Ringkasan Cerita Lalu:
Setelah dikalahkan Arya Pandan dalam sebuah pertarungan terbuka, Kembang Manggis kembali menghadapi masalah besar, dengan pernyataan terus terang Lindhujati, bahwa ia jatuh hati pada Manggis. Di luar itu, mari kita ikuti perjalanan Arya Pandan menuju Sungai Kopen, tempat Ki Dhamarjati Wasesa mengajaknya bertemu. – red.
***
Begitu terjalnya jalan setapak menuju ke Sungai Kopen. Harus mendaki dan menuruni sebuah bukit kecil dengan pepohonan liar yang tumbuh disekitarnya. Namun bagi Arya Pandan, sejauh ditemani Jayeng, kudanya yang sangat perkasa, kekhawatiran iu sirna seketika. Hanya dengan menepuk punggung Jayeng dan membisik ke arah mana harus melangkah, akan dengan cepat Jayeng mengerti. Sepanjang perjalanan, sepanjang itu pula sang kuda meringkik dan mengerah-erahkan nafasnya penuh kegemasan. Baginya, perjalanan jauh merupakan tugas yang sudah semestinya, maka tak ada keluhan apapun terhadapnya.
“Kita harus sampai lebih cepat daripada Ki Guru, Jayeng. Jangan sampai Ki Guru mendahului kita,” kata Pandan.
Seperti ingin mematuhi perintah Sang Tuan, mendadak Jayeng membelokkan langkah. Ia tidak lagi mengikuti jalan setapak yang semula dilewati. Seperti telah mengerti arah yang lebih mudah, seketika itu pula Jayeng menerobos gerumbul semak yang masih bisa dilewati. Langkahnya lebar, seperti hendak membuka jalan baru untuk dilewati.
“Eh, lewat mana kau? Ini bukan jalan yang kemarin, Jayeng.”
Jayeng hanya meringkik, tiba-tiba sekali Arya Pandan seperti hendak dibawa terbang. Jayeng seperti memberi isyarat bahwa ia berlari sesuai dengan arah kompasnya sendiri.
“Oh, begitukah Jayeng? Kau sudah paham rupanya. Baik, baik, Aku menurut saja.”
Rupanya Jayeng tidak saja hanya mengerti, namun telah memiliki rancangan rute yang lebih pendek dan lebih cepat. Sesekali, bak kuda tunggangan Bharata Wisnu, Jayeng tak ubahnya kuda bersayap yang sangat sigap. Kadang melompat tinggi, sesekali terbang melayang, menghindar dari juluran pepohonan liar di tengah hutan.
“Tahukah kau akan berada di mana Ki Guru menanti?” Jayeng bergerak seperti mengangguk-angguk. Langkahnya dipacu, sementara Arya Pandan sudah tak peduli lagi dengan arah yang akan dituju. Matanya terpejam, menikmati betapa indahnya makna sebuah ketakutan. Ketakutan terhadap takdir buruk yang selalu berada sesudahnya. Jayeng tak memberi sekecil tanda-tanda pun terhadapnya.
Kuda itu terus melompat, berlari, dan melompat lagi. Andai kita lihat dari samping, di saat Jayeng berlari kencang bersama Arya Pandan di punggungnya, berkelabitlah selembar selempang yang panjang. Selempang yang didapat dari ayahandanya sendiri, Raden Ngabehi Sancaka Mahreswara. Seorang pujangga tua Kerajaan Timur pimpinan Bhre Wirabhumi yang mahir meneluh dan mengirim racun jarak jauh darah para musuhnya. Kepada sang putra, Sancaka Mahreswara selalu berpesan, “Jika kau inginkan keadilan, beranilah mengambil jalan perang.”
Sepanjang perjalanan yang tidak terlalu jauh namun juga tidak dekat itu, Arya Pandan selalu terngiang-ngiang ucapan sang ayahanda. Bagaimana mungkin keadilan di temukan di medan perang? Bukankah perang selalu dikuasai oleh nafsu tamak sang penyerang? Bukankah hanya kaum lemah yang tak pernah memenangkan peperangan. Ah, itu bahasa kata-kata sangat tinggi, Pikirannya tak ingin direpoti oleh persoalan ini.
Mulai terasa guncangan tidak sekeras sebelumnya, bahkan kini semakin landau dan rata. mata Arya Pandan membuka. Dilihatnya hutan-hutan sudah tak menghilang. Yang terlihat cuma hamparan sungai sebagaimana yang dilihat beberapa malam sebelumnya.
“Sungai Kopen? Secepat inikah sampai di Sungai Kopen ?”
Jayeng mengeluarkan ringkikan untuk menunjukkan kehebatannya.
“Hebat, kau seperti hewan piaraan para Dewa saja. Tapi di manakah Ki Guru?”
Jayeng tidak bereaksi, kecuali menghentikan langkah di sebuah batu kali besar di tengahnya.”
“Ternyata kita lebih cepat, Jayeng! Ha ha ha..!!”
