Oleh : Hadi Priyanto
Tahun 1989 saya menulis di Majalah Warta Pembangunan Edisi Khusus Hari Jadi Jepara ke-440 yang terbit pada tanggal 10 April 1989. Tanggal tersebut merupakan peringatan Hari Jadi Jepara untuk yang pertama kali setelah ditetapkannya Peraturan Daerah No. 2 Tahun 1988 tentang Hari Jadi Jepara. Dalam media milik Pemerintah Kabupaten Jepara yang kini menjadi Majalah Gelora Bumi Kartini, saya menulis sebuah artikel berjudul : Mengapa Harus Sang Ratu ?
Saat itu saya sedang mencoba menjawab kontroversi dan pertanyaan sebagian masyarakat terkait dengan pemilihan periode Ratu Kalinyamat yang dijadikan titik tolak mencari “ titi mongso “ hari jadi Jepara. Sebab kota tua ini sudah mulai terkenal jauh sebelum Ratu Kalinyamat berkuasa di Jepara. Tulisan itu saya angkat kembali untuk Anda.
Ada Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga abad ke VI – IX yang jejaknya masih samar karena tidak ada catatan sejarah yang cukup lengkap. Hanya disebutkan pada abad VI di Cho-Po atau Jawa Tengah bagian utara ada kerajaan Ho-ling. Berdasarkan sumber Dinasti Tang tahun 618 – 908 Masehi ada kerajaan bernama Ho – Ling yang dipimpin seorang ratu bernama Shima.
Sumber sejarah tertulis yang lain mengenai Jepara menyebutkan, pada tahun 1470 kota pantai ini telah dihuni oleh 90 – 100 orang dibawah pimpinan Aryo Timur yang diduga berasal dari Kalimantan Barat Daya. Catatan yang dibuat oleh Tome Pires dalam perjalanan di pantai utara pulau Jawa pada kwartal II tahun 1513 – Januari 1515 ini ditulis dalam bukunya yang sangat terkenal yakni Suma Oriental.
Dengan ketekunan, kegigihan dan semangatnya, Aryo Timur berhasil mengembangkan kota Jepara yang kala itu dikelilingi kayu dan bambu sebagai benteng. Bahkan ia juga dapat mengembangkan sebagai bandar perdagangan yang cukup besar serta memperluas pengaruhnya hingga Bengkulu, Tanjung Pura dan lain-lainnya. Namun Jepara kemudian memilih berada dibawah kekuasaan kerajaan Demak.
Kemudian pada tahun 1507, Pati Unus juga berkuasa dalam usia yang relatif muda, karena pada saat itu diperkirakan ia baru berusia 17 tahun. Sebagai seorang pengguasa muda Pati Unus mampu menunjukkan kekuatan Jepara. Terbukti baru kurang lebih 5 tahun berkuasa ia telah menggabungkan armada Jepara dan Palembang menyerang Malaka. Armada Pati Unus yang sampai ke Malaka tanggal 1 Januari 1513 ini terdiri dari kurang lebih 100 buah kapal, yang paling kecil tidak kurang dari 200 ton beratnya.
Penyeranggan ini gagal dan Pati Unus menggalami kerugian besar karena dari jumlah perahu yang dibawahnya hanya kurang lebih 7 – 8 buah yang kembali ke Jepara. Dan ia memerintahkan kapal jung besar yang dipakainya menyerang Malaka diabadikan di pantai Jepara, seperti yang diungkapkan oleh penulis Portugis, Joan de Barros dalam bukunya “Kronik Raja D.” Manoel (1566 – 1567), “Pati Unus”.
Kurangnya sumber sejarah pada masa itulah yang merupakan salah satu sebab, menggapa hari jadi Jepara dicoba dikuak lewat periode Ratu Kalinyamat, tokoh legendaris yang namanya telah terpatri erat secara kultural dihati masyarakat Jepara. Oleh penulis Portugis, Diogo de Couto dalam bukunya Da Asia, ia menyebut Ratu Kalinyamat sebagai Kranige Dame atau Wanita Pemberani dan memujinya sebagai “Rainha de Japora, Senhora Pederosa e rica” yang berarti “Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa”.
Ini terbukti dengan penyerangan dua kali ke Malaka pada tahun 1551 dan 1574. Expedisi ini melibatkan 500 kapal besar dan 20.000 orang Jawa pilihan. Sedangkan kekuasaannya hampir seluruh pesisir utara pulau Jawa dan bahkan sampai di Banten. Bahkan pada pemerintahannya Bandar Jepara menjadi Bandar terbesar.
Mengapa Sang Ratu ?
Untuk menentukan kriteria yang ideal dalam penempatan hari jadi sebuah kota, memang diperlukan kecermatan untuk mengkaitkan peristiwa masa lampau yang mempunyai nilai historis patriotik dengan kondisi kota pada masa kini. Sedangkan kriteria yang dibutuhkan meliputi pencerminan citra kota, nilai kebangsaan, nilai adukatif, dapat dipertanggung jawabkan secara historis dan diterima oleh masyarakat.
