blank
M Nisfur Rajab SAJ, Guru Mapel Fisika SMK Negeri 1 Wonosobo. Foto : SB/dok pribadi

Oleh M Nifsur Rajab SAJ
Guru Mapel Fisika SMK Negeri 1 Wonosobo

Pandemi global Covid-19 membuat seluruh komponen negeri porak poranda, termasuk juga pendidikan. Proses pembelajaran daring tidak seperti yang diharapkan.

Kemajuan teknologi melalui revolusi industry 4.0 yang mengedepankan teknologi daring justru menimbulkan masalah berupa kemorosotan karakter dan mental seluruh elemen bangsa.

Orang tua murid mendadak menjadi guru di rumah bagi anaknya merasa sangat kewalahan. Meskipun begitu, fenomena tersebut masih belum cukup kuat membuka hati banyak orang bahwa peran guru belum bisa tergantikan sepenuhnya dengan kemajuan teknologi.

Selama ini sudah banyak iklan bimbingan belajar yang memberi jaminan dapat membantu siswa menyelesaikan permasalahan belajar daring. Mereka mengesampingkan bahwa siswa tersebut terdaftar dan melaksanakan pembelajaran di sekolah secara real.

Padahal, sehebat apapun bimbingan belajar tidak bisa menerbitkan ijazah sebagai bukti legal hasil pembelajaran. Hal yang lebih memprihatikan adalah kesenjangan biaya bimbingan belajar yang jauh di atas BOP sekolah.

Perbedaan tersebut semakin jauh jika dibandingkan dengan BOP sekolah swasta yang sangat dibutuhkan hanya untuk memberikan intensif guru yang mungkin hanya cukup untuk beli BBM/ongkos transport berangkat mengajar.

Kemajuan teknologi daring ternyata tidak mampu memfasilitasi penanaman karakter pada generasi penerus bangsa. Ironisnya, kemajuan teknologi daring justru menggiring generasi penerus bangsa ke arah degradasi moral, mental, sopan santun, dan rasa kecintaan kepada bangsa dan negara.

Bagaimana tidak? Berbagai media social memuat ujaran kebencian, penipuan, terror/intimidasi dan bentuk lainnya yang semakin meresahkan. Kehadiran UU ITE, nyatanya belum mampu meradam istilah Kadrun dan Cebong yang telah bertahun-tahun berlalu-lalang di media social.

Melihat banyaknya permasalahan yang ada, rasanya kurang tepat jika saat ini Menteri Pendidikan mengeluarkan kebijakan yaitu kurikulum baru (https://www.kompas.com) yang hemat saya lebih banyak memoles wajah pendidikan, namun kurang menyentuh inti pendidikan.

Akan lebih baik jika kurikulum tidak diubah namun perlu penyesuaian pola perkembangan pendidikan dengan jenjang psikologi peserta didik pada tingkat dasar hingga atas sebagai tindakan prefentif pada gejala degradasi moral, mental serta cinta tanah air dari generasi muda bangsa ini.

Jenjang SD

blank
Anak sekolah jenjang SD. Foto : SB/dok

Jenjang pondasi (Sekolah Dasar kelas 1 – 3). Dikatakan jenjang pondasi karena pada jenjang ini pondasi pengetahuan dasar peserta didik perlu dibentuk. Pengetahuan tersebut meliputi keagamaan, budi pekerti, dan kebudayaan. Pada jenjang ini belum diperkenalkan tulis menulis dan matematika.

Pembelajaran hanya berupa demonstrasi dan praktek langsung. Sebagai contoh pengetahuan dasar keagamaan (Spritual Quotient) yang mengajarkan peserta didik tentang cara beribadah.

Adapun contoh pengetahuan dasar budi pekerti (Emotional Quotient), seperti sopan santun kepada orang yang lebih tua, menumbuhkan pola pikir positif, empati, dan menumbuhkan semangat bekerja sama.

Contoh pengetahuan dasar budaya meliputi budaya disiplin, menjaga kebersihan, antri, sopan berlalu lintas dan sebagainya. Budaya di sini merupakan dasar pembentukan karakter peserta di tingkat lanjut yang tidak dapat diajarkan dengan teori saja.

