blank
Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo, Dr KH Muchotob Hamzah MM. (Foto : SB/Muharno Zarka)

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Dr Hendro Goenawan, SpPD meminta kita semua ekstra hati-hati menghadapi pandemi global Covid-19 dengan berbagai varian-variannya.

Di samping menerapkan protokol kesehatan super ketat, haruslah kita berdoa dan berdoa. Berkaca kasus flu Spanyol 1918 yang setelah gelombang kedua membunuh jutaan manusia tiba- tiba penyakit itu menghilang entah ke mana.

Hukum kausalitas atau sunnatullah (sebab-akibat) adalah faktual, tak terbantahkan. Dan hukum kausalitas itu tetap dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa.

Hukum sebab akibat dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, termasuk Nabi SAW. Salah satu pembawaan lahir semua yang hidup adalah kecemasan mati (ontic anxiety). Apalagi manusia, semuanya cemas akan kematian, kecuali yang telah dihantui ketakutan hidup.

Para Nabi, Rasul dan Salafus-Salih mereka menginginkan hidup yang panjang sehingga melarang umat berdoa untuk cepat mati, yang berarti doanya untuk tetap optimis, raja’ dan thawil umur.

Meskipun mereka karena keimanannya berani menghadapi peperangan, tetapi mereka tetap juga memakai protokol perlindungan. Mereka memakai baju besi, perisai dan seterusnya.

Bahkan berlindung di gua Tsur dan sebagainya Apakah Nabi SAW lebih takut dengan kejaran Quraisy dibanding ketakutannya kepada Allah? Pasti tidak! Karena Nabi SAW memberikan contoh atas sunnatullah kepada umatnya.

Perbedaan perang mereka dengan corona adalah soal musuh. Musuh dalam perang adalah musuh kasat mata, sementara corona adalah musuh yang di balik mata (ghaib idhafi). Orang baru melihat kalau menggunakan mikroskup mikron.

Musuh Ghaib

Terhadap musuh ghaib idhafi ini Nabi SAW juga memberikan arahannya agar memisahkan diri (buukan berarti membiarkan dan menelantarkan) dari orang sakit kusta (Bukhari)

Apakah setiap yang ghaib idhafi=tidak ada? Saya yakin semua tahu akan jawabannya. Karena kalau musuhnya kasat mata, tidak mungkin akan bilang saya tidak takut corona, hanya takut kepada Allah SWT. Apakah berani mereka yang bilang seperti itu disuruh masuk kandang macan yang lagi lapar?

Menurut saya, tidak bisa diartikan orang yang tidak ke mesjid buat sementara karena takut corona sebagai orang berani melawan Allah SWT. Sangat mungkin justru karena mereka takut kepada Allah merasa amalan salihnya dia pandang kurang atau masih banyaknya dosa.

Demikian juga menjaga jarak waktu salat karena dia meyakini sunnatullah dari para ahlinya. Para ahli adalah tempat bertanya sesuai perintah Allah dan Rasulullah (Bukhari). Apalagi yang ahli tersebut orang beriman.

Orang yang di Indonesia mempersoalkan hal ini, apakah tidak sebaiknya minta fatwa dari ulama yang mereka percayai seperti orang yang mempercayai Saudi misalnya yang juga menjarangkan saf salat, menutup haji dan umrah dan lain sebagainya.

Apakah dengan tidak bersalaman sesama jamaah lalu ukhuwah kita tercabik di musim Corona? Saya kira tidak!

Lihatlah betapa banyak mereka yang menjinjing makanan, obat dan lain-lain untuk saudaranya yang terkena musibah. Ketakutan, sekali lagi ketakutan adalah manusiawi. Yang penting tidak lebih takutnya dari ketakutan kepada Allah.

Sebagaimana kita harus sangat mencintai Allah daripada cinta kepada apapan (والذين امنوا اشد حبا لله..(QS. 2: 165). Apakah berarti kita tidak boleh cinta kepada anak isteri handai taulan selama cintanya di bawah cintanya kepada Allah SWT?

Apakah jika kita cinta meteka seperti umumnya manusia beriman = musyrik? Sedangkan mereka adalah “zuyyina linnaasi” (QS. 3: 14).

Tulisan ini tidak saya lengkapkan referensi Al-Qur’an maupun haditsnya kecuali sebagian, karena saya percaya sudah diketahui banyak pembaca.

Tulisan ini seksdar menggugah hati orang yang mungkin sedang lupa. Hari ini bersliweran status, video dan lain-lain tentang lemahnya iman orang yang mengikuti prokes ala MUI atau pemerintah. Siapa tahu tulisan ini ada manfaatnya.

Wallaahu A’lam bis-Shawaab!!!

Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo

editor: mul