SEMARANG (SUARABARU.ID) – Dalam kunjungan kerja (kunker), Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamen Kumham), Eddy Hiariej menghadiri Diskusi Publik RUU KUHP dan UU ITE.
Kegiatan yang berlangsung di Gumaya Hotel tersebut juga dihadiri Jampidum Kejakgung dan tamu undangan lainnya.
Disampaikan Eddy, Pemerintah pastikan ruang diskusi dan masukan publik tetap terbuka dalam upaya penyusunan dan penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) demi pembangunan hukum nasional.
Baca Juga: Setahun Pandemi Covid-19, Apa yang Sudah Dilakukan Pemkot Semarang?
Ruang diskusi dan masukan tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menerima masukan dari publik terkait penyusunan RUU KUHP.
“Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini merupakan produk estafet dari para pendahulu yang mutlak harus di wujudkan sebagai salah satu mahakarya anak bangsa yang patut dibanggakan,” ungkap Eddy saat memberikan keynote speech dalam Diskusi Publik Penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang berlangsung di Gumaya Hotel Semarang, Kamis (4/3/2021).
Menurut Eddy, diskusi publik terkait RUU KUHP ini sekaligus untuk mensosialisasikan pentingnya revisi KUHP yang mengedepankan prinsip restorative justice. Sosialisasi ini juga menjadi kunci agar publik mendapatkan informasi yang utuh dan benar soal revisi KUHP.
Baca Juga: Polrestabes Semarang Beri Pelatihan Gratis Difabel Dalam Pembuatan SIM
“RUU KUHP merupakan penal code nasional yang disusun sebagai simbol peradaban suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat,” ujar Eddy.
Dikatakan, perbedaan pemahaman dan pendapat dalam pengaturan RUU KUHP merupakan kontribusi positif yang perlu disikapi dengan melakukan diskusi yang komprehensif dan menyeluruh, dari seluruh komponen anak bangsa.
“RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem kodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda,” ucap Eddy.
Baca Juga: Mengaku Anggota Polsek Tugu Semarang, Dua Lelaki Diamankan Polisi
Dalam perkembangannya, sambung Eddy, makna pembaruan KUHP Nasional yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna dekolonialisasi KUHP diperluas, sehingga meliputi pula misi demokratisasi dan konsolidasi hukum pidana materiil di Indonesia. Menurutnya misi demokratisasi tercermin dalam upaya menjaga keseimbangan moralitas individual, moralitas sosial, dan moralitas institusional.
Sedangkan misi konsolidasi tercermin dari upaya untuk menertibkan perkembangan hukum pidana di luar KUHP dengan mengembalikan kendali asas-asas umum kodifikasi secara bertahap.
“Misi modernisasi, yaitu dengan mengubah filosofi pembalasan klasik yang berorientasi pada perbuatan semata-mata menjadi filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku, dan korban kejahatan,” tutur Eddy.
Baca Juga: Tujuh Orang Napi Lapas Semarang Ikuti Ujian Akhir Semester
“Saat ini, Kemenkumham menjadi salah satu tim kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk merumuskan kriteria implementatif atas pasal tertentu dalam UU ITE yang dianggap menimbulkan multitafsir, dan melakukan telaahan untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan revisi terhadap UU ITE,” jelasnya.
Keberadaan UU ITE juga menjadi pembahasan dalam diskusi yang mutlak diperlukan untuk menjadi dasar pemanfaatan Teknologi Informasi sekaligus sebagai payung hukum mengatasi berbagai tindakan melawan hukum, serta pelanggaran-pelanggaran tindak pidana teknologi informasi (cyber crime).
“UU ITE harus dapat melindungi berbagai kepentingan hukum yaitu kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak yang bersifat hak konstitusional (constitutional rights),” tambahnya.
Baca Juga: Pemuda Papua di Semarang Dukung Otonomi Daerah Papua
Dalam persoalan ini, Presiden Joko widodo meminta untuk secepatnya dilakukan pembahasan dan kajian terhadap UU ITE. Atas arahan Presiden tersebut, Kemenkumham telah menindaklanjuti dengan menyelenggarakan diskusi Publik dan Sosialisasi RUU KUHP dengan mengangkat isu krusial yang sedang hangat di masyarakat yakni terkait pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama baik menurut KUHP, UU ITE, dan pengaturannya dalam RUU KUHP.
Hal ini merupakan bagian dari usaha memperoleh masukan dari pakar, praktisi, atau masyarakat terkait berbagai hal dalam penerapan atau pemberlakuan UU ITE.
“UU ITE harus dapat melindungi berbagai kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan, serta kepentingan hukum, untuk melindungi kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak yang bersifat hak konstitusional (constitutional rights) warga negara,” pungkasnya.
Ning