blank
ilustrasi/seruji.co.id

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Apa itu tua? Satu hal pasti tentang tua ialah berkaitan dengan umur/usia. Seseorang disebut tua karena usianya sudah banyak, atau karena orang itu usianya ada di atas rata-rata orang di sekitarnya.

Seorang guru berusia 25 tahun pun dapat disebut sudah “tua” sebab siswanya baru berada di bawah usia belasan tahun. Sementara itu, di kalangan keluarganya, karena guru itu si bungsu, pasti selalu disebut isih enom atau enom dhewe.

Jadi, tua itu rupanya relatif-tentatif; dan tentang hal itu ada nasihat rohani (amsal) tentang usia/umur itu sebagai berikut: “Biarlah hatimu memelihara perintahKu, karena panjang umur dan lanjut usia serta akan ditambahkannya kepadamu.” Juga ada amsal lain, “Takut akan Tuhan, memperpanjang umur; tetapi tahun-tahun orang fasik, diperpendek.” Di tempat lain juga ada ajaran “Selama umurmu, itulah kekuatanmu.”

Perihal relatif-tentatifnya usia, siapa pun pasti ingat kisah Raja Salomo (Sulaiman) yang tidak meminta usia panjang, kekayaan, atau pun nyawa musuhnya, melainkan meminta kebijaksanaan, dan sangat terbukti betapa bijaksananya beliau ini.

Dalam ungkapan Jawa, sikap dan contoh Raja Salomo inilah yang disebut dengan tuwa tur tuwas, bukan sebaliknya, dari sisi umur sih wis tuwa, tetapi sayang ora tuwas. Dan ternyata, dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai, betapa banyaknya orang “menghamburkan” usianya begitu saja; bukannya tua-tua keladi, makin tua makin menjadi (mantap), karena justru makin tua makin tidak “berisi.” Itulah tuwa, nanging ora tuwas.

Tuwa lan Tuwas

Ada beberapa arti/makna tentang tuwa ini; pertama, wis kliwat ing umur, yaitu sudah di atas paroh baya, maka lalu disebut tuwa, sepuh. Kedua, tuwa juga berarti wis mateng, wis mangsane ngundhuh.

Arti ini sangat terkait dengan buah-buahan yang ada di kebun kita; misalnya pepaya mulai menguning (atau memerah?) disebutlah katese wis tuwa. Arti ketiga, tuwa bermakna wis umob, sudah mendidih.

Baca Juga: Jajal-jajal vs Jajal Laknat

Ini berkaitan dengan masak-memasak atau pun menjerang air; dan arti keempat tuwa ialah semu ireng, kehitam-hitaman warnanya. Dan terkait dengan warna ini, semua warna yang cenderung gelap, disebutlah tuwa, atau dalam bahasa Inggris disebut deep.

Misal, abang tuwa, kuning tuwa, bahkan bisa jadi biru tuwa, ada juga deep purple. Mungkin kita pernah dengar orang omong, “Lho kok dadi guyu tuwa,” itu artinya tampaknya tertawa, jebul ternyata menangis. Kalau ada orang mengatakan “Wis tanggal tuwa, iki,” pasti semua orang tahu banget, apalagi bagi para pensiunan: Wis tuwa, tanggale tuwa pisan, wah …bikin tamsaya tuwa.

Adapun tuwas (bukan tiwas) artinya bebungah kasile saka kangelane, yakni orang memperoleh hadiah atau kebahagiaan sebagai hasil dari jerih payahnya selama ini. Maksudnya, ia pekerja keras, gelem kangelan, maka wajar jika pada akhirnya memperoleh dan menikmati hasil nyatanya.

Tentang hal ini ada nasihat “Pekerja layak mendapatkan hasilnya,” atau dirumuskan agak nyindir “Yang bekerjalah yang selayaknya makan.” Betapa mendalamnya makna bekerja itu, betapa berartinya wong gelem kangelan; sebaliknya betapa sayangnya orang yang tidak membawa tuwas itu. Wis tuwa, ora tuwas, duhhh……duhhhh…..duhhhh.

Pertanyaannya, adakah tuwa ora tuwas itu? Banyak. Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan kemasyarakatan dan politik pun, tidak kurang orang hanya mengandalkan umur belaka, tanpa mau bekerja keras dan cerdas.

Dalam tubuh partai politik pun ada juga yang tuwa ora tuwas itu; misalnya mendaku sudah tuwa sebagai partai politik, namun tidak pernah membuktikan kerja keras dan cerdasnya demi kepentingan dan kemajuan bangsa dan Negara. Individu pun juga banyak yang tuwa ora tuwas seperti itu.

Apa bukti tuwa ora tuwas itu? Dua atau tiga bukti di antara puluhan, ialah semakin banyaknya orang yang sekedar mampu menyampaikan kritik tetapi sama sekali tidak pernah memberikan solusi; hari-harinya diisi oleh kata-kata cemooh, ketidakpuasan, mencela, dan menunjuk-nunjuk kesalahan; namun tidak pernah satu patah kata pun memberikan jalan keluar, kecuali selalu berkata: “Coba aku yang mimpin.” Berapa usia orang-orang yang sering berlaku seperti itu? Ya, wis tuwa, karena orang-orang muda ternyata ora kober, tidak punya waktu untuk ngurusi semacam itu.

Sekali pun Anda, sebutlah, kecewa berat bin jengkel kepada seseorang atau bahkan kepada penguasa, orang sekaliber Anda mustahil tidak mampu mengendalikan diri melawan segala rasa kecewa. Masak sih Anda terbawa-bawa oleh perasaan kecewa terus, dan lalu bersikap tuwa nanging ora tuwas padahal idealnya tuwa sing tuwas? Pengendalian diri adalah salah satu keutamaan Pancasila.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Community Development Planning)