blank
Gubernur Jawa Tengah(Jateng) Ganjar Pranowo saat memberikan sambutan pada acara “Malam Anugrah PWI Tingkat Provinsi Jateng” di Pendopo Tumenggung Bahurekso Kendal.(FOTO:SB/ Sapawi)

KENDAL(SUARABARU.ID)-Acara HPN tahun 2022 ini bukan untuk menggugurkan kewajiban apalagi sekadar program asal jalan. Karena kalau melihat kapasitas dan kerja teman-teman, HPN ini telah menjadi ruang agar perjuangan jurnalistik ‘ora kepaten obor’. Yaitu perjuangan sebagai salah satu tiang demokrasi sekaligus perjuangan sebagai salah satu penjaga kemanusiaan.

 

Tugas temen-temen memang berat. Sebagai sumber informasi, temen-temen dituntut mengetahui segala sesuatu lebih mendalam dan menyampaikannya dengan benar. Karena, sekalinya ada mis, sekalinya temen-temen menyampaikan informasi dengan tidak benar, efeknya sangat besar.

 

Hal tersebut dikatakan Gubernur Jawa Tengah(Jateng) Ganjar Pranowo, saat memberikan sambutan pada acara “Malam Anugrah PWI Tingkat Provinsi Jateng” di Pendopo Tumenggung Bahurekso Kendal, Sabtu(19/02/2022) malam.

 

“Makanya saya sangat sepakat dengan lirik lagu Nasidaria yang berjudul ‘Wartawan Ratu Dunia’. Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji. Bila wartawan mencaci, dunia ikut membenci. Contoh kejadian sudah sangat banyak betapa besarnya pengaruh yang teman-teman berikan,”kata Ganjar Pranowo.

 

Kalau kejadian terbaru dan besar, lanjut Ganjar, tentunya kejadian di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo. Hampir semua media menyorot ke sana. Cetak, online, televisi apalagi media sosial. Dari situlah seluruh mata dari penjuru Tanah Air bisa memandang.

“Namun sampai sekarang, saya belum menemukan media yang mengungkap detail persoalan Wadas. Ya mungkin karena itu kurang menarik kali ya dibanding berita beberapa aktivis dan warga yang diamankan,”ujar Ganjar.

 

Menurut Ganjar, Wadas ini jadi salah satu desa yang masuk dalam wilayah pengerjaan proyek strategis nasional Bendungan Bener. Beberapa desa lahannya difungsikan untuk tapak bendungan, sementara Wadas sebagai suplay material yaitu batu andesit.

Tentu pengalih fungsian lahan itu disertai ganti untung. Bendungan Bener itu selain jadi penyuplai pengairan 13.589 ha lahan persawahan, juga diproyeksikan untuk pembangkit listrik berkapasitas 6 mega watt.

Juga untuk memenuhi air baku dengan kapasitas 1.500 liter per detik dan mampu mengurangi potensi banjir sebesar 8,73 juta meter kubik.

 

“Jika melihat seluruh manfaat itu tentu kita sepakat bahwa keberadaan bendungan bener itu sangat diperlukan. Bahkan bukan hanya oleh warga Kabupaten Purworejo saja, tapi juga beberapa kabupaten di sekitarnya mulai dari Wonosobo hingga Kulonprogo,”ucap Ganjar.

 

Tapi ternyata niatan baik saja tidak cukup. Jika ‘negoro mowo toto’, maka ‘desa mowo coro’. Ketika negara mengeluarkan kebijakan yang mencakup desa, maka cara-cara yang dipakai untuk merealisasikan kebijakan tersebut harus caranya orang desa.

Karena jika tidak, justru akan melahirkan benturan di tingkat bawah. Maka meski sudah direncanakan sejak 2013, sampai sekarang bendungan itu pun tak kunjung usai.

“Jika saya lihat lebih jauh, sepertinya ada yang dilupakan oleh temen-temen tim teknis di lapangan. Mereka sadar bahwa seluruh proyek ini dilaksanakan di desa tapi mereka lupa memakai cara-cara orang desa, yang spirit rembugannya masih sangat tinggi,”jelas Ganjar.

 

Dikatakan, orang desa akan lebih merasa ‘diuwongke’ ketika diajak rembugan dibanding diikutsertakan dalam ruang sosialisasi. Karena di desa itu semua bisa dirembug, asal ‘ono tembunge’. Dari ruang rembugan itu, pasti akan muncul siapa yang sepakat dan siapa yang tidak.

 

“Jika ternyata yang muncul adalah seperti itu, ya nggak apa-apa. Tidak semua harus mengeluarkan kata sepakat dalam satu kali pertemuan. Maka mestinya muncul ruang rembugan selanjutnya. Dan hal yang paling utama dalam rembugan itu adalah kejujuran. Bagaimana sih sebenarnya tentang proyek bendungan itu? Apa sih manfaatnya, apa dampaknya, dan mencakup wilayah mana saja,”papar Ganjar.

 

Semua informasi itu harus disampaikan secara rasional dan benar. Karena jika ada satu saja ketidakjujuran dalam penyampaian informasi itu, masyaAllah, dampaknya sangat besar sekali. Misalnya saja soal luasan dan harga ganti untung lahan.

 

Agar seluruh niatan dan cara baik itu bisa terealisasi, harus ada orang yang berani bertanggung jawab terhadap keberlangsungan proyek tersebut. Yang melakukan pengawalan terhadap keberlangsungan dan kesuksesannya. Agar pembangunan itu berjalan lancar. Jadi step by stepnya dia paham.

 

Maka jika ada temen-temen wartawan menyakan progres atau persoalan, penanggungjawab itu bisa memberi penjelasan sedetail-detailnya. Dan dialah yang punya tanggung jawab moral terhadap Presiden terlebih terhadap masyarakat.

 

Tapi, mau dibilang apapun, pembangunan bendungan Bener terlanjut menimbulkan riak di Desa Wadas. Karena masih ada warga yang belum sepakat kalau desa mereka dijadikan sebagai lokasi penyuplai material bendungan.

“Saya pun memutuskan untuk turun tangan langsung. Saat ke sana dan ketemu saudara-saudara yang pro maupun kontra, saya merasakan saudara-saudaraku di Desa Wadas ini masih bisa diajak rembugan. Buktinya saya di sana disambut dengan sangat baik, bahkan diberi oleh-oleh hasil kebun mereka. Ya begitulah suasana desa, sing penting ono omonge lan ono rembuge. Tidak ujug-ujug, tidak mak bedunduk. Karena siapapun pasti pengin ‘diuwongke’ ketika ada orang lain masuk ke wilayahnya. Nah tinggal pandai-pandainya kita saja untuk nguwongke uwong, memanusiakan manusia. Sebagaimana tugas yang temen-temen jalankan selama ini di dunia jurnalistik,”pungkasnya.*