blank
Foto: dok/mucore

blankOleh: Amir Machmud NS

// cukupkah hanya dengan kemenangan/ kalian kembali ke kemuliaan?/ cukupkah hanya dengan bertahan di haribaan/ kalian tak merasa kehilangan?/ relakah roh entah ke mana menghilang/ sukma yang pergi/ dan kalian ada dengan seadanya?//
(Sajak ‘Sikap Minimalis MU’, 2022)

MANCHESTER United berjuang untuk bertahan menjaga asa Eropa, antara lain agar tetap menduduki urutan keempat klasemen Liga Primer musim 2021-2022 ini. Kemenangan 4-2 atas Leeds United pekan lalu, cukupkah itu menjadi ukuran MU bakal mampu memenuhi ikhtiar kebangkitannya?

Permainan yang disuguhkan oleh Bruno Fernandes dan kawan-kawan pada laga tersebut, bolehkah disebut sebagai standar “itulah MU”?

Setan Merah sedang menghadapi banyak masalah. Penggantian pelatih Ole Gunnar Solskjaer dengan Ralf Rangnick memang bergerak ke arah harapan pemulihan dari luka-luka performa selama dua musim terakhir, namun karakteristik taktik yang dia usung tampaknya belum betul-betul terserap oleh anak-anak Old Trafford.

Doktrin taktikus asal Jerman yang disebut-sebut sebagai “profesor gegenpressing” itu masih menyulitkan para pemain MU. Mobilisasi fisik yang lebih “gila” menuntut adaptasi ekstrem. Cristiano Ronaldo dan Edinson Cavani misalnya, dengan usia di atas kepala tiga, tentu tidak maksimal dalam skema pressing tinggi. Bruno Fernandes dan Marcus Rashford juga tampak kesulitan untuk mencapai bentuk terbaiknya.

MU juga dibelit masalah personal Mason Greenwood. Sayap muda berbakat itu harus menjalani proses hukum karena dilaporkan menganiaya pacarnya. Rangnick pun menonaktifkan Greenwood.

Dalam kondisi demikian, MU masih memetik sejumlah kemenangan. Bahkan memantapkan posisi keempat klasemen dengan tujuh laga terakhir tanpa kalah. Pada sisi lain, di masa-masa transisi ini, psikologi tim banyak diguncang oleh sejumlah rumor. Relasi Ronaldo yang disebut-sebut memburuk dengan pelatih, dan ketegangan hubungan dengan kapten tim Harry Maguire, memunculkan dugaan CR7 akan segera hengkang dari Theater of Dream.

Bintang asal Portugal itu seperti dibenturkan oleh realitas yang tidak dia kehendaki. Dia “pulang” ke Manchester Merah dengan impian selangit: membawa klub yang membesarkannya itu kembali ke langit terang Liga Primer, dan mengusung “tuah”-nya di Liga Champions untuk menjaga orbit MU.

Pada awal kehadirannya, dengan gol demi gol di sejumlah pertandingan, Ronaldo menyalakan harapan, namun perlahan-lahan api pengaruhnya terasa menyurut. Dia tampak bermain dengan kondisi penuh tekanan. Tekanan untuk membuktikan “kesaktian”, dan tekanan untuk mengarungi akhir karier dengan kesuksesan.

Apakah MU bukan tempat paling tepat mewujudkan impian itu?

Apakah MU tidak lagi menjadi “kerajaan” yang memberi ruang bagi kemahajaraannya?

Apakah dia memang sudah harus rela menyingkir dari percaturan utama?

Minimalis
Problem MU bukan semata-mata lantaran persoalan Ronaldo. Boleh jadi benar, pemain yang dulu dibawa oleh Alex Ferguson dari Sporting CP itu tidak nyetel dengan gaya bermain pressing ala Ralf Rangnick, namun realitasnya, usia yang makin merambat erat terkait dengan eksplorasi kemampuan fisik.

Permainan pressing membutuhkan cukup adaptasi, sama seperti ketika Juergen Klopp datang ke Anfield Road pada 2015. Para pemain Liverpool membutuhkan waktu untuk bertransisi, dan perlahan tapi pasti menjelma menjadi tim gegenpressing yang menakutkan.

Performa minimalis mengindikasikan Ralf Rangnick belum berhasil sepenuhnya menyatukan elemen-elemen pilar dalam timnya. Boleh jadi lantaran problem transisi, atau skematika bermain yang belum betul-betul “tune in”.

Klub-klub yang sedang dalam upaya kebangkitan memang harus mengalami masa-masa pendakian yang terkadang bahkan dari level minimalis. Barcelona, yang mengalami problem mirip dengan MU misalnya, kini juga harus sabar menata performa bersama arsitek Xavi Hernandez.

Setiap kali menyaksikan MU bermain, saya merasa belum “bertemu” dengan MU yang bermobilitas tinggi dalam permainan penuh sirkulasi pada era kejayaannya. MU yang membangun serangan lewat kedua bek sayap yang hiperaktif, umpan-umpan lambung terukur yang memanjakan kedua strtiker, dan aksi gelandang-gelandang penuh karakter.

Para fans yang menyaksikan MU menang, saya pikir juga akan memandang “kesuksesan” itu dari kacamata minus sebagai “hasil minimalis”.

Dalam olahraga, terkadang terekspresikan aksioma pragmatis tentang tujuan “menang” dan “posisi aman”. Apa pun bentuk kemenangan itu. Terkadang kita juga menemukan pikiran yang lebih dari sekadar rumus, melainkan menjadi semacam “ideologi pemenangan” yang terumuskan dalam narasi penikmatan, “Menanglah dengan kepribadian”, atau “Menang dengan penuh gaya…”

Seminimalis itukah kondisi yang dihadapi MU saat-saat ini?

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —