.
Jepara tidak boleh kehilangan ruh seninya. Dan untuk itu, kita harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta; Analis Kebijakan Publik