blank
Jose Mourinho. Foto: Ist

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// tak ada yang abadi, katamu/ dan, seperti itulah industri sepak bola/ kemarin bukan hari ini/ hari ini adalah hari ini/ esok beda lagi/ jalanmu seperti permainan rolet/ ada rencana di balik nasib/ ada nasib di balik rencana/ bahkan untuk yang menyebut diri/ The Special One…// (Sajak “The Special One”, 2021)

BAHKAN yang sekaliber Jose Mourinho pun tidak imun dari pemecatan. Apa pun alasannya. Apa pun latar belakangnya. Apa pun pertimbangannya. Dari Special One bisa menjadi Sacked One.

Profesionalisme. Ah, profesionalisme…

Karena inikah alam profesional? Karena profesional identik dengan industri? Karena industri adalah kapitalisme? Karena kapitalisme hanya mengenal untung dan rugi? Karena manusia hanya elemen produksi? Karena ini parameter hasil kerja dan kuasa uang?

Mourinho, yang pada awal musim 2020-2021 sempat menyalakan cahaya harapan fans Tottenham Hotspur, akhirnya dipecat pada awal pekan lalu. Friksi, intrik, dan pergulatan psikologis dalam tim ditutup dengan keputusan manajemen, hampir berbarengan dengan hiruk-pikuk kontroversi pendirian European Super League oleh 15 klub besar. Mou, infonya, — seperti banyak tokoh sepak bola Benua Biru– , menentang ide tersebut. UEFA dan FIFA juga menebar ancaman bila ide itu direalisasi.

Gagasan European Super League — dengan tujuan gelimang uang — dipandang merusak kealamiahan kompetisi, karena hanya mempertemukan klub-klub terpilih. Tak ada big match, karena semua klub besar sudah bergabung jadi satu. Tak ada promosi-degradasi. Laga pada tiap tengah pekan bisa merusak jadwal reguler kompetisi yang sudah sistemik. Apakah ide itu berkonsiderans komersial atau kualitas, tak ada bedanya.

Penentangan itukah yang memicu keputusan manajemen The Lilywhites? Atau lantaran hasil-hasil yang merosot di pengujung kompetisi? Semua bisa saling merakit sebab. Masuk akal pula bila Mou dievaluasi, terutama karena relasinya dengan sejumlah pemain disebut-sebut memburuk. Dan, Ryan Mason yang masih berusia 29 menjadi penggantinya.

“Corak persoalan” pria Portugal itu di hampir setiap klub yang ditangani, tak terhindarkan pula di Tottenham Hotspur. Dia, misalnya, berselisih dengan Delle Alli, Dany Rose, Gareth Bale, dan Pierre-Emile Hojbjerg. Saat menukangi Manchester United dia berfriksi dengan Paul Pogba dan Marcus Rahsford. Testimoni Pogba dan Wayne Rooney menguatkan gambaran sikap Mou terhadap pemain.

Yang terjadi di Real Madrid, lalu bersama Chelsea pada era kedua kepelatihannya juga tak berbeda. Hubungannya dengan pemain tidak pernah stabil, meskipun dalam beberapa segi, peraih treble winner bersama FC Porto dan Internazionale Milan itu dikenal suka “melindungi pemain” dari sorotan media.

Terlepas dari performa tengil, menyukai perang kembang di media, serta kisah-kisah friksional yang dia tinggalkan, Mourinho adalah pilihan alternatif bagi klub-klub yang sedang mengalami kegoyahan. Predikat Pelatih Terbaik Dunia 2004, 2005, dan 2010 menjadi brand yang sulit ditandingi,

Dia punya karisma, karakter, pendekatan, dan personalitas yang berbeda. Selalu ada buncah harapan pada setiap kehadirannya di sebuah klub, namun terbit pula gambaran tentang kemungkinan intrik dalam relasi dengan pemain. Manajemen Tottenham pun tentu menyadari pada saat memilih Mou menggantikan Mauricio Pochettino.

Klaim sebagai sebagai The Special One pada awal era pertamanya di Chelsea pada 2004, lalu sesumbar sebagai The Only One saat kembali ke Stamford Bridge pada 2013, bermetamorfosis bersama petualangannya di sejumlah klub dengan hasil yang berbeda-beda. Di The Spurs, ia belum menyumbang prestasi apa pun, dan julukan The Sacked One pun disematkan oleh media.

*  *  *

PEMECATAN pelatih sudah menjadi momen biasa. Kalaupun kita pahami dari konteks pofesionalisme kompetisi, ada segi-segi yang bisa ditelaah sebagai ekspresi kekejaman dunia industri. Kambing hitamnya, apalagi kalau bukan kapitalisme?

Ya, bagaimana mungkin klub-klub yang berorientasi pada hasil mau bersabar menunggu produk kinerja pelatih seperti kisah Alex Ferguson di MU (1986-2013) dan Arsene Wenger bersama Arsenal (1996-2018)?

Klub-klub bertopangan kuat finansial lebih memilih shortcut, jalan pintas yang cepat mendapatkan hasil, seperti yang dilakukan manajemen Manchester City dan Paris St Germain. Namun, pragmatisme City masih punya nilai plus lewat perfeksionitas Pep Guardiola.

Ditargetkan meraih trofi Eropa, Pep tak mau bersikap instan. Taktikus yang sukses bersama Barcelona dan Bayern Muenchen itu tetap memahkotakan ideologi sepak bolanya. Ia konsisten membentuk Raheem Sterling dkk sebagai tim dengan “permainan khusus”, ofensif dan elok.

Mourinho sebaliknya. Dia memang membentuk karakter tim, tetapi pikiran instan acapkali mewarnai produk pemenangannya. Mou kerap memanggungkan taktik “parkir bus”, bahkan “parkir pesawat” apabila anak-anaknya sudah mengantungi gol.

Pemecatan Mou melengkapi referensi tentang sikap instan manajemen klub, seperti yang belum lama ini dilakukan Chelsea terhadap Frank Lampard. Akan segera kita lihat pula seperti apa sikap Juventus terhadap Andrea Pirlo, juga Mauricio Pochettino di PSG, atau Juergen Klopp di Liverpool.

Alur kapitalisme sepak bola akan segera berganti layar. Mou tak harus menunggu lama suasana kehilangan pekerjaan. Spekulasi-spekulasi tentang klub berikutnya menggambarkan betapa cepat perputaran nasib manusia sepak bola. Dan, sebagai sebuah “rutinitas”, tak harus ada luka yang dirasakan.

Episode demi episode pelatih, seperti wajah Jose Mourinho, adalah tafsir tentang sepak bola: dari ideologi permainan, konsistensi, putaran nasib, dan produk trofi…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah