SEMARANG (SUARABARU.ID) – Pondok pesantren (Ponpes) memiliki potensi yang besar dalam berkontribusi menyuarakan pesan- pesan kebaikan melalui berbagai konten kreatif. Terlebih saat ini sudah banyak pesantren yang adaptif dengan teknlogi dan digitalisasi.
Sehingga, pesantren bisa mengisi ruang- ruang dakwah, ruang kemaslahatan bahkan juga ruang pengetahuan, melalui berbagai keratifitas untuk ikut menyebarkan pesan- pesan kebaikan tersebut.
Dosen Strategi Media Online Universitas Semarang (USM), Edi Nurwahyu Julianto, mengungkapkan, sangat bisa sekali pesantren berkontribusi menyebarkan pesan kebaikan melalui konten kreatif.
Sebab berbicara konten sebenarnya sudah tidak lagi atau harus terkotak- kotak pada segmen, kelompok atau komunitas masyarakat tertentu.
“Namun tergantung pada pesan utama apa sih yang akan disampaikan kepada masyarakat dan dikresikan dengan konten yang menarik,” ungkapnya, saat menjadi pemateri pada Workshop Penyebaran Pesan Baik dari Dalam Pesantren, yang digelar Akatara JSA dan Unicef, di Hotel Noormans Semarang, Sabtu (18/12/2021).
Sebagai contoh, jelasnya, untuk saat ini adalah pesan- pesan kebaikan dari dalam terkait dengan ramainya pemberitaan mengenai lembaga pendidikan seperti pesantren yang sedang diterpa isu kurang nyaman.
“Melalui konten- konten kreatif, para santri di pondok pesantren justru dapat menyampaikan bahwa ternyata di pesantren masih banyak kok hal- hal positif dan baik dan bisa dikreasi dalam konten- koten positif,” tambahnya.
Mungkin, lanjut Edi, kalau sudah membicarakan tentang konten yang berhubungan dengan pesantren maupun tentang nilai Islami –selama ini—masih dianggap membosankan, terlalu kaku atau terikat oleh kaidah- kaidah tertentu.
Padahal –sebanarnya– juga bisa membuat konten- konten yang sesuai dengan kaidah, tetapi dikomunikasikan dengan gaya- gaya kekinian, sehingga menjadi lebih menarik dan mudah diterima oleh masyarakat.
Yang penting adalah disesuaikan dengan targetnya siapa, kemudian platformnya media yang dipakai sebelum akhirnya memikirkan kreatifitas.
“Bahwa kreatifitas harus ada standar kaidah- kaidah tertentu yang harus dipenuhi, karena itu juga tidak bisa dilarang iya. Tetapi sebenarnya juga tetap fleksibel jika dikemas dalam konten yang kreatif,” tegasnya.
Memang, lanjutnya, tantangannya ada di lembaga pesantren sendiri, apakah mau mengikuti perkembangan jaman atau tidak, karena kultur pesantren memang spesifik.
Tetapi kalau lembaganya (pesantren) mau, sebenarnya bisa saja konten itu dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat umum akan bisa melihat, ternyata di dalam lingkungan pesantren itu menyenangkan juga.
Sehngga tidak seperti yang baru- baru ini ramai di pemberitaan. “Bahkan, tidak menutup kemungkinan dari lingkungan pesatren pun akan muncul konten- konten kreatif yang lebih variatif,” tandasnya.
Dalam kesempatan ini, Fasilitator Nasional Anti Perundungan dan Sahabat Karakter Puspepeka Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kusfitria Marstyasih menyampaikan, santri juga penting menyuarakan kampanye anti bullying atau perundungan.
Menurutnya, masyarakat umum juga perlu tahu kehidupan di pondok pesantren ternyata iklimnya juga nyaman dan juga cukup dinamis.
Sehingga kepercayaan masyarakat juga tidak gampang ‘tergeser’ oleh stigma- stigma tertentu atau –yang belakangan ini—muncul dan membuat ‘gerah’ telingan masyarakat maupun warga pondok pesantren.
Kemudian pemahaman serta pengetahuan tentang perundungan juga penting disampaikan teman- teman di pondok pesantren. “Sebab hanya karena ketidaktahuan, kadang mereka juga tidak menyadari bahwa mereka sedang melakukan perilaku perundungan,” jelasnya.
Ketika hal itu terus- menerus dilakukan dan tidak ada pengawasan dari orang- orang sekelilingnya di lingkungan pondok pesantren, juga dapat menjadi kebiasaan. Sehingga dapat mempngaruhi mental korban maupun pelakunya juga.
“Kalau tidak diawasi dan diberikan pemahaman bahwa mereka sedang melakukan perilaku bullying dampaknya bisa merugikan warga pesantren,” tegasnya.
Makanya siapa pun, masyarakat atau pemerhati anak dan elemen yang lain, juga penting memberikan pemahaman melalui kampanye maupun sosialisasi anti perundungan yang menyentuh pondok pesantren.
Menurutnya, forum maupun Kegiatan seperti yang digagas Akatara JSA menjadi penting dengan mengajak para santri ikut menyuarakan pesan- pesan kebaikan untuk masyarakat lain yang lebih luas, termasuk perundungan.
“Alih- alih hanya untuk mengisengi teman, maka akan lebih baik para santri membuat konten- konten kreatif dan positif guna ikut mengampanyekan antibullying atau konten lain yang lebih bermanfaat,” tandas Kiki, sapaan akrab Kusfitiria Marstyasih dalam pelatihan yang diikuti para santri dan santriwati Pondok Pesantren Giri Kusumo, Mranggen, Kabupaten Demak ini.
Sementara itu, Communication for Depelopment Officer Unicef Indonesia, Emeralda Aisha berharap, para santri dapat memanfaatkan dengan baik kesempatan mengikuti workshop sehari ini.
Ia juga menyebut, para santri dan pondok pesantren dapat memanfaatkan pelatihan ini untuk meningkatkan kapasitas, khususnya dalam menyebarkan pesan- pesan kebaikan kepada masyarakat yang lebih luas.
“Sehingga, pesantren akan berperan dan berkontribusi yang besar di era digitalisasi seperti sekarang ini, melalui penyajian konten- konten yang positif dan menarik,” tandasnya.
Hery Priyono