blank
Penemuan benda-benda purbakala beberapa waktu lalu di Desa Kaligarang (Foto: Dian Ardiansyah)

JEPARA (SUARABARU.ID)- Keberadaan Jepara sebagai kota pelabuhan yang sangat masyhur mempunyai sejarah sangat panjang. Sebagai kota tua, Jepara sering disebut-sebut dalam sejarah kerajaan di Nusantara. Dalam beberapa sumber Babad, Jepara sering dihubungkan dengan legenda-legenda pada zaman Hindu.

Salah satunya disebutkan bahwa Jepara merupakan daerah kekuasaan Sandang Garba. Rajanya kaum pedagang, yang daerah kekuasaanya meliputi Jepara dan Juana. Jepara juga sering disebut sebagai bandar terbesar tempat bersandarnya kapal-kapal perdagangan dari berbagai kerajaan di Nusantara maupun dari mancanegara, serta mempunyai industri galangan kapal yang terbaik se Asia Tenggara.

blank
Sebuah lukisan Masjid Jepara tempo dulu

Sejarah mencatat, keberadaan Jepara telah ada sejak zaman kerajaan Kalingga pada Abad 6 M yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Shima. Hal ini menurut catatan Dinasti Tang tahun 618-906 Masehi.

Meskipun belum disebut sebagai Jepara, namun pada saat itu wilayah Kalingga merupakan wilayah pelabuhan yang letak geografisnya menempati suatu titik yang menghubungkan wilayah daratan dan lautan. Sehingga Jepara berfungsi sebagai tempat menampung surplus hasil pertanian dari daerah agraris yang kemudian dipasarkan ke daerah-daerah di seberang lautan.

Bahkan dalam kronik Dinasti T’ang juga disebutkan pada tahun 647-666 M kerajaan Kalingga telah mengirimkan utusan ke Cina sebagai bentuk hubungan diplomasi dan sekaligus persahabatan dua negara. Dalam berbagai sumber sejarah lainnya memperkuat dugaan bahwa kerajaaan Kaling benar-benar berada di wilayah Jepara. Meskipun pada saat itu belum bernama Jepara.

Namun, ada sebuah cerita pada tahun 1961 di sebuah desa bernama Blingoh, kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, pernah ada seorang petani bernama Pak Rebinah menemukan sejumlah barang kuno di hutan Donorojo, diantaranya dua buah cincin dengan gambar seorang perempuan dan tulisan berhuruf pallawa berbunyi Sima.

Setelah periode Kerajaan Kalingga, nama Jepara muncul kembali dalam berbagai sumber sejarah. Menurut C. Lekkerkerker, nama Jepara berasal dari kata Ujungpara yang kemudian berubah menjadi kata Ujung Muara dan Jumpara. Secara etimologis, kata Ujung Para berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata Ujung yang artinya “bagian darat yang menjorok ke laut” dan Para yang artinya “menunjukan arah”.

Sehingga, jika kedua kata ini digabung akan menunjukan arti “suatu daerah yang letaknya menjorok ke arah laut”. Sedangkan “Para” jika diartikan kedalam bahasa Jawa bisa juga berarti “pepara” yang artinya “bebakulan mrana-mrana”, atau pergi berdagang kesana kemari.

Sehingga dapat dipahami bahwa Jepara merupakan suatu tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.

Sejarah panjang kota Jepara tidak bisa dilepaskan dari surut dan berkembangnya peradaban yang ada di Nusantara.

Sejarah kota tua di pesisir pantai Utara ini tercatat dalam kronik Cina, catatan para musafir mancanegara, bahkan ditulis dalam berbagai sastra. Sebagai pelabuhan yang sangat besar dan dapat dilayari kapal-kapal dagang, Jepara termasuk salah satu jalur penting dalam perniagaan rempah di Nusantara. Jepara menjadi bagian penting dalam mata rantai pelayaran dan perniagaan antara Malaka dan kepulauan rempah-rempah di Maluku dan Banda.

Diego de Couto, seorang musafir Portugis mengabadikan Jepara dalam bukunya yang berjudul De Asia. Buku tersebut ditulis pada tahun 1539-1563 Masehi. Dia mencatat bahwa pada saat Jepara melakukan pertempuran melawan Portugis di Malaka, ada seorang penguasa perempuan bernama Ratu Kalinyamat. Dalam bukunya, Diego de Couto menyebut Ratu Kalinyamat dengan sebutan Rainha da Japara, senhora paderosa rica, Ratu Jepara seorang wanita kaya dan berkuasa.

Sedangkan Tome Pires, seorang musafir yang juga berasal dari Portugis dalam bukunya Suma Oriental mencatat Jepara sebagai pelabuhan terbaik yang pernah disinggahinya. Sejarah mencatat, pada tahun 1551 Masehi, pasca runtuhnya kerajaan Demak dan wafatnya suaminya Pangeran Hadlirin Ratu Kalinyamat membawa Jepara pada puncak kejayaan.

Salah satunya mengembangkan pelabuhan Jepara hingga menjadi salah satu pelabuhan yang terkenal dan terbesar, selain memiliki galangan kapal terbaik di Asia Tenggara (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985 : 116 ; Chusnul Hayati dkk, 2007 : 135 ; Hadi Priyanto, 2018 : 83).

Pada abad ke- 17 pasca runtuhnya Keraton Kalinyamat karena gempuran Mataram, Belanda membangun sebuah benteng yang berada di Loji Gunung. Jepara tidak hanya menjadi simpul hubungan antara Malaka dan kepulauan rempah-rempah seperti disebut di atas, tetapi kota pelabuhan ini juga terhubung dengan Jambi dan kota-kota di sekitar pesisir timur Sumatera.

Beras asal Jepara yang dikirim ke pelabuhan dari pedalaman atau dari Rembang misalnya dikirim ke Jambi untuk dipertukarkan dengan lada Jambi (M. Fauzi dan Razif, 2017:195, Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X – XVI: Kepulauan Banda, Jambi, dan Pantai Utara Jawa).

Memasuki abad ke- 19, Jepara telah surut. Pelabuhannya sudah tidak lagi berfungsi dan pindah ke Semarang. Seorang Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam buku roman sejarah tetraloginya merekam dengan baik kehidupan para tokoh pergerakan nasional yang berasal dari Jepara beserta dinamikanya. RA. Kartini, RMP. Sosrokartono, serta dr Cipto Mangunkusumo merupakan tokoh pergerakan nasional yang pernah lahir di Jepara.

Ulil Abshor