blank

Oleh : Zakariya Anshori Chamim

‘Glorifikasi adab’ dan mistifikasi hubungan antara kiai-santri kembali dicoba dan dikonstruksikan oleh pemilik akun facebook Abdalla Badri kepada para penikmat media sosial dan para ‘Jemaat Tarekat Netizen’ An Nahdliyyah Ghairu Mu’tabarah.

Kepiawaian tangan yang ditransmisikan oleh otak kanan pemilik akun Abdalla Badri memang tidak perlu diragukan lagi. Tulisannya sangat khas. Tajam, kritis, menukik dan kadang naik-turun layaknya rollcoaster di wahana dunia fantasi.

Namun, kekritisannya itu masih bisa dihadapi dengan pendekatan pisau analisa yang lebih kritis, kontekstual dan tidak a-historis. Masih dalam dimensi ruang dan waktu yang bisa dirasakan panca indera, bukan dengan indra keenam.

“Gurauan” santri mbeling ala akun Abdalla Badri, cukup dihadapi dengan data dan fakta empirik di lapangan.  Ilusi soal adab santri-kiai, yang digambarkan dengan sarkartis; “glesot”,  menunjukkan kepemimpinan kharismatik sang kiai.

Tapi, mungkinkah kepemimpinan kharismatik masih relevan dalam ‘percaturan dunia persilatan’ di era disrupsi 4.0 ini?

Adab yang bersifat individual, personal, profetik dan habitual,  dihadapkan dengan dunia organisasi pergerakan yang cenderung profan dan pragmatik. Sampai di sini, kita bisa membaca dengan gamblang kesalahan penerapan adab, akhlaqul karimah dan budi pekerti yang luhur.

Kalau mau lebih beradab, cukuplah ditunjuk pemimpin yang lebih senior, rekam jejaknya lebih baik, nasabnya lebih “biru” dari kalangan keluarga kiai, sudah pernah naik haji ke tanah suci, mempunyai ratusan santri dan mempunyai gelar akademisi.

Ketajaman berpikir dan sikap kritis  pemilik akun Abdalla Badri cukup ‘ditolak’ dengan argumentasi dan pendekatan konstitusi organisasi dan fakta empiris di alenia di atas.

Adab, akhlaqul karimah dan budi pekerti yang luhur hanya bisa berlaku di  ruang dan waktu yang memiliki “gelombang elektromagnetik” yang relatif sama dan homogen.

Gurauan santri mbeling ala pemilik akun Abdalla Badri hanya perlu didekati dengan logika “Qulhu wae, lek!!” ala Kiai Anwar Zahid.

Tidak perlu terlalu serius. Semakin dikritisi dengan dalil ilmiah, postulat akademik, narasi kronologis, fakta sejarah maka pemilik akun Abdalla Badri pasti akan berkata dengan enteng dan cengengesan, “Aku mung guyon kok, Mas!?”.

Guyonan atau lebih tepatnya gurauan –untuk tidak menyebut igauan– cukup dilawan dengan taktik jurus mati ketawa ala madura.

Bagaimana mungkin dia menyematkan kata adab, jika para pemimpinnya tidak melakukan adab yang sama kepada orang yang dipimpinnya. Adab pemimpin yang baik tentu akan memberikan contoh dan teladan yang baik.

Adab adalah soal budaya, soal kebiasaan dan relasi sosial yang akan berkembang mengikuti zaman. Jika pemimpimnya melakukan ‘teror mental’ kepada orang yang dipimpinnya, apakah juga bisa disebut mempunyai Adab?

Mestinya pendekatan kuantitatif dengan batasan minimal 3 PAC dan 20 PR, diselesaikan juga dengan pendekatan kuantatif yang lain, bisa yakni dengan pemungutan suara. Bukan dengan pendekatan kualitatif; su’ul adab.

Bukankah adab perlu juga dicontohkan oleh para pemimpin dengan cara membuka ruang dialog, bukan dengan tinggal glanggang colong playu.

Ihdinash Siraathal Mustaqim.

Penulis adalah Mantan Pengurus Departemen Kajian Strategis, Teknologi Informasi dan Komunikasi PC GP Ansor Jepara, 2003 – 2007, 2008 – 2013

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini