blank
Ilustrasi

blank

Oleh: Amir Machmud NS

BOLEH jadi tak banyak terperhatikan oleh para praktisi media, betapa mutu komunikasi, sampai pada detail teknis pesan moralitasnya, telah ter-cover sebagai visi Kitab Suci.

Ketika hari-hari ini dunia informasi dalam komunikasi massa membicarakan banyak hal tentang kesengkarutan hoaks, pengabaian etika jurnalistik, kepatutan unggahan di media sosial, kekeruhan ruang digital, dan sepak terjang para buzzer, Alquran sudah “membacanya” secara visioner dalam detail idealita tentang bagaimana seharusnya berkata-kata, atau yang dalam tafsir luas menjadi pegangan komunikasi massa dan sikap berjurnalistik.

Basis qaulan atau perkataan mencakup nilai dan pemaknaan pesan, yakni seperti apa cara menyampaikan, bagaimana mengemas narasi, apa substansinya, bahkan sampai pada aspek-aspek “nada” dan “gestur”.

Intinya, bagaimana sebuah pesan bisa sampai kepada penerimanya lewat hasrat dan teknik penyampaian yang efektif dan memanusiakan.

Enam “Qaulan”

Ada enam “gestur” dan “nada” penyampaian pesan dalam visi Kitab Suci itu, yang disampaikan sebagai tuntunan dengan intensitas masing-masing.

Pertama, Qaulan Sadida, yakni perkataan yang tegas dan benar secara narasi dan substansi, seperti yang termaktub dalam Surat Annisa Ayat 9. Dalam Quran, istilah ini dua kali disebutkan.

Kedua, Qaulan Baligha, yakni perkataan yang tepat, fasih, jelas arti dan maksudnya. Jadi memuat arti perkataan yang efektif. Kata ini disebutkan sekali dalam Quran, yaitu Ayat 63 Surat Annisa.

Ketiga, Qaulan Maysura, yakni perkataan yang mudah dicerna dan dikomunikasikan. Pemahamannya juga pada efektivitas pesan, sebagaimana disinggung sekali dalam Ayat 28 Surat Al-Isra’.

Keempat, Qaulan Ma’rufa, yakni perkataan yang baik, sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan. Pesan tentang qaulan ini ditekankan sebanyak lima kali dalam Quran, antara lain dalam Ayat 5 Surat Annisa.

Kelima, Qaulan Layyina, yakni perkataan yang lembut, seperti yang satu kali diingatkan lewat Surat At-Thaha Ayat 44.

Keenam, Qaulan Karima, yakni perkataan yang memuliakan. Alquran menyinggungnya sekali melalui Surat Al-Isra’ Ayat 23.

Kompetensi “Kaffah”

Keenam teknik percakapan yang diidealkan itu, sejatinya menggambarkan komprehensivitas syarat kompetensi komunikasi, yakni sikap profesional dalam penyampaian informasi.

Dalam konteks mikro jurnalistik, mengaitkannya dengan qaulan-qaulan itu, bagaimana kita memaknai profesionalitas wartawan?

Standar penyampaian pesan tidak cukup hanya berbekal kemampuan teknis (skill jurnalistik), namun harus dilengkapi dengan kemauan eksplorasi etis. Kompetensi teknis saja tidak cukup, karena ada standar lain berupa penghayatan kepatuhan kepada Kode Etik Jurnalistik.

Visi Alquran tentang kualifikasi perkataan menggambarkan ke-kaffah-an syarat komunikasi yang efektif dan memuliakan manusia.

Efektivitas itu mensyaratkan bagaimana narasi, substansi, nilai kepatutan, agenda sosial, kemampuan menyampaikan, cara dan “nada” penyampaiannya. Kelengkapan kompetensi ini, dalam konteks newsroom, hakikatnya masuk pula ke wilayah agenda setting dan framing.

Artinya, enam “qaulan” itu bukan sekadar nilai yang hanya terumuskan dalam dunia (wilayah) ide, tetapi juga bersinggungan langsung dengan praksis komunikasi. Baik melalui praktik berjurnalistik dan bermedia dalam media arus utama, maupun interaksi sehari-hari di berbagai platform media sosial.

Bukankah persoalan etika berinformasi dalam duopoly media saat ini, sungguh membutuhkan pamaknaan lewat pencermatan dan praktik yang bijak?

Percampuran konten sudah menjadi persoalan jurnalistik tersendiri. Belum lagi lemahnya kemauan untuk mensterilkan isi media dan media sosial dari pengabaian etika karena pertimbangan viralitas dan click bait, yang sejatinya berujung target pendapatan dari google adsense.

Realitasnya, tren jurnalistik bergerak ke arah eksklusivitas isi media yang didasarkan pada produk pengembangan oleh kreator konten.

“Perlombaan” inilah yang dalam beberapa segi berpotensi mengabaikan substansi etis baik dalam mekanisme, substansi, maupun cara menarasikan.

Maka bagaimana kalau kita mencerna “qaulan-qaulan” itu sebagai bekal sikap, kemauan, dan kebijakan bermedia dengan merekatkan wilayah ide dan wilayah praksis?

Barang tentu, pesan-pesan moralnya bakal menjadi bagian menarik dalam literasi digital yang tak boleh berhenti dikampanyekan. Apalagi ketika perkembangan berjurnalistik dan bermedia makin dipengaruhi oleh aneka kemudahan dalam kemajuan teknologi informasi.

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah