blank
Ilustrasi/Banten Raya

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Sejauh saya tahu dan mencoba memahami secara substansial, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK beberapa waktu lalu, -namun ekor masalahnya masih/sedang berlanjut entah sampai kapan, bahkan menimbulkan tiwikrama bagi beberapa orang/pihak – , memang titik beratnya ada pada kluster penilaian PUNP: Pancasila, UUD 1945 dan seluruh aturan turunannya, NKRI, dan Pemerintahan yang sah.

Ada tiga kluster penilaian berikut skor masing-masing. Pertama, kluster kepribadian dengan skor 6; kedua kluster pengaruh, yakni “dipengaruhi” atau “memengaruhi” dengan skor 7; dan ketiga, kluster PUNP tadi dengan skor 9. Pihak penyelenggara TWK memang menegaskan: “PUNP memang mutlak penting, kalau skor ini sempurna, kluster kepribadian dan pengaruh dapat dinomor-duakan.”

Sampai dengan penjelasan singkat ini, seharusnya semua pihak faham betapa masing-masing tes, -mau tes model CAT, mau tes model apa pun- , pasti memiliki tujuan khusus sesuai dengan peruntukan dan pemanfaatannya ke depan.

Kalau peruntukan dan kemanfaatannya berkaitan dengan pentingnya wawasan kebangsaan tertanam dan dimiliki oleh setiap insan yang ikut tes, sangatlah wajar kalau seluruh nuansa tes berikut soal-soalnya sangat terkait dengan substansi pokoknya.

Konon, katanya, muncul sejumlah komentar adanya beberapa pertanyaan yang “Joko sembung naik gojeg; ora nyambung Jek” dengan permasalahan pemberantasan korupsi.

Agaknya di sinilah sumber utama “kemarahan” sejumlah orang terhadap TWK, yakni kok ada sejumlah pertanyaan (kalau benar begitu, lho!) tidak nyambung dengan persoalan pemberantasan korupsi. Ini tes wawasan kebangsaan, Bung, untuk persyaratan Anda menjadi ASN; bukan tes mau mendaftarkan diri menjadi bagian atau staf atau jabatan apa pun di KPK.

Kesalah-pahaman semacam inilah, agaknya yang belum clear sampai sekarang bagi sejumlah orang/pihak. Menggunakan “terminologi” yang sering dipakai dalam berbagai jenis pelatihan (diklat), Anda itu termasuk golongan “Sudah duduk, dan butuh (di)didik,” bukannya dididik dulu baru duduki jabatan.

Maknanya, Anda yang ikut TWK itu memang sudah lama (berpengalaman) duduk dan menjabat di KPK, namun untuk menjadi ASN diperlukan TWK karena nantinya Anda itu baru akan “dididik.”

Intinya, pendekatan tes bagi mereka yang “sudah duduk, untuk dididik” wajarlah kalau berbeda dari pendekatan tes bagi mereka yang perlu “dididik dulu, baru nantinya duduk.” Sekali lagi, TWK termasuk “sudah duduk, baru akan dididik.”

Geger Genjik

Semoga sampai di sini semua pihak paham. Memang sayang, ada banyak pihak yang telanjur melu-melu geger genjik atas TWK di KPK ini, sampai-sampai akeh sing tiwikrama.

Ternyata, salah-paham tidak hanya ada di sekitar makna dan maksud TWK; sebab dalam kehidupan sehari-hari, banyak juga yang salah memahami makna tiwikrama.

Baca Juga: Awas dan Awasi: Omah Sadhuwuring Jaran

Selama ini, banyak orang mengartikan tiwikrama itu sebagai bertirakat atau banyak puasa-prihatin. Bagaimana melakukan tirakat dan olah prihatin seperti itu, ada yang mengaitkannya dengan naik gunung lalu nenepi di sana; atau pergi ke papan wingit ben oleh wisik.

Pemaknaan seperti itu jebule salah-kaprah; sebab makna tiwikrama sebagaimana dapat ditemukan dalam Bausastra Jawi (lihat hal 609), ialah “nepsu banget banjur malik rerupan sing gegirisi,” orang sangat marah sampai-sampai wajahnya berubah (memerah misalnya).

Dalam konteks TWK di KPK, salah paham menjadikan beberapa orang (kelompok?) menjadi sangat marah, dan membawa serta kesalahpahaman lainnya.

Pembelajarannya, ialah ternyata salah-paham itu dapat menimbulkan estafet kesalah-pahaman lainnya. Oleh karena itu hendaklah kita benar-benar berhati-hati dalam banyak hal.

TWK di KPK membawa serta estafet kesalah-pahaman, dan perlu segera diakhiri. Caranya? Mari balik ke pangkalnya, yakni TWK itu untuk memenuhi persyaratan “didik setelah duduk” bagi para pejuang pemberantasan korupsi yang selama ini telah sangat kerja keras.

Terimakasih ya.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)