JAKARTA (SUARABARU.ID)- Manchester United (MU) musim ini tidak sedang dalam kondisi baik. Performa buruk mereka menjadi sorotan banyak pihak, apalagi setelah ditahan Leicester 1-1 pada 2 April lalu. Manajer MU, Ralf Rangnick gusar melihat permainan anak asuhnya sampai menumpahkan kekesalannya di hadapan media.
Rangnick sepertinya sudah lama memendam amarah, mungkin karena sepak bola menekan yang menjadi filosofinya tidak direalisasikan oleh timnya, seperti dikutip Antara.
Tak kuat menahan masygul, manajer MU sejak 29 November 2021 itu menumpahkan unek-uneknya kepada media tak lama setelah Leicester menahan mereka seri 1-1 yang sekaligus mengikis optimisme finis empat besar.
Rangnick lalu menyebutkan penyakit kronis United, yakni tidak berani beradu fisik dengan lawan baik saat membawa bola maupun merebut bola, keberanian dalam menyerang lawan, sampai tiadanya DNA sepakbola menyerang dalam tubuh sebagian besar pemain United.
Dihadapan media, dia merekomendasikan empat hal. Satu, rekrutlah manajer dengan gaya bermain spesifik seperti Manchester City mempekerjakan Pep Guardiola dan Liverpool menyewa Juergen Klopp.
Kedua, belilah pemain yang berani beradu fisik dan agresif mengingat saat ini terlalu banyak pemain MU yang enggan main fisik dan malas berlari guna mengganggu lawan dan untuk mengejar bola.
Ketiga, pelajari dengan saksama DNA pemain yang akan direkrut sebelum mereka menandatangani kontrak bermain di MU.
Keempat, hadapilah kenyataan bahwa butuh tiga jendela transfer lagi untuk meluruskan MU ke jalan prestasi.
Empat rekomendasi itu dikeluarkan Rangnick karena dia melihat skuadnya itu kurang gigih dan kurang agresif.
Contohnya tersingkap saat MU didikte oleh Leicester City akhir pekan lalu yang membuat Setan Merah hampir tak mendapatkan poin.
Rangnick menilai skuadnya memang tak kurang berkarakter dan kemampuan teknisnya. Tapi skuadnya kalah berani dari lawan ketika beradu fisik dan juga mengalami masalah intensitas. “Setiap kali ada kontak fisik, kami sering kalah. Ini yang harus kami perbaiki,” kata Rangnick.
Pelatih asal Jerman itu bahkan menyebut semua yang dia sebut itu adalah bagian dari DNA pemain yang harus ada pada skuad United.
Jose Mourinho Mengungkapkan Hal yang Sama
Uniknya, Rangnick bukan pelatih pertama yang menganalisis demikian. Jose Mourinho sewaktu masih melatih Setan Merah pun begitu, tepatnya saat pertandingan terakhirnya menjadi manajer MU ketika Liverpool mengalahkan MU 3-1 pada Desember 2018.
Menunjuk pemain-pemain The Reds yang tak ragu beradu fisik seperti Andrew Robertson, Sadio Mane, Mohamed Salah, dan Fabinho, pelatih asal Portugal itu sudah menyampaikan hal yang diutarakan Rangnick empat tahun kemudian.
“Mereka (pemain-pemain Liverpool) pemain yang berani beradu fisik dan, di atas itu, mereka juga pemain yang bagus secara teknis. Saya juga memiliki banyak pemain bagus secara teknis, tetapi kami tidak memiliki banyak pemain dengan kegigihan seperti mereka,” kata Mourinho saat itu.
Identifikasi Rangnick ini tak saja membantu manajer United berikutnya, entah Erik ten Hag, Mauricio Pochettino, atau siapa saja, tetapi juga seharusnya membantu manajemen Setan Merah.
Fakta Rangnick mengumbar rekomendasinya kepada publik, menunjukkan Rangnick hendak mengusik hirarki klub yang sejak lama dituding sebagai biang keladi melempemnya Setan Merah sembilan tahun terakhir ini.
