SEMARANG – International Women’s Day (IWD) atau hari perempuan sedunia dirayakan setiap 8 Maret. Di tahun 2021 ini IWD mengangkat tema #ChooseToCahallenge. Menurut penjelasan resmi di laman IWD tema ini diangkat agar perempuan dapat memilih untuk menyuarakan bias dan ketidaksetaraan gender. Foto yang banyak diangkat untuk tema ini dengan perempuan mengangkat satu tangan tinggi – tinggi menjadi suatu simbol komitmen perempuan menantang setiap bentuk ketidaksetaraan, bias gender dan membentuk dunia yang inklusif. Hari perempuan sedunia merupakan hari dimana dirayakannya pencapaian wanita dalam berbagai bidang dari mulai sosial, ekonomi, budaya hingga politik.
Kesetaraan Gender
Hal yang marak dan semakin gencar diperbincangkan akhir-akhir ini adalah isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau dengan istilah lain isu kesetaraan gender. Pemaknaan terhadap istilah kesetaraan gender ini khususnya mengenai masalah ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat.
Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan. Yang dimaksud ketidakadilan disini adalah apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Ini bisa saja terjadi pada salah satu pihak laki – laki ataupun pihak perempuan.
Akan tetapi khususnya di Indonesia, bias gender ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan perempuan itu, secara tidak langsung dapat merugikan masyarakat secara menyeluruh. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak dapat menjadi mitra sejajar laki-laki, sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi timpang.
Dimasa pandemi sekarang ini bias gender semakin marak terjadi baik itu di rumah tangga atau pun didunia kerja. Ketidakadilan ini bisa dilihat dari data yang sudah didapatkan yaitu: Data terbaru dari UN Women menunjukkan pandemi Covid-19 memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada sehingga posisi perempuan menjadi semakin rentan. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan perempuan mengalami peningkatan beban kerja dua kali lipat dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Sebanyak 57 persen perempuan juga mengalami peningkatan stres dan kecemasan dibandingkan 48 persen laki-laki. Selain itu, himpitan ekonomi dan beban mental yang berat membuat perempuan menjadi sasaran kekerasan.
Data terbaru Simfoni PPPA sejak pandemi berlangsung di Indonesia kekerasan terhadap perempuan mencapai 4.477 kasus dengan 4.520 korban. Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan atau 59,8 persen adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 4.472 korban.
Akibatnya, terjadilah ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan bersama anatara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkungan kehidupan berkeluarga maupun dalam lingkungan kehidupan masyarakat secara umum. Lebih jauh lagi dengan semakin tingginya tuntutan, kesadaran, dan kebutuhan perempuan terhadap pengembangan diri, timbullah konflik, karena perempuan membutuhkan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas dirinya.Munculnya bias gender ini (lebih banyak menimpa perempuan) diakibatkan oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang membatasi gerak langkah perempuan serta pemberian tugas dan peran yang dianggap kurang penting dibandingkan jenis gender lainnya (laki-laki).
Mengatasi Isu Bias Gender
Munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu direspon secara proporsional baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak maka tetap saja isu kesetaraan ini hanya menjadi suatu wacana yang tak berujung. Oleh karena itu sikap yang perlu dilakukan sebagai upaya merespon isu kesetaraan ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender (menghapus ketimpangan gender), menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang sama pada kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender.
Perlunya menyikapi isu kesetaraan ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap berbagai aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara umum sangatlah bersalah apabila kita melihat kenyataan dan data-data yang sampai saat ini (khususnya di Indonesia) masih banyak menunjukkan adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai perempuan sepatutnya berhak menyuarakan bias gender agar bisa mengatasi masalah ini, dengan memulai hal yang paling terkecil. Misalnya saja ditingkat pemerintah melalui kementrian meningkatkan anggaran untuk meningkatkan pendidikan dan SDM perempuan. Meningkatkan kemampuan pelaku UMKM yang digerakkan perempuan. Membuat dan mempromosikan kebijakan yang jelas yang berpihak terhadap perempuan. Pemerintah membentuk “Satgas Pemajuan Perempuan”; dan mendorong pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyediakan kajian dan data yang terus diperbarui tentang perempuan putus sekolah, perempuan menikah di usia anak, diskriminasi akses perempuan untuk mendapat pekerjaan, kekerasan terhadap perempuan, dan perdagangan perempuan dan anak. Memperbanyak tempat – tempat konseling keluarga untuk menngatasi ketidaksetaraan gender dimasyarakat dengan peraturan yang jelas.
Dimasyarakat “stop stereotipe”, stereotype sering kali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan diskriminasi harus dihapus mulai dari kita dan lingkungan kita. misal saja kita harus mengenai pelabelan – pelabelan yang dapat merugikan perempuan. Contoh: apabila ada yang menyetir lambat atau sering melanggar, maklum pasti itu perempuan, hal – hal sepele tersebut harus bisa dirubah dari sekarang agar tidak meluas dan tidak merugikan perempuan.
Di keluarga ketidakadilan gender tidak bisa dibiarkan. Ada beberapa hal harus kita sadari bahwa ketidakadilan itu bisa saja terjadi di dalam keluarga, dan kita harus bisa mengubahnya. Misal saja: menempatkan istri pada posisi kelas dua dan tidak penting, dan tidak dilibatkan dalam keputusan penting dalam rumah tangga karena dianggap tidak cakap memimpin. Kekerasan, seperti serangan terhadap fisik maupun mental. Dalam keluarga bisa berupa kekeran fisik maupun non fisik kepada istri.
Beban kerja ganda, misalnya saja istri diizinkan ikut mencari nafkah dengan syarat bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dan semua urusan rumah/anak harus beres. Sementara pria tidak mau memikul tanggung jawab yang sama untuk urusan domestik. Hal ini bisa didiskusikan ketidakadilan ini perlu didefinisikan ulang dari berbagai pihak. Di dalam keluarga juga perlu dibahas agar semua bisa diatasi dan tidak ada yang diberatkan dalam mengurus urusan keluarga. Perlunya penjelasan secara terbuka dari istri dan pemahaman dari suami agar keluarga berjalan secara harmonis. Mengejarkan tugas anak pria dan perempuan dalam hal2 domestik rumah tangga dari kecil. Advokasi bagi para korban kekeran juga penting agar perempuan dapat mengatasi masalah yang dialaminya.
Perbanyak membaca untuk meningkatkan pengetahuan tentang gender. Bangun kesadaran diri melalui bacaan, diskusi, atau mengikuti aktivitas kesetaraan gender. Hal ini dilakukan baik dari pihak perepuan maupun pria. Tidak mungkin perubahan bisa terjadi bila pria tidak terlibat. Perempuan diberikan kesempatan bisa aktif dan berani mengambil keputusan, dan pria harus dilatih untuk menghargai kemampuan perempuan sebagai mitra untuk maju. Salah satu cara untuk mengadakan perubahan adalah dengan berbicara, mengungkapkan adanya tekanan dan diskriminasi. Terapkan kesadaran ini dalam keseharian Anda, ketika Anda mendidik anak perempuan dan anak laki-laki Anda.
Menarik keluar ketika perempuan yang tertekan dan dikucilkan. Perlunya kesadaran dilingkungan setempat dan mengajak perempuan lebih aktif lagi dengan kelompok dibidang RT dasawisma, PKK dan kader kelurahan. Melalui perkumpulan tersebut kebijakan – kebijakan dari pemerintah mengenai kesetaraan gender bisa tersampaikan secara cepat dan tepat sasaran.