“Aku telah menunggumu sejak tadi, Kisanak,” mendadak terdengar sebuah suara. Ketika Arya Pandan menoleh ke belakang, tak terlihat siapa-siapa.
“Saya di sini, Kisanak,” suara itu di atas kepala Pandan.
Ketika Arya Pandan mendongak ke atas, ada sebuah pohon besat yang salah satu cabangnya melengkung ke sungai. Di situlah didapati tubuh seseorang yang kecil, tinggi dan tua. Ia bergelayut di ujungnya. Tiada lain dialah Ki Guru Dhamarjati Wasesa. Serta-merta tubuh itu meluncur turun dengan kecepatan tak terlihat mata. Satu lompatan mendarat di ujung batu, lompatan berikutnya sudah sampai di tepi sungai.
“Siapa menyuruh Kisanak berada di tengah sungai. Lebih aman kita membakar kayu kering seadanya di tepi sungai,” lanjut Ki Guru.
“Oh, saya pikir seperti malam sebelumnya ketika bersama Kembang Manggis.”
“Kembang Manggis mempecundangimu, siapa suruh berlatih kuda di tengah sungai, he he he …?”
Sambil agak bersungut, Arya Pandan menyengir kuda.
“Jadi, apa artinya berlatih bersama Manggis malam itu?”
Lagi-lagi Ki Dhamarjati Wasesa terkekeh – kekeh. Sesekali tangannya mengelus jenggotnya yang tipis.
“He he he ……, Kembang Manggis sedang memperdayaimu. Itu latihan ilmu yang diciptakannya sendiri, bukan ilmu baku yang kuajarkan dalam berlatih. Kembang Manggis termasuk jenis murid yang pintar mengembangkan ilmu. Saya tidak pernah mengajarinya berkuda di tengah sungai. Dalam berperang, keahlian berkuda di tengah sungai justru memperlambat kecepatan pasukan.”
“Jadi, Ki Guru…..?” Arya Pandan terlongong-longong.
“Itu sejenis keterampilan berkuda biasa. Mungkin ada beberapa ilmu ciptaannya yang belum diperkenalkan padamu. Seperti kuda berlari di dasar sungai atau kuda berlari sambil menyelam di dasar laut. Pada suatu saat nanti akan kau temui Kembang Manggis naik kuda seperti menaiki gethek-nya yang terapung di sungai.”
“Bisakah itu, Ki ?”
“Segala yang menakjubkan akan diramu antara keahlian dan kesilapan mata secara halus. Itulah ilmu yang diwariskan para leluhur kita sejak tiga generasi sebelumnya.”
“Sejak zaman Majapahit di bawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk?” pertanyaan Arya Pandan semakin menghunjam.
“Jauh sebelum itu, bahkan sejak zaman Kerajaan Singasari kala dipimpin Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi di abad ke 12. Sri Raja kala itu sangat dikenal mampu berkuda di sela-sela awan, dengan memainkan kesilapan mata lawan. Jadi antara nyata dan tidak nyata, ada sungguh-sungguh dan tiada benar-benar.”
Kata-kata “Ada sungguh-sungguh dan tiada benar-benar” ditengarai Pandan sebagai falsafah peperangan. Ilmu ternyata tidak harus dipertunjukkan nyata, melainkan tipu muslihat alam pikir semata.”
“Baik, Ki Guru. Ini pelajaran berharga bagi pengetahuan jiwa-raga saya.”
“Saya hanya ingin mengatakan, Kembang Manggis adalah murid kesayanganku di Padepokan. Kisanak harus tahu siapa sebenarnya ia, Kembang kutemukan sejak masih kecil, ketika seisi Dukuh Trembesi dibakar habis bala tentara tidak dikenal berpuluh-puluh tahun lalu. Kedua orang tuanya hilang dalam peristiwa kerusuhan itu, tiada sanak saudara yang tersisa. Pada saat itulah saya temukan seorang perempuan kecil seorang diri menangis di reruntuh rumah yang terbakar.”
Pada cerita tersebut jakun Ki Guru tampak turun-naik, keringat menetes tipis. Seperti ada kenangan tak terlupakan. Sejenak, Ki Guru Dhamarjati Wasesa tetdiam. Ia seperti sedang mengingat kejadian yang pernah dialami pada saat itu.
“Maka pesanku, jangan kau anggap Kembang Manggis seperti orang lain. Ia telah kuangap sebagaii anakku. Kalau Kisanak menganggapku juga sebagai orang tuamu, anggap juga Kembang Manggis sebagai adikmu.”
Tidak melanjutkan kata-katanya, namun tangan Ki Guru hanya memainkan seembar daun kecil yang jatuh di tanah tak jauh dari tempatnya.
“Saya akan mengikuti perintah Ki Guru. Saya akan melindungi Manggis, seperti seorang kakak melindungi adiknya.”
Ki Guru melihat matanya dengan penuh harapan. Arya Pandan masih menangkap jakun Ki Guru yang naik-turun. Kepalanya mengangguk-angguk memohon paham.
