Oleh : Hadi Priyanto
Keindahan hutan mangrove dengan rona jingga mentari disenja hari yang menerpa pucuk – pucuk dedaunan menjadikan Glagah Wangi Mangrove menjadi kawasan wisata penuh pesona. Bahkan menjadi tempat nan eksotis bagi siapapun yang ingin menikmati keindahan mentari saat kembali keparaduannya.
Bukan dalam suasana hiruk pikuk. Namun yang terasa adalah nuansa keheningan yang indah, diiring bunyi deburan air laut yang menyentuh bibir pantai. Ada juga suara burung yang bernyanyi riang dari balik rerimbunan dedaunan pohon mangrove, atau menyaksikan kawanan burung terbang kembali kesarangnya.
Apalagi jika laut sedang pasang. Kawasan wisata Glagah Wangi Mangrove bagai tempat diatas hamparan air laut. Tempat indah yang mampu menyatukan pengunjung dengan alam. Sebab diatasnya dibangun jalan setapak dari kayu. Jalan itu pula yang menjadi titian pengunjung untuk menikmati panorama indah yang memanjakan mata dan hati.
Keindahan alam penuh pesona ini semakin mampu menyentuh rasa, sebab kawasan seluas 14,5 ha yang berada di Ujungpiring, ada pula yang menyebut Jungpiring, Desa Jambu, Kecamatan Mlonggo, Jepara ini ditata artistik dengan mamadukan konsep barat dan tradisional dengan tetap menjaga keindahan dan kelestarian alam.
Karena itu tidak ada satupun pohon mangrove yang ditebang. Desain pengembangan kawasan ini justru mengikuti bentuk hutan mangrove yang telah ada puluhan tahun lalu. Jadilah jalan setapak yang dibuat dari kayu dengan lebar 1 meter ini berkelak-kelok mengikuti rerimbunan pohon mangrove.
Ada juga sejumlah gasebo yang dibangun untuk memanjakan pengunjung yang ingin bercengkerama dengan keluarga sambil menikmati makanan lezat yang disajikan. Ada juga dua villa yang tengah dibangun. Juga sejumlah spot foto menarik dengan desain yang sangat artistik dan alami.
Untuk masuk ke kawasan Glagah Wangi Mangrove, pengunjung harus melalui jembatan yang dihias dengan asesoris puluhan batang bambu yang menjulang keatas dan ujungnya diikat dengan bambu.
Sebelumnya pengunjung membeli tiket masuk seharga Rp. 15.000,- untuk satu hari kunjungan dan kemudian diantar dengan kendaraan roda tiga melewati jalan sempit diatas pematang tambak sepanjang kurang lebih 400 m.
Sebab, untuk menjaga kawasan ini agar tetap terasa dalam balutan nuansa alami, tidak ada kendaraan yang boleh masuk. Karenanya tidak terdengar bunyi kendaraan atau mobil yang tentu mengganggu saat kita tengah menikmati keindahan alam Glagah Wangi Mangrove.
Setelah dari pintu masuk ada dua pilihan pengunjung. Kekanan dapat menikmati keindahan hutan mangrove dari atas gardu pandang dan kemudian menyusuri jalan setapak yang terbuat dari kayu untuk menikmati keindahan hutan mangrove dari sisi barat.
Namun ada pilihan lain. Jika berjalan lurus, ada sebuah resto dengan nuasa alam yang sangat kental dengan berbagai menu ikan laut segar dengan cita rasa khas Glagah Wangi Mangrove. Harganya juga sangat terjangkau.
Atau bisa melanjutkan perjalanan untuk menikmati keindahan alam ke obyek utama kawasan ini yang jaraknya hanya puluhan meter dari pintu masuk.
Ada dua pilihan. Meniti jalan lurus untuk menikmati panorama dari 6 buah gasebo yang dibangun diatas air, spot foto atau sekedar berjalan melingkar menyapa indahnya hutan mangrove. Atau jika ait laut sedang pasang bisa juga menikmati becak air dan kano
Sedangkan jalan ke kiri, ada sejumlah spot foto yang menarik dan sayang jika tidak diabadikan. Termasuk jembatan layang sepanjang 30 meter lebih menuju camping ground yang menjadi bagian pengembangan Glagah Wangi Mangrove. Juga menuju ke pantai pasir putih Ujungpiring.
Jika mentari telah tenggelam, rona jingganya digantikan dengan rangkaian ribuan lampu yang dipasang di kiri dan kanan titian jalan kayu. Sungguh sangat eksotis dan memanjakan rasa
Bermula dari tambak
Kawasan wisata yang baru saja dibuka pada bulan April ditengah suasana pandemi ini, semula adalah tambak dengan luas 7 ha dan hutan mangrove seluas 7,5 ha yang sejak 40 tahun yang lalu menjadi miliki keluarga Selamat Lan Jaya.
Namun karena kondisi air laut yang tidak lagi bersahabat dengan intensifikasi perikanan tambak, jadilah diubah menjadi tempat wisata yang basisnya adalah alam.
“Kami ingin menumbuhkan kecintaaan pengunjung untuk merawat dan melestarikan alam,” ujar Yeni Rahayu Noor Ayna, salah satu owner dan sekaligus pengelola kawasan ini. Ia juga yang mendesaian kawasan ini hingga nampak eksotis dan alami.
Nama Glagah Wangi sendiri diambil dari nama pohon Glagah yang dulu banyak tumbuh di kawasan ini. Namun kini tinggal satu pohon. Karena bunganya wangi, jadilah oleh keluarga kawasan ini diberi nama Glagah Wangi Mangrove.
Apalagi di dekat pohon Glagah itu terdapat sumur air tawar sedalam 2 meter yang tak pernah kering. Bakan cukup untuk kebutuhan kawasan ini. “Kami ingin dengan menggunakan nama itu dapat mendatangkan kebaikan dan berkah bagi siapapun yang memiliki maksud dan keinginanan baik,” ujar Yeni.
Kini ditengah pandemi, walaupun harus menjalankan PPMK Darurat, Kawasan Glagah Wangi masih bisa memberikan pekerjaan kepada 21 orang. Dintara bekerja pada bagian konstruksi dan restoran.
Jika pandemi ini berakhir dan obyek wisata telah boleh dibuka, Glagah Wangi Mangrove dipastikan akan segera melesat menjadi lokomotif baru obyek wisata pantai yang ada di Jepara. Sebab pesona alamnya yang luar biasa indah
Sebab bukan saja eksotika alamnya telah terbangun 40 tahun yang lalu oleh Selamat Lan Jaya, tetapi kini disentuh tangan dingin Yeni Rahayu Noor Ayna, keponakannya yang memiliki rekam jejak panjang dalam dalam mewujudkan cintanya pada alam. Tempat ia memberikan waktu terbanyak disepanjang hidupnya.
Penulis adalah wartawan SUARABARU.ID, pegiat budaya Jepara dan penulis buku-buku tentang sejarah para pahlawan dari Jepara.