Namun, dalam bentuk tauladan dan praktek langsung sejak usia dini. Jika budaya tersebut diberikan setelah peserta didik mendapat pengetahuan yang lain maka pengetahuan budaya ini akan dianggap remeh dan tidak penting.

Sebagai gambaran munculnya kasus korupsi disebabkan karena kita tidak disiplin dalam mengantri sehingga saat dewasa kita memilih mengeluarkan biaya untuk oknum untuk mengurus sesuatu.

Pembelajaran hidup beragama yang benar, budi pekerti dan budaya sejak di usia dini menjadikan peserta didik terbiasa menjalani hidup sesuai dengan agama yang diyakini, bekerja sama dan berbudaya dengan baik.

Pengalaman ini diharapkan akan sangat membekas dan akan selalu jadi pegangan dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara. Pada akhir kelas 3, mulai dikenalkan huruf, angka dan cara membaca.

Jenjang Dasar (Sekolah Dasar kelas 4 hingga 6)
Pada jenjang ini peserta didik diajarkan membaca, menulis, melakukan operasi dasar matematika (pengurangan, penjumlahan, perkalian dan pembagian) (Intelligence Quotient).

Kemampuan membaca, menulis dan berhitung merupakan ibu dari ilmu pengatahuan, sehingga peserta didik diharapkan akan mampu mempelajari berbagai pengetahuan yang lebih kompleks.

SMP-SMA

blank
Anak sekolah jenjang SMA/SMK. Foto : SB/dok

Pada jenjang ini pengetahuan agama peserta didik juga ditingkatkan dengan tuntutan pengetahuan yang lebih kompleks. Pengetahuan lain pada jenjang ini adalah perkenalan peserta didik dengan berbagai kreasi untuk mengenal potensi diri terutama bakat, kemampuan, dan cita-cita yang ingin diraih di jenjang selanjutnya.

Jenjang Menengah (Sekolah Menengah Pertama kelas 7 hingga 9). Pada jenjang ini peserta didik mulai dikenakan dengan bahasa asing, matematika tentang bangun dan persamaan dasar, ilmu pengetahuan alam dan sosial dasar (tentang kondisi alam dan social di sekitar peserta didik), pengetahuan agama tingkat lanjut.

Pada jenjang ini peserta didik diberikan bimbingan untuk mengembangkan kemampuan diri tingkat dasar yang bisa digunakan untuk bekerja (soft skill tingkat dasar)

Jenjang atas (Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan kelas 10 sampai 12). Pada semester pertama, peserta didik perlu diberikan Pendidikan dasar kepimpinan (semi wajib militer) untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan membangun pertahanan keamanan bangsa sejak dini.

Melalui kegiatan ini, peserta didik diharapkan memiliki sikap tanggap, tegas, tangkas akan berbagai ancaman yang mengrongrong kesatuan negara Republic Indonesia sekaligus emiliki tubuh dan jiwa yang sehat.

Setelah terbentuk, barulah diperkenalkan pengetahuan matematika lanjut, fisika, kimia, biologi, dan berbagai kompetensi keahlian sesuai dengan bakat dan minat peserta didik.

Saat lulus SMA/K, peserta didik diharapakan memiliki kesiapan bekerja, minimal sebagai seorang operator pada sebuah unit kerja. Jikalau ingin melanjutkan ke pergururan tinggi, peserta didik sudah mendapat cukup bekal pengetahuan sesuai dengan bakat dan minatnya.

Pendidikan kesehatan jasmani menjadi materi yang harus diberikan di semua jenjang pendidikan dengan tujuan melatih dan menjaga tubuh peserta didik tetap sehat dan siap menjalani seluruh aktifitas belajar.

Pola perkembangan pendidikan dengan jenjang psikologi peserta didik pada tingkat dasar hingga atas tidak ada pengulangan materi belajar seperti yang terjadi saat ini. Pola pengulangan mengakibatkan peserta didik bosan.

Selain itu, jika pada jenjang sebelumnya pernah tidak suka pada salah satu mata pelajaran maka pada jenjang selanjutnya akan merasakan trauma dan menyebabkan hambatan dalam pengembangan pola pikirnya.

Pola perkembangan pendidikan terlihat seolah-olah melambat dari apa yang selama ini dijalani. Sebaliknya, justru dengan pembangunan kesadaran dan kesiapan generasi bangsa secara fisik, mental, intelektual dan spiritual.