SEMARANG – Selain PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sistem zonasi dan rotasi guru telah digemingkan Kemendikbud sejak tahun 2019 lalu. Sistem zonasi dan rotasi guru tersebut bahkan hingga berdasarkan tingkat kecamatan. Menurut Muhadjir Effendy yang kala itu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, sistem zonasi dan rotasi dilakukan pemerintah untuk pemerataan kualitas pendidikan.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan, terdapat 3.168.293 guru yang saat ini mengajar di 434.483 sekolah, sedangkan jumlah siswa mencapai 52.539.935 orang. Jika angka tersebut dirata-rata, maka satu guru dapat mengajar 16 sampai 17 siswa. Ini merupakan data yang cukup ideal karena rata-rata jumlah guru sudah sebanding dengan jumlah siswa. Sayangnya, distribusi guru yang ada di lapangan tidak merata sehingga ada sekolah yang kelebihan guru PNS, tetapi banyak sekolah hanya memiliki satu guru PNS terutama di sekolah-sekolah di daerah 3T (Tertinggal, Terdalam, Terluar).
Masalah ini terjadi di SMK Negeri 7 Ende Moni, Kelimutu, di Nusa Tenggara Timur, di mana seluruh guru atau pendidiknya masih berstatus guru honorer, kecuali kepala sekolah. Bahkan SMA Negeri 1 Tabukan Utara, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara terpaksa mempekerjakan guru yang berijazah lulusan SMA (CNN Indonesia.com). Tentu hal ini menjadi kurang ideal karena guru tersebut tidak sesuai kualifikasi. Oleh karena itu, harus ada pemerataan guru di sekolah baik swasta maupun negeri demi pemerataan kualitas pendidikan dengan sistem zonasi dan rotasi guru.
Sistem zonasi dan rotasi guru dilakukan sesuai dengan peraturan Kemendikbud dengan berdasarkan status kepegawaian, yaitu guru dengan status PNS dan bersertifikat, kemudian PNS belum bersertifikat, dan juga guru honorer tidak tetap atau belum bersertifikat.
Selain berdasarkan status tersebut ada beberapa hal pula yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan zonasi guru. Melihat kondisi di lapangan maka sebaiknya zonasi guru juga dilakukan berdasarkan masa kerja, golongan, dan domisili atau tempat tinggal. Hal tersebut karena di lapangan banyak sekali kasus guru yang harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer menuju ke sekolah selama puluhan tahun. Bahkan banyak pula guru yang tinggal di luar kota sehingga harus mencari tempat tinggal yang dekat dengan sekolah agar ketika berangkat tidak terlambat. Ada pula guru yang harus berjauhan hingga berbulan-bulan dengan keluarga karena harus mengajar di sekolah yang jauh dari domisili atau tempat tinggalnya. Keadaan tersebut menjadikan guru kurang fokus dalam mengajar sehingga berdampak pada kualitas dan kinerjanya. Belum lagi dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya perjalanan dan tempat tinggalnya yang dekat dengan sekolah.
Guru dengan kondisi tersebut telah banyak yang mengajukan mutasi atau pindah tempat kerja agar bisa lebih dekat dengan rumah untuk meningkatkan kinerjanya. Akan tetapi, kebijakan yang dilakukan oleh Kemendikbud terkadang berbenturan dengan sistem birokrasi di pemerintah daerah. Akhirnya banyak guru yang tidak bisa mutasi karena terbentur dengan persyaratan administratif.
Terkait zonasi dan rotasi guru tersebut, Dr Supriono MEd, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud mengatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas guru sebagai garda terdepan proses pendidikan di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu MGMP, zonasi dan rotasi guru, pengawas, sertifikat, dan guru berkeahlian ganda. Zonasi dan rotasi guru menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemerataan dan peningkatkan kualitas guru. Oleh karena itu, sistem zonasi dan rotasi guru mutlak perlu dilakukan peningkatan kualitas pendidikan melalui pemerataan jumlah guru di sekolah sehingga sebaiknya pemerintah dapat memberikan kebijakan mutasi kerja dengan kasus-kasus tertentu.
Oleh : Meilan Arsanti
(Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pemdidikan, Unissula/ Mahasiswa IPB Pascasarjana Unnes)