Sedangkan cara menetapkannya dapat ditempuh dengan penerapan teori ilmu negara, peristiwa historis, gabungan peristiwa historis dan menerapkan azas dugaan bila data-data pendukung yang didapat dalam studi pustaka kurang.
Lintasan singkat Jepara semasa kepemimpinan Aryo Timur, Pati Unus dan Ratu Kalinyamat dicoba disibak tirai sejarah Jepara masa lampau sebagai acuan untuk menentukan hari jadi Jepara, sebuah bandar tua yang telah mulai dikenal pada tahun 1470.
Beberapa alternatif memang telah diajukan oleh Tim Penyusun Hari Jadi Jepara untuk mencari “tiri mongso” kelahiran kota ukir ini. Ada 5 pilihan yang diajukan yakni tanggal 1 Januari 1513 saat mana terjadi peristiwa historis penyerangan armada Pati Unus ke Malaka, tanggal 24 November 1549 gabungan peristiwa historis serangan armada Ratu Kalinyamat ke Malaka dan penobatan Ratu serta penerapan azas dugaan tanggal penobatan Ratu Kalinyamat 12 Rabiul Awal tahun 956 H.
Berdasarkan penelitian yang teramat mendalam baik studi pustaka di Museum Nasional Jakarta, Perpustakaan Sono Budoyo Yogyakarta serta-serta data-data yang bersumber dari buku-buku yang ada hubungannya dengan sejarah Jepara dan hasil seminar tanggal 11 April 1988 yang diikuti pakar sejarah, Dinas Instansi, anggota DPRD dan tokoh masyarakat, akhirnya ditetapkan hari jadi Jepara diambil dari saat penobatan RAtu Kalinyamat dengan Surya Sengkala Trus Karya Tataning Bumi atau 1549 M dengan azas dugaan tanggal penobatan 12 Rabiul Awal 956 H.
Tepat memang bila menentukan hari jadi Jepara dari saat penobatan Ratu Kalinyamat. Wanita Ratu ini memberi warna sendiri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jepara. Bahkan secara psiko-kultural Ratu Kalinyamat memberi citra tersendiri bagi masyarakat Jepara bahkan lebih dapat diterima secara historis dan normatif oleh masyarakat bila dibandingkan dengan tokoh lain.
Pati Unus memang telah memenuhi kriteria historis dan normatif. Namun nama tersebut kurang menyatu dengan masyarakat Jepara, hingga kini dimungkinkan tingkat wibawanya masih kuat Ratu Kalinyamat.
Keberadaan Ratu Kalinyamat memang tak dapat dilepaskan dari legenda tentang sang Ratu. Yang jadi masalah adalah kesalahan presepsi masyarakat tentang pribadi sang Ratu. Legenda tentang cara-cara Ratu Kalinyamat mendapatkan jodoh atau penafsiran harfiah dari “topo wudo” nya sang ratu sering membuat orang menafsirkannya sebagai “Clean Cleopatra”. Kisah ini masih sering dipentaskan pada pagelaran ketoprak kala itu dan juga mitos punden Sonder, tempat perempuan mencari jodoh. Padahal kisah topo wudo adalah kiasan untuk menggambarkan tindakan beliau meninggakkan sifat keduniawian dan kekuasaan.
Hal-hal ini bersumber pada cerita rakyat yang diwariskan secara tradisional dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Sedangkan salah satu ciri baku dari cerita rakyat adalah pengungkapan secara klise. Disisi lain generasi pewaris kurang kritis, sehingga nilai itu diterima apa adanya. Sehingga justru memperkuat nilai legenda yang ada.
Kebenaran dari legenda ini memang patut dipertanyakan karena legenda itu kemudian berkembang pada saat zaman penjajahan, sehingga bisa saja secara politis memang sengaja dibangun untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya.
Dari beberapa catatan sejarah, nilai-nilai historis patriotik Sang Kalinyamat telah terbuktikan. Penyerangan ke Malaka untuk menghalau kolonialisme, Bandar Jepara sebagai bandar beras dan garam terbesar, Jepara mencapai puncak kejayaannya dan kesetiaan pada suaminya serta pembanggunan masjid Mantingan merupakan bukti peran Ratu Kalinyamat.
10 April 1549
Berdasarkan azas dugaan penobatan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara dilakukan pada 12 Rabiul Awal tahun 956 H saat peringatan Mauild Nabi, saat mana lazim dilakukan pelantikan seorang penguasa. Setelah dikonversikan dalam penanggalan Masehi tanggal 12 Rabiul Awal 956 H adalah hari Rabu 10 April 1549. Usia bandar tua yang kini lebih dikenal sebagai kota ukir dan kota Kartini ini telah memasuki usianya yang ke 440 pada tanggal 10 April 1989.
Penulis adalah seorang pensiunan, penulis dan pegiat budaya Jepara