blank
ilustrasi.

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// siapakah si nomor satu?/ medan perburuan tak henti mempertanyakan/ siapakah yang paling indah?/ estetika tak surut mempersoalkan/ siapakah yang merebut juara?/ o, hanya kematian dan kematian yang memastikan…// (Sajak “Psikologi Pedang Sepak Bola”, 2021)

“DALAM ilmu surat (sastra), tidak ada jago nomor satu. Dalam ilmu silat, hanya ada jago nomor satu (karena yang nomor dua sudah menjadi mayat)”.

Tak bosan-bosan saya menyitir “tesis” Hans Jaladara pada 1970-an ini. Prinsip yang sangat “hutan belantara” itu dapat Anda simak mengawali komik legendaris yang romantis dan epik, Panji Tengkorak.

Siapakah sang jagoan, siapa si pendekar utama?

Pertanyaan itu menggema hampir dalam semua lembar komik silat, bukan hanya serial Panji Tengkorak. Dia ada di serial Pendekar Lembah Hijau, seri Manggala, serial Guriang, Si Buta dari Goa Hantu, pun ada dalam logi panjang Si Mata Siwa.

Dan, dalam sepak bola, Anda mungkin bisa mengadopsinya sebagai “psikologi pedang” perjalanan kompetisi Liverpool dan Manchester United di Liga Primer.

Ilmu surat-kah yang mereka mainkan? Atau peta jalan ilmu silat yang ditempuh?

Jika Anda melacak rute kepelatihan Pep Guardiola yang masih tekun bersama Manchester City, boleh jadi ilmu suratlah yang dia tuangkan sebagai ideologi sepak bola. Sedangkan Juergen Klopp dan Ole Gunnar Solskjaer, dari sisi ini, tampaknya lebih memilih aliran pedang yang hanya mau mengenal eksistensi kependekaran. Hanya satu yang berhak survive, lainnya harus “out”.

Tiga pekan silam, Liverpool menghancurkan MU 5-0 di Theatre of Dream. Sepekan setelahnya, giliran The Citizens yang menghumbalangkan Setan Merah 2-0. Dan, di tengah kisah keperkasaannya, pekan lalu Liverpool tak ungkulan melawan West Ham United dengan kekalahan 2-3.

Di mata para pelaku sepak bola profesional, kekalahan tak sekadar dicerna sebagai konsekuensi “ilmu surat”, walaupun sejatinya realitas relatif seperti itulah yang berlangsung di antara kalah, menang, atau seri. Manajemen klub dan fans acapkali hanya mau memahami dari psikologi “ilmu silat”, seolah-olah menampik keberadaan klub lain di atmosfernya. Langit kompetisi hanya milik mereka sendiri.

Psikologi itu mereka transformasikan sebagai sikap: aib manakala MU kalah, Liverpool pantang tersuruk, atau Manchester City hanya boleh menang dan menang.

Kita menangkap betapa kecompangcampingan jiwa sangat terasa dari sebuah kekalahan “yang tidak-tidak”. Kehancuran MU dari amukan Liverpool, misalnya. Atau ketidakberdayaan dalam “Derby Manchester” yang berkonsekuensi pada urusan martabat dalam persaingan tim sekota. Kekalahan The Reds dari The Hammers juga bisa dinilai “tidak sepatutnya” mengingat kesenjangan reputasi antarkedua klub.

 

“Psikologi Pedang”

Rasakanlah “psikologi pedang” yang mengusik klub-klub tersebut, meskipun seharusnya kita legawa mendekati sebagai risiko biasa dari sebuah perjalanan kompetisi, yang antara lain bergantung pada manajemen bioritme dan konsistensi.

Realitasnya, industri kompetisi dalam liga-liga memang sulit bertoleransi terhadap moderasi relativitas ala “jalan surat”. Mereka hanya (mau) mengenal kemenangan sebagai ekspresi survivalitas. Artinya, eksistensi klub lain harus “tidak ada”. Kalapun ada, maka harus dilumpuhkan.

Kini rivalitas segitiga antara Liverpool, City, dan MU makin bereskalasi antara lain dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang membentuk karakter. Dari sisi ini, Pasukan Theatre of Dream sedikit tertinggal. Mereka belum juga berhasil menemukan “identitas” seperti yang sekarang dimiliki Liverpool dan Manchester Biru.

Liverpool lekat dengan gegenpressing. Karakter ini telah identik dengan performa mereka. City rancak memainkan orkestrasi doktrinal Pep Guardiola, yang walaupun belum menyamai kehebatan tiki-taka Barcelona pada masa jayanya, namun mengekspresikan “ideologi” sepak bola ofensif nan indah pelatih asal Spanyol tersebut.

Ole Gunnar Solskjaer masih berkutat pada keribetan menjaga stabilitas permainan, belum mampu membentuk “identitas MU”, padahal dia sudah berlimpah materi pemain yang seharusnya layak bersaing memperebutkan trofi.

“Ole out” adalah koor konsekuensi kekecewaan fans, juga manajemen klub. Pria asal Norwegia berjejuluk The Baby Face Assasssin itu, dalam sejumlah momen gelombang turun penampilan MU memang masih saja dipercaya, namun apakah tren yang bertiup sekarang mampu menyelamatkannya dari pemecatan?

Rekannya sesama legenda, Rio Ferdinand menyuarakan desakan agar Solskjaer mengundurkan diri pada saat sekarang ketimbang didepak. Dari logika “menunggu perbaikan”, tentu terasa spekulatif mengharapkan bakal ada perubahan performa yang ekstrem apabila MU tetap di tangan Solskjaer.

Dalam logika yang sama, apakah perubahan kepelatihan bakal menjamin — entah ke tangan siapa pun — kebangkitan MU? Atau itu adalah titik picu manajemen untuk menjawab kebuntuan MU era Solskjaer?

Inilah bedanya dari Juergen Klopp atau Pep Guardiola yang sudah teruji menghadapi naik-turun penampilan timnya. Kekalahan Liverpool dari West Ham tidak bisa disimpulkan sebagai “kemunduran performa”, pun kekalahan Manchester City dari Crystal Palace beberapa pekan lalu.

Klopp dan Pep adalah representasi pelatih dengan “ilmu surat” dalam relativitas perebutan estetika produk, sedangkan Solskjaer benar-benar terkubang di “ilmu silat”. Untuk sementara, dia harus berkutat memenuhi tuntutan kemenangan dan kemenangan. Hanya kematian demi kematian lawanlah yang bakal menyelamatkannya.

 

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan kolumnis sepak bola.