Keduanya lantas berbincang ringan tentang apa saja yang terihatn di kiri kanan mereka. Tentang sungai, gunung, juga pohon dan akar-akarnya di tanah. Ki Guru mengajari arti alam semesta satu demi satu. Mulai dari sifat wadag sampai ruh dan jiwa. Penceritaan itu diajarkan dengan kata-kata pelan dan penuh kelembutan. Seperti mengelur seekor burung mulai dari kepala hingga bulu-bulunya yang tumbuh di seluruh tubuh.
Memang terdengar syahdu dan filsafati. Namun sebenarnya Arya Pandan sedang menunggu wejangan ilmu kadigdayan Ki Guru Dhamarjati. Misalnya, tentang bagaimana menyerang lawan dengan cara menebang batang lehernya. Atau meniupkan peluru beracun lubang ada tulup. Pasti Ki Guru memiliki jurus-jurus yang belum pernah dipelajarinya di kerajaan.
Sayang, cara bertutur Ki Guru hanya biasa saja. Bahkan Arya Pandan sempat terkekeh ketika Ki Guru bercerita tentang sebarisan semut hitam yang mampu meruntuhkan gunung. “Kita harus meniru semut hitam yang bergotong-royong dapat meruntuhkan gunung besar. Semut-semut itu tidak memiliki senjata, namun kebersamaannya mewujud kekuatan besar tiada tara.”
Tentang bagai mana caranya gunung dapat diruntuhkan, Ki Guru lantas memungut seekor semut kecil yang sedang berjalan di tanah sendirian. Selembar daun jati yang terjatuh dari pohonnya diumpankan untuk menjadi tempat semut tadi. Tak lama kemudian bermunculanlah satu, dua, serombongan, segumpalan dan bergumpal-gumpal kerumunan semut hitam menutupi selembar penuh daun jati itu.
“Warga semut hitam memiliki sasmita kuat untuk bersma-sama. Hanya dalam hitungan jari, mereka bisa menutupi selembar daun jati. Bayangkan jika tujuh hari satu bulan hingga satu tahun. Maka dalam sebuah peperangan, pemenangnya bukan ditentukan oleh jumlahnya, melainkan oleh sasmita yang menguatkan. Inilah ilmu yang kau dapatkan dari pertemuan kita . Bukan jarak tempuhmu yang jauh sehingga bisa mencapai tujuan, melainkan cara menempuhnya yang membuatmu bisa lebih dulu sampai.”
Pada saat yang tepat, akhirnya Ki Guru mengatakan hal yang tak terduga sebelumnya. “Sebaiknya kita segera pulang ke padepokan.”
“Ada apa, Ki Guru?”
“Terjadi ontran-ontran di halaman belakang Padepokan,” kata Ki Guru lantas diam-diam ia sudah meninggalkan Arya Pandan tanpa bekas jeja.
Arya Pandan sangat gugup ketika tak lama kemudian terdengar suara gaduh di pucuk pepohonan. Seperti ada makhluk yang berlari kencang menerjang dahan-dahan, sesudah itu hilang. Karena sudah tak bisa menalar lagi, Arya Pandan segera meneriaki Jayeng agar secepatnya menujunya.
“Jayeeeng …..!! ” panggil Arya Pandan.
Kuda itupun terbirit-birit menuju ke tuannya.
“Kembali ke Padepokan. Cepaat !!”
Jayeng menurunkan badannya, Arya Pandan melompat ke punggung Jayeng, membawa tuannya berlari kencang menerabas jalan sebelumnya.
***
Tidak seperti biasa, suasama halaman belakang Padepokan penuh kerumunan. Ketika Arya Pandan telah sampai di sana, beberapa orang memberi jalan. Ia pun meloncat turun, menemui seseorang.
“Ada apa ini??” tanyanya.
“Kembang Manggis meninggalkan Padepokan,” jawabnya gugup.
“Ke mana?”
“Tidak ada yang tahu. Manggis hanya menitipkan nawala di ruang tertutup Paseban.”
Arya Pandan lantas bergegas menuju senthong (kamar tertutup) Paseban, menemui Ki Guru Dharmawangsa Wasesa.
Ki Guru sedang duduk bersedekap di senthong Paseban.
“Apa yang terjadi, Ki Guru?” ucapnya pendek.
“Manggis meninggalkan Padepokan.”
“Memangnya kenapa, Ki ?”
“Lindhujati. Tanyakan sendiri pada Lindhujati.”
Setelah membungkuk hormat, Arya keluar senthong dengan amarah besar. Ia ingin menemui Lindhujati saat itu juga.
***
(Apa yang akan dilakukan Arya Pandan terhadap Lindhujati, jika kepergian Kembang Manggis karena ulahnya? Akankah Kembang Manggis kembali ke Padepokan atau malah pergi selamanya? Dan apa pula jawaban Lindhujati terhadap Arya Pandan yang marah besar? – BERSAMBUNG )