Hirarki MU sendiri hanya memberikan predikat pelatih sementara kepada Rangnick ketika MU masih memiliki peluang merebut gelar.
Fred adalah di antara pemain yang merasakan keanehan dari status pelatih sementara yang disandang Rangnick, justru ketika MU menghadapi saat-saat krusial.
Tapi yang paling keras mengkritik manajemen MU adalah para mantan pemain Setan Merah. Salah satunya Teddy Sheringham.
“Jika Anda punya pelatih yang tahu akan lama menjabat dan berkeinginan membuat pemain semakin baik, maka semua orang bakal mengikuti dia. Jika itu tak terjadi, maka semua orang akan sulit mengikutinya karena semuanya bakal berubah saat akhir musim dan mereka (pemain) harus mengawali lagi bersama manajer baru,” kata Sheringham.
Jalur Juara
Man United sendiri, dan juga Liverpool serta Man City, meletakkan fondasi sukses di atas arsitek yang itu-itu saja tapi memiliki ide cemerlang dalam membangun tim yang kuat.
Ini terlihat ketika Sir Alex Ferguson selama 27 tahun menukangi Old Trafford di mana semua trofi pernah diraih Sir Alex termasuk 13 gelar juara liga dan 2 gelar Liga Champions.
Liverpool dan Man City juga begitu. Dalam sembilan tahun terakhir ketika MU tujuh kali mengganti pelatih termasuk dua pelatih caretaker dan 1 pelatih interim, The Reds dan The Citizens masing-masing hanya dilatih dua orang, termasuk Juergen Klopp di Liverpool dan Pep Guardiola bersama City. Kedua klub ini berubah menjadi dua penguasa utama Liga Premier.
Trofi yang diraih pun banyak, ketimbang MU yang tak pernah menjuarai lagi liga. Liverpool sekali juara liga dan sekali Liga Champions, sedangkan Man City empat kali juara liga.
Tetapi pelatih yang itu-itu saja bisa juga bukan jaminan karena sejumlah klub besar Eropa malah membangun kesuksesan di atas suksesi yang lebih kerap dalam jabatan manajer tim.
Real Madrid, Barcelona, Bayern Muenchen dan Chelsea adalah contohnya. Sewaktu Sir Alex mengisi tahta Old Trafford selama 27 tahun, Madrid sudah 22 kali gonta ganti pelatih, Barcelona 15 kali, Bayern 13 kali, dan Chelsea 16 kali.
Prestasinya pun menyaingi dan bahkan melebihi 27 tahun Sir Alex memimpin United. Madrid misalnya, selama era Sir Alex di MU sudah merebut 12 gelar liga dan 4 Liga Champions, sedangkan Barcelona 12 liga dan 4 Liga Champions. Chelsea lima gelar liga dan 1 gelar Liga Champions.
Pun dalam 9 tahun ketika MU dilatih lima manajer (belum termasuk dua caretaker), Madrid, Barcelona dan Chelsea sudah 7 kali ganti pelatih, sedangkan Bayern enam kali.
Tetap saja, dominasi Bayern, Madrid dan Barcelona tak tergoyahkan. Mereka berkali-kali menjuarai liga dan sesekali Liga Champions ketika MU hanya bisa sekali juara Liga Europa saat dilatih Mourinho dan sekali Piala FA saat ditukangi Louis van Gaal.
Oleh karena itu, lama tidaknya seseorang menjadi pelatih belum tentu menjadi jaminan adanya konsistensi dalam tim. Namun jika melihat Man City dan Liverpool saat ini serta MU saat dilatih Sir Alex, maka pelatih yang bisa lama melatih Setan Merah mungkin lebih baik.
Tapi MU harus realistis untuk tak berharap banyak kepada Rangnick yang hanya diberi mandat separuh musim. Kalaupun Rangnick gagal, maka itu lebih merupakan kegagalan manajemen dan pemilik MU.
Apakah delapan pertandingan tersisa musim ini bisa mengantarkan MU ke empat besar? Sulit sekali menjawabnya karena jawaban itu membutuhkan hasil pertandingan yang didapat dari cara bermain dan bersikap yang baru dari pemain-pemain MU.
ua