JAKARTA (SUARABARU.ID) – Kekhawatiran sejumlah tokoh yang menolak pemindahan ibu kota negara (IKN) dinilai karena belum kenal lebih dekat dengan Pulau Kalimantan.
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago, mengatakan, sejumlah tokoh yang mendengungkan penolakan IKN ke Kalimantan tidak berdasar. Pasalnya hanya kekhawatiran belaka.
Padahal kata dia, tidak sulit bagi mereka mendapatkan data dan dokumen tentang IKN. Buktinya, banyak tokoh yang mendapatkan data-data dan dokumen eksklusif tentang rencana besar pemindahan ibu kota ke luar Jawa tersebut.
“Jangan tanpa data karena malas memburu data, kemudian beropini dan banyak berlindung dari kata ‘Saya duga, saya khawatir’ soal IKN di Kalimantan. Masyarakat awam jadi terpengaruh hal-hal yang tak berdasar datanya,” kata dia, Sabtu (12/2/2022).
Andrinof sekaligus Pendiri Tim Visi Indonesia 2033 juga mengkritik sejumlah tokoh atau ilmuan yang berlasan belum mendapatkan naskah akademik, sehingga menyalahkan berbagai aspek dalam perencanaan IKN tersebut. Sehingga kemudian beropini yang tak dilandasi dengan data yang cukup dan kesimpulan keliru.
“Saya katakan manja (ilmuan) itu, karena mereka ingin data-data penting harus sampai ke tangannya. Berlindung pada kata “Mana naskah akademiknya?”; “Apakah sudah dipikirkan masalah ini dan itu?”. Kan rancau. Saya tekankan tidak sulit, tak sesulit mendapatkan data dan dokumen di masa Orde Baru,” jelasnya.
Lebih Dekat dengan Borneo
Bagi mereka yang menolak pemindahan IKN ke Borneo sebutan nama lain Kalimantan lanjut Andrinof, karena tak kenal lebih dekat dengan pulau yang memiliki luas 743.330 km² itu. Padahal menurutnya, Kalimantan sangat layak menjadi ibu kota baru dengan segudang potensi yang dimiliknya.
“Sudah jelas lokasinya yang sangat strategis di tengah Indonesia dan di tengah Asia Pasifik. Ekonomi Kalimantan bisa berpindah dari ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam ke ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ekonomi pariwisata,” papar dia.
“Untuk sektor pariwisata, misalnya, kalau daerah itu beralih dari ekonomi tambang ke ekonomi pariwisata, kota-kota yang dilalui sungai-sungai besar di Kalimantan bisa seperti Shanghai, Bangkok, Melbourne, atau kota-kota waterfront city di Eropa. Itu adalah ekonomi yang sehat dan sekaligus penghasil devisa. Ekonomi beralih dari merusak alam menjadi merawat alam, karena pariwisata menimbulkan kesadaran akan lingkungan,” jelasnya.
Sosok yang juga penggagas pemindahan ibu kota itu menerangkan, jelas keliru besar membayangkan dari jauh bahwa Kalimantan hanyalah sisa-sisa hutan yang rusak. Makanya dengan ibu kota pindah, akan membawa Kalimantan bertransformasi secara sosial dan ekonomi, karena Kalimantan sangatlah menjanjikan bagi kejayaan masa depan Indonesia.
“Kalau ada orang orang memandang remeh Kalimantan, saya pastikan yang bersangkutan kurang banyak piknik di dalam negeri. Tak kenal maka tak sayang. Borneo itu kejayaan masa depan Indonesia,” terang dia.
Andrinof menyebut, tak heran dengan rencana besar Indonesia membuat negara tetangga Malaysia sudah pasang ancang-ancang untuk menyambut dengan rencana-rencana investasi. Peluang investasi tidak hanya di sektor perdagangan, jasa dan pariwisata. Kalimantan sangat potensial untuk industri maritim, industri berbahan baku mineral hingga industri bahan dari karet.
“Energi untuk menggerakkan mesin maupun lampu penerangan juga berlimpah. Batubara, asalkan tidak terus dieksploitasi besar-besaran untuk dijual ke luar negeri seperti sekarang, maka usia depositnya bisa lebih dari 100 tahun untuk keperluan sendiri. Belum lagi sumber pembangkit hidro di Kaltara yang potensinya lebih dari 6000 MW,” ungkapnya.
Dia menambahkan, jika IKN direalisasikan dengan benar, maka kota-kota yang sudah ada di sekitarnya akan berbenah. Kalimantan pastilah akan menjadi mesin baru untuk perjalanan panjang Indonesia. Meningat Bumi Kalimantan bakal menjadi tumpuan baru Indonesia ke depan.
“Asal kita semua berkomitmen melakukan transformasi ekonomi, Indonesia akan mengalami lompatan justru dari Kalimantan. Lompatan melalui paradigma pembangunan yang diubah dan diinovasikan melalui data-data,” harap dia.
Pakar Desentralisasi, Sutoro Eko mengkritik jika ada tokoh yang menyebut pemindahan IKN membebani negara dan generasi masa depan, proyek bancakan elite, dan tak urung akan jadi proyek mangkrak.
Ketimbang untuk ongkos proyek IKN, kata mereka, lebih baik duit 500 T untuk ongkos program anti-kemiskinan atau untuk memperbaiki Jakarta.
“Tidak benar. Pendapat macam itu representasi kuasa entitas Jakarta yang telah terbentuk selama 400 tahun melalui kolonialisasi, globalisasi, sentralisasi, kapitalisasi, birokratisasi, dan teknokratisasi,” kata dia.
Menurutnya, ketimbang Jakarta mengatur pemerintah, lebih baik pemerintah meninggalkan Jakarta. Jawa dan Jakarta adalah masa lalu. Pemindahan IKN adalah tonggak politik sekaligus buldozer perubahan untuk membuat ulang ‘negara baru’ yang berwajah ‘Indonesia Centris’.
“Ia adalah solusi untuk menembus ketimpangan yang sudah ratusan tahun diciptakan oleh Jakarta sebagai ‘negara lama’,” kata dia.
Hery Priyono