SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kepemimpinan perempuan di era modern saat ini semakin terlihat sangat signifikan. Terbukti, sudah banyak kaum perempuan yang kini terjun di dunia politik, organisasi, ataupun bisnis.
Meski begitu, Sekretaris Komisi E DPRD Provinsi Jateng, Sri Ruwiyati, mengaku tidak mudah menggugah kaum perempuan untuk lebih berperan aktif dalam pembangunan/ kemajuan di daerahnya. Menurut dia masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapi perempuan di sejumlah daerah.
“Masih perlu perjuangan agar kaum perempuan aktif berperan di semua sektor, termasuk politik,” kata Politikus PDI Perjuangan itu dalam ‘Dialog bersama Parlemen-Prime Topic’ dengan tema ‘Kepemimpinan Perempuan Era Modern’, di Hotel Pesonna Kota Semarang, Senin (19/4/2021) sore.
Bahkan, kata dia, keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Jateng baru 19%. Ia menilai hal itu disebabkan beberapa faktor diantaranya masih ada parpol yang menghambat peran perempuan atau ada parpol yang hanya ingin memenuhi syarat KPU yakni 30% wakil perempuan sehingga tidak memiliki kualitas dalam dunia politik.
“Kami sangat mendukung anggaran untuk pemberdayaan perempuan. Kami juga melakukan sosialisasi pendidikan politik perempuan guna meningkatkan perannya dalam pembangunan Jateng,” harapnya.
Strategi Pengarusutamaan Gender
Senada, Kabid Kualitas Hidup Pemberdayaan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng, Dra. Sri Dewi Indrajati, mengatakan selama ini sudah banyak kesempatan bagi perempuan, baik sektor swasta maupun pemerintahan. Namun, diakui pula ada faktor bahwa perempuan belum siap.
“Salah satu upaya pemerintah yakni menerapkan strategi pengarusutamaan gender. Jadi, upaya itu dilakukan melalui pemahaman soal gender di keluarga, sekolah, dan lingkungan,” kata Sri Dewi.
Sementara, Profesor Tri Marhaeni Pudji Astuti Mhum. dari Unnes Semarang juga mengakui keberanian perempuan untuk maju dan berperan sudah bisa dijalankan saat ini. Namun, patut diakui pula tidak semua yang memiliki keberanian tersebut, mengingat adanya faktor sosial-budaya yang masih melekat.
“Di Unnes, sudah 21 tahun yang menerapkan ilmu sosiologi dan antropologi gender. Kami berharap setiap guru memang harus memiliki perspektif gender yang baik,” kata profesor. (Adv)