KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID)- Para seniman Komunitas Lima Gunung menggelar Festival Lima Gunung ( FLG) XX. Pembukaan festival tersebut dilakukan secara sederhana,di tengah wabah Covid-19 yang belum ada ujungnya, .
Yakni, di sebuah sumber air yang konon merupakan pertapaan Kyai dan Nyai Singa Barong di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
Festival seni secara mandiri dan tanpa sponsor itu diprakarsai para seniman petani lima gunung, Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, juga menandai peluncuran Hari Peradaban Desa.
Pembukaan festival seni tahunan tersebut, diawali dengan prosesi kirab para seniman dari Pendopo Padepokan Seni Wargo Budoyo menuju sumber air Tlompak.
Sepanjang perjalanan yang berjarak sekitar 500 meter, para seniman melakukan tapa bisu ( berdiam diri).
Suasana hening mengelayut, tanpa tetabuhan alat musik dan hanya terdengar gemericik air yang menetes dari celah bebatuan sumber mata air Tlompak.
Sesekali burung liar bernyanyi merdu dari balik rerimbunan pohon untuk menyambut rombongan seniman yang jumlahnya terbatas.
Sesampainya di sumber mata air tersebut, para seniman duduk bersimpuh di salah satu sudut untuk memanjatkan doa yang dipimpin juru kunci Tlompak, Alip.
Biasanya pembukaan Festival Lima Gunung ditandai dengan pemukulan gong oleh para tokoh seni dari lima gunung. Namun, pada festival kali ini ditandai dengan penyucian diri dengan air yang keluar dari celah-celah bebatuan tebing tersebut.
Secara bergantian tokoh seni dari lima gunung membasuh diri wajahnya dengan air yang diambil oleh juru kunci Tlompak dari empat buah gentong ( wadah air yang terbuat dari tanah liat).
Setelah itu, dilanjutkan dengan orasi kebudayaan dari Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto, Ketua Panitia, Riyadi. Dan, tidak ketinggalan mantan “ Presiden Lima Gunung” Sutanto Mendut.
Juga ada kolaborasi performance art dari Sitras Anjilin( Padepokan Tjipta Budaya, Tutup Ngisor Merapi) dan Ismanto. Sementara, seniman dari Sanggar Matematika Magelang, Haris Kertorahardjo membacakan puisi “Matematika Air Desa”.
Di tanah lapang yang dijadikan tempat untuk orasi budaya tersebut juga disemarakkan seni instalasi dari janur pohon aren yang berbentuk “ Cakra”. Cakra dalam epos Mahabarata, merupakan senjata milik Prabu Kresna dari Kraton Dwarawati.
Ketua Panitia FLG XX, Riyadi mengatakan, seni instalasi berbentuk senjata milik Prabu Kresna ini bermakna, akan berputar dalam kehidupan begitu senjata tersebut dilepaskan.
“Begitu juga dengan seni, akan terus berputar dalam kehidupan manusia dan tidak pernah mati, meskipun dalam situasi pandemi seperti saat ini,” kata Riyadi.
Riyadi menambahkan, sedangkan janur yang digunakan untuk membuat seni instalasi tersebut, bukan janur dari pohon kelapa.
Melainkan dari pohon aren yang diyakini oleh masyarakat lokal, di dekat tumbuhnya pohon aren, pasti ada sumber air yang membawa kehidupan.
“ Ini juga mengingatkan kita, bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari adanya air,” kata mantan Kepala Desa Banyusidi ini.
Mendadak
Menurutnya, pada pembukaan FLG XX tahun ini dilaksanakan berbeda dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya.
Yakni, pementasannya sangat dibatasi jumlah seniman maupun penontonnya, untuk menghindari kerumunan orang banyak.
“Meskipun ini namanya pembukaan, nantinya masih akan ada hari-hari selanjutnya untuk melaksanakan festival ini akan dilakukan hingga dua bulan ke depan,” katanya.
Selain itu, dari pihak panitia dalam menentukan jadwal pementasan secara mendadak, juga untuk tempat serta waktu pementasaannya juga bisa berpindah-pindah.
Untuk tempat pementasannya pun bisa berpindah-pindah dari lokasi satu ke tempat lainnya dari lima gunung yang ada yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh.
Untuk mencegah penyebaran Virus Corona, panitia juga akan mengupayakan dalam pementasannya menggunakan panggung alam terbuka, sehingga sirkulasi udara tetap terjamin. Yon